Fiction [Chapter 2]

Fiction

HanAiren’s Request: A fict with Leeteuk, Heechul, Hangeng, and Kibum in it.

Chapter 2Let You Go

[Cause sometimes, when you realize something, everything already turn out useless.]

.

.

Hujan. Lagi.

Apakah kini langit menangis? Apakah kini langit ikut berduka atas kepergian seorang Kim Heechul?

Cho Kyuhyun segera menepis pikiran konyolnya jauh-jauh. Untuk apa langit ikut menangis? Mustahil. Rasanya Heechul akan segera menertawakannya jika saja hyung-nya itu masih berada di sisinya. Menemaninya bermain game seperti biasa. Bertukar sindiran pedas seperti yang selalu mereka lakukan.

Iris kelamnya melirik teman sekamarnya diam-diam. Helaan napas lega terdengar darinya, begitu bersyukur karena kini sang roomate tengah tertidur dengan lelap. Lelah menemaninya menangis, lelah pula ikut menangis. Kyuhyun begitu bersyukur akan kemajuan yang Sungmin tunjukkan.

Rasanya ia ingin tertidur saat ini juga. Dibuai oleh alam mimpi yang selalu membelainya dengan manja. Namun tidak. Kyuhyun tak ingin tertawan oleh alam mimpi saat ini. Ia tak mau tertawan oleh kesenangan yang ia dapatkan di alam mimpi—di sana ada namja itu, ada Kim Heechul.

Cho Kyuhyun bosan dengan dirinya yang selalu terbangun disertai oleh air mata yang mengalir deras dari kedua matanya.

Kebalilah, Hyung. Aku berjanji takkan mengganggumu dan akan selalu menjadi anak baik, batin Kyuhyun miris. Seandainya hari itu ia tak menolak untuk pergi bersama Heechul, pasti kini ia sedang menemani sang hyung di alam sana. Ia sama sekali tak keberatan. Ia juga tak keberatan mengulang kembali masa lalunya, menggali memori yang berusaha ia kubur sekuat tenaga—ketika tubuhnya terhantam dan sakit tak tertahankan menghampirinya akibat sebuah kecelakaan.

Sama sekali tidak keberatan.

Tangannya meraih sebuah benda di atas meja kecil di sebelahnya, menekan beberapa tombol hingga akhirnya terdengar suara lagu yang teramat familiar di telinganya—mengalun dengan lembut. Lagu favoritnya. Sebuah lagu yang tak ikut ia nyanyikan bersama para hyung-nya. Sebuah lagu yang diciptakan oleh hyung-nya yang kini telah pergi mendahuluinya.

Believe.

Kyuhyun berusaha percaya pada Heechul, seperti judul lagu itu. Percaya Kim Heechul hanya pergi selama beberapa saat, lalu kembali dan segera menghampirinya. Memeluknya dan berkata bahwa ia takkan pergi ke mana-mana. Takkan pernah meninggalkannya untuk kedua kalinya.

Sang maknae tahu semua itu hanyalah khayalannya. Namun ia tetap percaya. Heechul akan kembali suatu hari nanti—atau dialah yang akan menyusul sang hyung dan membawanya kembali. Kemudian mereka akan melewati hari bersama. Hanya berdua. Melepas rasa rindu yang tak tertahankan.

Cho Kyuhyun berharap segala hal itu bukanlah sekedar khayalan.

#

Kim Heechul menelusuri jalan setapak yang membawanya entah ke mana. Gelap. Penglihatannya tak berfungsi saat ini. Ia hanya mengikuti nalurinya, berjalan lurus menuju setitik cahaya yang begitu jauh dari di mana kini ia berada.

Ia menyentuh setitik cahaya tersebut dan seketika pula seluruh kegelapan di sekitarnya tergantikan oleh cahaya terang benderang, begitu menyilaukan—hingga menyebabkannya memejamkan mata.

Kim Heechul berada di dunia lain saat ini. Ketika ia membuka mata, ia dapat melihat berbagai kenangannya selama ia masih hidup di dunia. Dari yang menyenangkan hingga menyedihkan. Terlalu banyak hingga ia sendiri merasa pusing tak tertahankan ketika memandangi berbagai kenangan hidupnya secara bergantian. Berbagai perasaan menyanderanya. Heechul merasa ia akan hancur jika terus berada di sini lebih lama.

Ia kembali memejamkan mata, namun kali ini, ketika ia membuka kembali sepasang kelopak matanya, ia mendapati dirinya kembali berada di dunia nyata. Mantan dunianya. Dunia yang penuh dengan kehidupan.

Setidaknya, di sini jauh lebih baik.

Kali ini ia kembali berada tak jauh dari makamnya. Dan makamnya kembali dikunjungi, namun oleh dua orang yang berbeda. Lee Donghae dan Lee Hyukjae. Duo dongsaeng-nya yang paling mudah menitikkan air mata.

“Rasanya ini seperti mimpi,” ucap salah satu namja Lee tersebut. “Seolah ia akan muncul di sisi kita dan berkata; untuk apa menangisi orang lain? Urusi saja dirimu sendiri.”

Namja Lee satunya lagi terkekeh pelan. “Ini lebih mirip sebuah fiksi.” Tangannya bergerak untuk merangkul namja di sebelahnya, mencoba menyalurkan kekuatan agar teman seumurannya itu tak kembali meneteskan air mata. “Aku selalu berpikir mungkin saja kita dapat terpisahkan, namun bukan begini…” Ia mengecilkan volume suaranya. “Bukan perpisahan selamanya seperti ini.” Dan tangis namja yang dirangkulnya pecah.

Sungguh Lee Donghae tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Ia pikir, satu-satunya orang yang akan meninggalkannya lewat kematian hanyalah ayahnya. Namun kini, salah satu hyung kesayangannya malah mengikuti jejak sang ayah, mau tak mau membuatnya ikut meneteskan air mata entah untuk ke berapa kalinya, sama seperti Lee Hyukjae yang kini sesenggukan dalam rangkulannya.

“Aku tak pernah menyukai kisah sad-ending,” adu namja Lee yang beberapa bulan lebih tua. Namja Lee yang lebih muda menariknya ke dalam pelukan hangat, mencoba menenangkan semampunya. “Tapi aku percaya ini bukan akhir. Benar, ‘kan?” tanyanya di sela tangisan. Anggukan kecil dari yang ditanya sedikit demi sedikit mulai menenangkannya.

“Ini bukan akhir,” ulang Lee Donghae yakin, setelah ia berhasil mengontrol tangisnya. “Lepaskan dia, Eunhyuk-ah. Dia takkan senang melihat kita seperti ini,” nasihatnya bijak. Dalam hati, menujukan nasihat itu juga untuk dirinya.

Tangisan Lee Hyukjae kembali pecah. Kali ini ia bersumpah akan menangis untuk yang terakhir kalinya. Bersumpah keesokan harinya akan kembali menjadi pribadinya yang ceria.

Ia akan menepati sumpahnya.

#

Hampir 40 hari.

“Aku pulaaang!” Teriakan Shindong menggema ke seluruh sudut dorm Super Junior, menyisakan beberapa member meringis memegangi telinga masing-masing, sedangkan yang berteriak hanya nyengir tak bersalah.

Satu hal yang pasti; keadaan jauh lebih baik.

Di sudut ruangan, Kim Heechul memamerkan senyum terbaiknya. Ia bahagia. Semakin bahagia ketika mengetahui hal apa yang harus ia lakukan jika ingin cepat pergi ke dunia sana—mudah saja, tunggu mereka semua merelakannya. Terbukti di tiap satu persatu member mengikhlaskan kepergiannya, tubuhnya terasa semakin ringan, semakin memudar pula.

Namun entah mengapa ia merasa sakit di hatinya. Padahal jelas ini yang ia inginkan.

Shindong, Donghae, Eunhyuk, dan Ryeowook sudah kembali ke sifat asal mereka nyaris sempurna. Berbeda halnya dengan Leeteuk dan Siwon yang masih betah dengan sifat murung nan pendiam mereka. Yesung, Sungmin, Kangin, dan Kyuhyun berada di antaranya—belum kembali ke pribadi asal, namun tak terlalu buruk juga.

Kim Heechul menyentuh dada tembus pandangnya. Ia merasa senang. Pertama kalinya merasa sesenang ini, di lain pihak merasa…

“Ah, ada Heebum—“

…merasa terlupakan.

Katakan ia kejam. Katakan ia tak punya perasaan. Namun memang begini nyatanya. Heechul tak suka melihat para saudara tak sedarahnya diselimuti kesedihan, tetapi jika itu berartikan mereka mengingatnya, mengenangnya, rasanya Heechul akan berpikir dua kali sebelumnya.

Ia merasa menjadi orang paling egois yang pernah ada. Bagaimana bisa ia yang notabene tak yakin akan perasaannya sendiri pada mereka, mengharapkan tetap selalu diingat dan dikenang, tidak dilupakan?

“Heebum-a, kau kesepian?”

Sorot mata Heechul berubah sendu. Satu makhluk lagi yang ia lupakan. Peliharaan kesayangannya. Ia dapat melihat tiap harinya para member bergantian mengurus Heebum, mengingat kucing itulah salah satu makhluk—jika tak mau disebut benda—kesayangan Heechul.

Bukankah itu berarti mereka mengenangnya?

Park Jungsoo mengedarkan pandangan, entah sejak kapan kekompakkan boyband ini hancur. Ia bahkan tak tahu harus melakukan apa saat ini, dan ia merasa payah. Tak berguna. Semua tugasnya digantikan oleh Yesung, dan dia… hanya duduk termenung.

Entah melamunkan apa. Dan jika ditanyakan siapa, maka ia tahu jawabannya.

Tawa miris ia lontarkan. Sebegitu menyedihkannya kah dirinya sekarang? Ia tak tahu. Entah mengapa segalanya terasa lebih tenang sekarang. Dalam arti kata lain. Ia tak perlu mengerjakan apapun. Cukup duduk melamun seperti orang yang terkena gangguan jiwa. Berbeda 180 derajat dengan kehidupannya yang sebelumnya.

Cukup menyenangkan, tetapi ia merasa begitu kehilangan. Apakah ia harus berakhir di sini? Apakah ia harus menyudahi sesuatu yang ia mulai dengan segala upayanya sejak kecil? Apakah ia harus membuang jauh-jauh impiannya dan mengorbankan impian sebelas orang lainnya?

Pemilik stage-name Leeteuk itu membuang pikirannya jauh-jauh. Ini salah. Ia salah.

Lalu ia berdiri, mengambil jaket dan topi, kemudian segera meninggalkan dorm tanpa suara. Tanpa tanggapan yang lainnya pula.

Jika ia ingin berhenti…

“Heebum-a, apa kita akan kehilangan satu orang lagi?”

—maka hanya dia yang harus berhenti.

#

Choi Siwon membiarkan angin membelai rambutnya, menikmati pemandangan yang begitu memanjakan mata. Musim gugur akan segera tiba. Musim kesukaan Cinderella hyung-nya.

Visual Super Junior itu mendesah, angin dingin yang menusuk tulang tak ia hiraukan. Selama ini ia tak pernah melakukan hal bodoh seperti yang kini ia lakukan—menggunakan pakaian tipis dan menyiksa tubuhnya di atas atap melalui rasa dingin yang tak tertahankan. Hanya saja, kali ini… biarlah kali ini ia bebas. Sesuka hatinya.

Lebih dari seminggu lalu ia berhenti menitikkan air mata, sayangnya kini, cairan bening itu kembali mengalir deras dari kedua matanya. Ia pernah berjanji akan melindungi Heechul, tapi apanya yang melindungi? Ia bahkan menjadi member paling terakhir yang mengetahui kecelakaan sang hyung terdekat.

Kecelakaan lain. Yang bahkan hingga merenggut nyawanya.

Penyesalan selalu datang terlambat. Siwon tahu itu. Meski yang lain selalu mengatakan semua ini bukan salahnya, selalu mengatakan tak ada yang perlu ia sesalkan karena ia tak bersalah, tetap saja rasa bersalah terus menghantuinya. Ia telah berjanji akan melindungi Heechul selamanya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.

Minimal menjadi orang pertama yang mengetahui kecelakaan Heechul mungkin sudah cukup, walau nyatanya ia takkan bisa membantu apapun. Namun ia malah menjadi orang terakhir yang mengetahui masalah kecelakaan tersebut. Terlebih, ia mengetahui kecelakaan itu ketika sang hyung telah tiada. Telah pergi selamanya.

“Heechul-hyung…”

Tetesan air mata yang tampak begitu memilukan kembali mengalir deras, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Orang-orang menyangka ia adalah orang yang tegar, kuat secara fisik maupun mental. Tapi mereka salah. Sesungguhnya hanya Kim Heechul yang mengetahui kebenaran.

Choi Siwon lemah.

“Kalau salah satu dari kita mati, apa yang akan kita lakukan?”

“Yang pasti jangan menyusul yang mati, karena tidak akan ada gunanya.”

Sekarang namja berjulukan kuda itu tahu arti jangan menyusul yang dulu sempat Heechul katakan. Ia kini tahu begitu beratnya menahan diri agar tak menyusul yang telah pergi duluan. Bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya.

Ia tak berusaha menahan tangisnya. Setidaknya, hanya ini yang dapat ia lakukan untuk menyampaikan perasaannya. Berteriak pun Heechul takkan mendengarnya. Dan jika ia menyusul Heechul ke sana, hanya makianlah yang nanti ia dapat. Siwon tahu dengan persis sifat hyung-nya.

Sifat tempramen yang begitu menyulitkan itu… entah sejak kapan Siwon mulai merindukannya.

Mianhae,”

Dapat dengan jelas Siwon ingat saat-saat ketika ia terpuruk dan Heechul selalu berada di sisinya, menenangkannya, membuatnya sedikit demi sedikit melupakan segala beban yang ia rasakan. Kini apa jadinya ia ketika sang hyung takkan lagi pernah berada di sisinya untuk mendukungnya?

“Tapi kau tidak sendiri.”

Ah, kalau begitu, ia harus menjadi pihak yang mendukung saat ini, bukan lagi yang didukung. Lihat saja para saudara tak sedarahnya yang masih tak dapat kembali ke jati diri mereka masing-masing. Jika tak dimulai satu persatu, apa jadinya?

Kalau begitu, ini yang terakhir, ya?

“Maafkan aku, Hyung.”

Satu hal yang perlu ia yakini; ia tidak sendiri.

#

Satu orang lagi berhasil melepaskannya.

Kim Heechul tak peduli, ia tetap berdiri bawah pohon dekat makamnya, memandangi seseorang yang mengunjunginya kurang dari lima menit lalu. Seseorang yang tak terduga.

“Heechul-ah, maaf baru menjumpaimu sekarang—kau tahu, keberanianku tak mencukupi,” celoteh orang tersebut—Hankyung, dengan bahasa Korea-nya yang semakin sulit dimengerti. “Sudah berapa tahun kita tidak bertemu?”

Senyuman kecil terlihat. “Maafkan sifat pengecutku, Heechul-ah. Aku bahkan baru berani menemuimu ketika kau tak lagi dapat melihatku. Maafkan aku,” bisik Hankyung penuh penyesalan. Wajahnya sembab—air matanya telah habis tak tersisa. “Aku tak tahu harus mengatakan apa selain maaf,” lanjutnya kemudian.

Heechul menghiraukan rasa sakit yang terus menerus menghujamnya. Apakah seorang jiwa tetap memiliki hati dan perasaan? “Maaf karena meninggalkanmu tanpa mengucapkan apapun, maaf karena tak pernah menghubungimu, maaf karena tak berani menemuimu, maaf karena kembali muncul di hadapanmu ketika semuanya telah terlambat.”

Hankyung mengacak rambutnya frustasi. “Aku hanya berpura-pura kuat.” Tawa hambar. Ia bahkan tak mengerti mengapa. “Berpura-pura menjadi orang jahat yang tak punya perasaan. Tapi aku gagal, bukan? Aku tak berhasil menutupi perasaanku yang sebenarnya.”

Tidak ada air mata. Hanya ada tatapan penuh percaya diri yang menunjukkan betapa tegarnya mantan Lead Dancer Super Junior itu. “Aku merindukanmu, Heechul-ah.” Ia menghembuskan napas. “Heechul-ah, aku merindukanmu,” ulangnya tanpa penekanan. Nyaris seperti bisikan.

Kekehan tak bermakna terlontar. “Kau pasti ingin memukulku sekarang, ya?” Hankyung menyentuh tengkuknya, menghela napas sekilas. Ia merasa luar biasa bersalah.

Heechul tahu Hankyung merasa bersalah dan bingung harus mengatakan apa—ia pun sama meski ia tak perlu memberikan respon apapun karena tak ada gunanya. Tapi Hankyung benar di bagian bahwa pasti ia ingin memukul namja Cina itu; Heechul hampir melakukannya jika saja lupa bahwa tubuhnya tembus pandang

Namun ia merasa lega karena tahu Hankyung masih mempedulikannya, bahkan merindukannya.

Jeongmal, mianhae…

Sama saja. Kim Heechul tahu sekarang. Baik yang ditinggalkan maupun yang meninggalkan sama-sama terluka. Padahal ia pikir takkan ada yang terluka, termasuk dirinya. Namun nyatanya ia terluka. Ia merasa sakit.

Berarti dinding pertahanannya hancur? Kim Heechul bersyukur jika jawabannya adalah ya. Karena tanpa ia sadari, telah sejak lama ia menginginkan hal itu terjadi. Saat di mana ia tak perlu membatasi diri lagi. Saat di mana akhirnya ia bebas.

“Aku…” Angin berhembus pelan, menerbangkan beberapa dedaunan kering dari tangkainya. “…kita akan bertemu lagi suatu hari nanti, Heechul-ah. Pastikan kau sehat. Aku takkan pernah melupakanmu, ingat itu.” Hankyung menengadah, memejamkan matanya sesaat. “Aku menyayangimu.”

Jika saja jiwa dapat meneteskan air mata, Heechul ingin meneteskan air matanya, menggantikan air mata Hankyung yang meronta ingin keluar, tetapi telah terkuras habis akibat dirinya.

“Sampai jumpa.”

Haruskah kini Kim Heechul yang manangis meraung-raung seraya meneriakkan kata— “Kajima.”

Jangan pergi.

#

Hari ke-40.

Heechul tak pernah mengunjungi dorm-nya lagi sejak hari itu, hari di mana nyaris semua saudara tak sedarahnya belajar melupakannya, belajar berhenti terpuruk dalam kesedihan.

Ia tak butuh tidur. Tak butuh makan dan minum. Fisiknya sama sekali tak merasa lelah, namun batinnya luar biasa tersiksa. Ini hari ke-40 ia berkelana di dunia yang bukan lagi tempat tinggalnya. Tanpa apapun. Seorang diri.

Dan juga, memandangi makamnya selama tiga hari penuh terasa sangat membosankan.

Kim Heechul tak tahu apa maksud dari tindakannya. Ia tak tahu siapa yang ditunggunya. Yang ia yakini hanyalah ia harus berada di sini hingga akhir, entah dikarenakan apa. Seperti akan ada berita yang terlewatkan jika ia meninggalkan rumah peristirahatannya.

…Dan benar saja.

“Entah sejak kapan mengunjungi tempat ini menjadi hobiku.”

Jelas-jelas Heechul mengenali suara lemah lembut itu. Suara pemuda pecinta warna putih itu. “Apa kabarmu, Heechul-ah?” Tidak baik. Ingin sekali ia menjawabnya, tetapi ia tahu tak akan ada gunanya.

Dengan jelas pula dia tahu orang ini lah satu-satunya yang masih menahannya. Apakah kini orang ini akan melepaskannya juga? Melupakannya dan menganggap dirinya seolah tak pernah ada?

“Aku…”

Tidak.

Tidak.

TIDAK.

Biarkan dia egois. Kim Heechul tak mau dilupakan. Ia rela tertahan di dunia selamanya. Asalkan… jangan lupakan dia. Kenapa dia yang jelas-jelas bagian dari mereka harus dilupakan?

“…kami tidak akan melupakanmu.”

Terdiam. Terpaku di tempat. Inikah rasanya—

“Aku akan mengikuti jejakmu.”

—dianggap ada?

Senyum kecil Park Jungsoo perlihatkan di kala ia akan kembali bersuara. “Besok aku akan mendaftarkan diri untuk mengikuti wajib militer.” Ia mengambil napas dalam-dalam. “Aku harus menata ulang diriku lagi. Aku hancur, Heechul-ah. Karena kepergianmu.” Dan Heechul jelas tahu.

“Dua tahun lagi aku akan kembali. Dengan pribadiku yang dulu. Masih mengingatmu—“ Setetes air mata jatuh. Park Jungsoo tahu dirinya sangatlah lemah. Ia takkan menutupinya. “—tetapi lebih kuat, tidak selemah ini.”

Senja terasa begitu indah bagi Heechul saat ini. Tak ada lagi keraguan. Keputusan awalnya memang benar. Tak perlu ada yang ia sesali. Ia akan pergi. Memang seharusnya ia pergi. Bahkan sebenarnya sejak 40 hari lalu.

Perjalanan 40 hari ini begitu bermakna baginya yang tak lagi hidup di dunia.

Setidaknya sebelum benar-benar pergi, ia dapat mengetahui kasih sayang para saudara tak sedarahnya. Paling tidak, ia dapat mencairkan hati dinginnya, menghancurkan tembok pembatas yang selalu menghalangi jalannya.

Kim Heechul bahagia. Ia tak memiliki penyesalan.

“Aku menyukai fiksi, Heechul-ah. Dapat dibayangkan meski tetap saja kadang tak masuk akal.” Leeteuk mengalihkan pandangannya, menatap senja yang begitu memanjakan mata. “Terkadang terlalu indah—mustahil. Dan terkadang terlalu menyakitkan, begitu menyedihkan—“ Cengiran khasnya ia pamerkan. “—tapi yang itu tak mustahil. Aku mengalaminya. Kita mengalaminya.”

Terima kasih.             

“Selamat jalan, nae dongsaeng.”

Untuk segalanya.

Senja menjadi saksi bisu saat itu. Kim Heechul tak lagi memiliki beban. Tidak ada penyesalan yang menyiksa pula. Hidupnya indah. Bahkan setelah ia mati pun ia masih mendapatkan pelajaran berharga, juga kesenangan tak kentara—

Ah, jadi begini rasanya meninggalkan dunia.

—yang lagi-lagi ia dapatkan dari saudara tak sedarahnya.

Park Jungsoo salah jika menganggap kehidupan indah mustahil untuk terjadi, segalanya hanyalah fiksi belaka. Sang Leader salah. Karena Heechul ada. Dan ia lah yang menjalani kehidupan yang sangat indah tersebut. Berkat mereka yang selalu ada di sisinya.

Kehidupannya indah. Seindah fiksi yang menurut banyak orang takkan pernah terjadi selamanya.

Fin

Sorry for the miss-type and the bad diction, I just… you know, Yesung’s enlistment… school matters… my head gonna explode soon~>< Anyway HanAiren-ssi, this is all I can do for you XD

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s