Song for You
[—I‘ll let you hear my beautiful voice, but please don’t regret it later.]
.
.
Choi Siwon pertama kali melihat sosok itu di bangku taman, duduk termenung seolah sama sekali tak memiliki pekerjaan. Dari kejauhan, ia dapat memastikan pemuda yang menarik perhatiannya itu mengenakan kemeja putih polos dan celana kain berwarna senada—dari gayanya, Siwon menebak hidup orang itu pasti semonoton kegiatannya sekarang.
Tanpa bermaksud apapun, ia melangkah mendekati si namja berpakaian serba putih dalam diam, lalu duduk di bangku yang sama dan langsung mengeluarkan handphone-nya untuk mengusir rasa bosan. Teman dekatnya, Lee Donghae, tengah berurusan dengan seorang klien dan tak dapat diganggu gugat. Siwon tak mengerti mengapa teman seprofesinya itu meminta untuk ditunggui, dan ia lebih tak mengerti lagi mengapa ia mau menuruti.
Siang hari telah berganti sore sejak setengah jam lalu, membuatnya cukup bersyukur karena tak perlu berjemur sinar matahari hingga berakhir berkeringat dan membasahi baju. Siwon memasukkan alat komunikasi kesayangannya ke dalam saku, memejamkan mata dan bermaksud untuk mengistirahatkan diri sesaat, berusaha tak acuh dengan sosok yang masih bergeming di sampingnya.
Keadaan sore hari di taman yang jarang dikunjungi orang-orang ini selalu sama—nyaman, tenang, aman… Siwon jarang menghabiskan waktunya di sini, namun ia selalu menikmati saat-saat di mana ia memiliki waktu luang dan dapat menghirup udara di taman yang menurutnya menyenangkan ini.
“La… La, la… La, la…”
Untaian nada yang menghasilkan sebuah senandung itu menyebabkan Siwon membuka mata. Ia mengernyit ketika kembali mendengar sebuah senandung dengan suara pelan—suara yang indah, menenangkan… Mungkin karena lagu yang dipilih sang pemilik suara adalah lagu sedih, ia kini ikut merasakan kesedihan meski tak ada lirik yang terucap. Siwon menolehkan kepala, mendapati si namja pirang bergeming menatap lurus ke depan seraya membuka mulutnya; orang itulah sang pemilik suara.
Senandung yang membuat para pendengar ikut merasakan kesedihan itu terus berlanjut, menyebabkan Siwon terhipnotis dan tak berhasil mengalihkan pandangan. Suara itu terdengar bagai media penyampaian emosi yang tak terbantahkan, menyebabkan semua orang ikut merasakan kesedihan yang tak pernah mereka rasa.
Siwon mengerjapkan mata, terlalu kagum untuk memuji dan terlalu enggan untuk bersuara. Tanpa sadar, ia menghela napas ketika senandung itu tak berlanjut dan menemukan sebuah akhir yang terasa layaknya sebuah batas penghujung sebuah penderitaan. Padahal ia yakin lagu itu hanya disenandungkan tanpa memiliki makna tersirat di baliknya.
“Suaramu… mengagumkan,” gumamnya beberapa menit kemudian, mencoba menarik perhatian sang pemuda yang masih enggan menolehkan kepala. “Meski apa yang kau lakukan hanyalah bersenandung, aku bisa merasakan kesedihan di balik lagu itu. Penyampaian emosimu benar-benar hebat.”
Tak sedikit pun Siwon bertindak seolah ia seseorang yang sok tahu—menjalani les vokal selama beberapa bulan di masa remaja telah memberikannya pelajaran lebih dari cukup. Ia juga ingat bagaimana dulu sang guru memarahinya karena ia tak bisa merasakan emosi pada lirik lagu; bagaimanapun juga, ia tak memiliki minat penuh pada les tambahan itu.
Merasa diabaikan dan takkan mendapatkan balasan, Siwon memutuskan untuk kembali bersuara. “Kurasa kau bisa menjadi penyanyi jika kau mau, bahkan tanpa audisi atau apapun.”
Sang pemilik surai pirang bergeming, berakhir mengayunkan kedua kakinya yang tak menyentuh permukaan tanah. “Jika itu pujian, kuucapkan terima kasih.” Ia berkata lemah, terdengar begitu lembut meski sedikit serak.
Ada rasa penasaran yang menghantui Siwon saat itu—warna apa yang menghiasi iris lelaki ini? Ia baru melihat wajah putih itu sekilas, tapi Siwon langsung dapat menebak bahwa iris berwarna hazel pasti akan terlihat sempurna.
Seperti sebuah boneka cantik yang merupakan mainan kesayangan adik perempuannya.
“Tentu saja aku memujimu.” Siwon tersenyum kecil, berusaha agar tak tampak antusias karena berhasil memulai pembicaraan dengan sosok di sebelahnya. Sekedar bersenandung saja berhasil menyebabkannya digeluti rasa penasaran sebesar ini, bagaimana jika namja yang tak ia ketahui namanya itu menyanyi?
Angin berhembus mengacak helai rambut dua pria yang terduduk di atas bangku taman bercat cokelat. Siwon kembali mengeluarkan handphone-nya, mengetik e-mail singkat pada Donghae yang telah terlambat lebih dari satu jam. Ia bukan seorang pengangguran yang tak memiliki pekerjaan—karena jika iya, Siwon pasti akan mengunjungi taman ini tiap harinya.
“Aku suka menyanyi.” Namja yang terlihat lebih mungil kembali bersuara, menyebabkan Siwon memusatkan perhatiannya. “Tapi tak ada yang senang mendengarnya.”
Si pemuda Choi mengernyit heran. “Benarkah? Apa kau tahu kenapa?” Ia memperhatikan sosok berbalut pakaian serba putih itu, menebak perbedaan umur mereka dan memutuskan bahwa mungkin umur mereka berbeda jauh. Siwon menunggu jawabannya, menatap sisi kiri wajah sang pemuda dan anehnya tak merasa bosan.
“Siwon-ah!”
Lee Donghae mempercepat langkah, tak peduli dengan napasnya yang terengah-engah. Seraya memamerkan cengiran penuh rasa bersalah, ia mendudukkan diri di bangku yang berada tepat di seberang teman lamanya, meneguk sebotol air dingin yang ia bawa sebelum berkata, “Kliennya merepotkan. Aku terpaksa meladeninya hingga berjam-jam.”
Siwon mendengus, apapun alasan temannya itu takkan dapat ia terima—meski akhirnya ia akan melupakannya juga. Ia menolehkan kepala, sempat melupakan keberadaan si pemilik suara indah, namun hanya bisa membulatkan mata ketika tak mendapati siapa pun berada di sisinya.
“Apa yang kau lakukan selama menunungguku?”
Pertanyaan itulah yang berputar dalam otaknya sekarang. Mana mungkin ia mengatakan pada Donghae bahwa ia menghabiskan waktu dengan mendengarkan senandung seseorang yang bahkan keberadaannya saja tak meninggalkan jejak?
Masih sibuk menatap sisi kanannya yang tak berpenghuni, Siwon menjawab pelan. “Hanya… menunggumu.”
#
Siwon kembali pada jam yang sama keesokan harinya, duduk di bangku yang sama, memandang pepohonan yang sama, namun tak menemukan sosok yang sama. Kedua matanya memandang sepasang sepatu hitam yang ia kenakan, entah mengapa merasa dua kali lipat lebih penasaran daripada sebelumnya. Tapi hari ini sosok itu tak datang, dan mungkin ia harus mencoba di hari yang sama minggu depan.
Semuanya masih sama—mungkin hanya jumlah dedaunan yang terlepas dari tangkainya saja yang berbeda. Suasana taman ini masih senyaman sebelumnya, begitu pula udara segar yang dapat ia hirup meski pagi hari telah berlalu sekian lama. Bibirnya mengulum sebuah senyuman, merasa bodoh karena rela meninggalkan kantor di saat pekerjaan sedang menumpuk demi seseorang tak dikenal.
Belum sempat beranjak dari posisi duduknya, Siwon hanya bisa membeku ketika sebuah suara mengejutkannya dari samping kanan. “Datang lagi?”
Ia mengangguk sejurus kemudian, sedikit banyak menyukuri kedatangan si pemuda yang menggunakan pakaian serupa. “Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu.” Siwon menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, sedangkan sang pemuda melakukan hal yang sama persis dengan apa yang ia lakukan kemarin. “Kau tidak mandi? Atau ganti baju?”
Pemilik helai pirang memanjakan mata itu masih enggan untuk menolehkan kepala ataupun melakukan kontak mata, dan Siwon dapat memaklumi karena mereka memang tak saling mengenal. “Aku selalu datang ke sini setiap hari,” jawabnya masih dengan suara yang sama. “Warna putih adalah warna favorit kakakku, hampir semua pakaian kami berwarna senada.”
Sebenarnya Siwon hendak menanyakan bagaimana cara sosok di sampingnya dapat menghilang secepat mengedipkan mata, namun ia mengurungkan niatnya ketika mendengar kalimat-kalimat dua kali lipat lebih panjang daripada sebelumnya. “Ternyata begitu,” responnya ambigu. Seharusnya ia tak memancing remaja polos itu untuk memberitahu tentang kehidupan pribadinya demi memuaskan sebuah rasa penasaran.
Beberapa anak kecil berlarian di sekitar mereka, saling mencipratkan air yang berasal dari keran ataupun kolam, bercanda dan bermain bersama dengan gembira. Seketika Siwon merindukan masa kecilnya yang bahagia dan tanpa beban, bertolak belakang dengan kehidupannya yang kini penuh dengan berkas pekerjaan dan tak pernah habis tiap harinya.
“Ah, kemarin kau pergi sebelum sempat menjawab pertanyaanku.”
Si pengguna kemeja putih menolehkan kepala untuk pertama kalinya, membiarkan sang lawan bicara menatap dengan jelas wajahnya yang nyaris sempurna dan tanpa kekurangan. Siwon dapat melihat iris hazel indah yang telah ia tebak, sepasang mata sipit dan hidung mancung, juga mulut mungil yang sedikit terbuka. Sesuai dengan pemikirannya, manusia yang berada di sisinya ini benar-benar menyerupai boneka.
“Pertanyaan a—oh, tentang itu.” Sang pemuda tak dikenal kembali menatap lurus pepohonan dan rumput hijau yang bergoyang tatkala angin berhembus nakal. “Kenapa kau ingin tahu?”
Siwon mengangkat bahunya ringan, tak peduli meski lawan bicaranya tak dapat melihat apa yang ia lakukan. “Aku menyukai suaramu. Apakah alasan itu belum cukup?” Ia bertanya tenang, mengulum senyum di saat menyadari seseorang di sisinya agak tersentak.
“Orang bilang suaraku ketika menyanyi sangat tidak normal, begitu menyakitkan hati dan terdengar menyedihkan. Bahkan sebagian orang mengatakan nyanyianku seolah—” Sang Choi dapat mendengar nada kecewa di balik suara bariton itu, nada seorang manusia yang putus asa. “—membawa malapetaka.”
Sungguh Siwon tak percaya ada orang yang berani menyimpulkan hal semacam itu. Mana mungkin suara khas—yang dari senandung saja terdengar indah—milik lelaki di sampingnya bisa membawa malapetaka? Mungkin ya tentang merasakan kesedihan atau membangkitkan memori lama. Tapi bukankah itu sekedar dikarenakan bakat luar biasa yang ada dan selalu diasah tanpa sadar?
Manusia memang aneh dan senang berpendapat tanpa berpikir panjang. Siwon menatap sosok yang masih terduduk dengan kaki berayun itu dalam diam, merasakan sesuatu seolah menohok dadanya hingga terasa sesak. Rasa itulah yang mungkin remaja di sampingnya rasakan akibat kesenangannya dianggap sebagai sebuah kesialan.
“Aku… ingin mendengarmu menyanyi.”
Sang namja yang diperkirakan lebih muda mencuri pandang, tersenyum kecut karena yakin pemuda di sebelahnya takkan melihat. “Kau pasti menyesal,” bisiknya datar, membiarkan angin menerbangkan getaran suaranya agar dapat terdengar.
Kenapa? Apakah kini si pemilik suara indah itu kehilangan rasa percaya dirinya karena terlalu sering direndahkan? Siwon hendak menepuk kepala yang dihiasi mahkota blonde di sampingnya, namun menghentikan tindakannya ketika menyadari bahwa mereka tak memiliki hubungan apapun selain kenalan yang tak dapat disebut kenalan. Sosok itu bukan adiknya—seseorang yang bisa ia perlakukan dengan manis tanpa peduli reaksi apa yang akan didapatkan.
“Aku takkan menyesal,” tegasnya serius. Siwon tak tahu mengapa ia berani mengatakan hal semacam itu tanpa keraguan, padahal sudah pasti orang-orang memiliki alasan tertentu dengan menyebut nyanyian indah itu sebuah malapetaka. Tapi mungkin saja ada alasan lain seperti rumor yang dimulai karena sebuah kecemburuan. Siapa yang tahu?
Handphone-nya berbunyi nyaring sejurus kemudian, membuatnya harus memfokuskan diri pada alat komunikasi itu dan menjawab telepon dari seberang. Ada sebuah rapat dadakan. Siwon mendecak sebal, bangkit dari posisi duduknya yang nyaman dan menatap serba salah sang lawan bicara yang sibuk memandangi dedaunan.
“Namaku Choi Siwon.” Ia berucap tanpa mempedulikan fakta bahwa dirinya diabaikan. “Dan aku ingin mendengar nyanyianmu besok, di jam yang sama dengan hari ini,” lanjutnya seraya menatap sepasang iris hazel yang enggan membalas tatapannya.
“Sayangnya harus pergi seka—”
“Yesung.”
Siwon mengerjapkan kedua matanya ketika sosok di hadapannya menatap lurus iris kelam yang ia banggakan. “Panggil aku Yesung.”
Satu anggukan. “Sampai jumpa besok, Yesung-ah,” ucapnya sebelum memamerkan sebuah senyum dan melangkah menjauh, meninggalkan seseorang yang telah menarik perhatiannya sejak kemarin—Yesung, nama yang terdengar seindah suaranya.
Taman yang dihuni oleh seorang pemuda dan beberapa anak-anak itu terlihat lebih sunyi dari sebelumnya; atau mungkin hanya bagi Yesung, karena ia tak lagi memiliki seseorang yang menjadi alasannya untuk mengeluarkan suara. Setetes air mata meluncur tanpa halangan melalui matanya, merasakan sebuah perasaan yang sudah lama tak ia rasa.
Setelah sekian lama, akhirnya ada seseorang yang bersedia mendengar nyanyiannya.
#
Jika dua hari lalu Lee Donghae harus berlari demi mencapai sebuah bangku taman di sudut kota dengan alasan terlambat menjumpai temannya, kini Choi Siwon tengah melakukan hal yang sama. Pekerjaannya yang semakin banyak benar-benar membuatnya nyaris melupakan janji untuk menemui Yesung di taman ini—walau ia tak pernah benar-benar melupakan janji yang ia buat sendiri.
Siwon benar-benar menananti pertemuan ini, entah sadar atau tidak.
Pemuda yang lagi-lagi berpakaian serba putih itu tak terduduk di bangku taman seperti biasa, melainkan tengah berdiri dengan kepala mendongak untuk memperhatikan awan yang berarak. Siwon bersyukur Yesung masih berada di sana—meski bukan deminya, paling tidak lelaki itu belum kembali ke rumahnya.
“Sudah terlalu sore, aku harus pulang sekarang.”
Yesung menoleh ketika menyadari keberadaan seseorang yang tiga hari ini selalu menemuinya. Siwon terlihat sulit mengatur napas, menyebabkannya yakin pria itu tak bermaksud sengaja. Tapi malam akan menjelang, dan ia tak boleh berkeliaran di saat hari telah gelap.
“Kalau begitu, biarkan aku mengantarmu.”
Keduanya baru saja hendak melangkah ketika Siwon mendengar seseorang memanggil namanya. Lee Donghae berada di pintu masuk taman, melambaikan tangan dengan semangat namun tampak tak berniat untuk mendekat. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Siwon melirik namja lebih pendek di sisinya, lalu menjawab pertanyaan Donghae singkat. “Mengantar temanku pulang.” Tangannya terangkat ke atas, melambai beberapa kali sebelum kembali melangkah. Yesung bilang, rumahnya hanya berjarak beberapa blok dari taman, tak perlu menggunakan kendaraan apapun karena memasuki sebuah gang sempit yang pasti sulit dilalui kendaraan beroda empat.
“Teman? Siwon—”
Mengabaikan Donghae yang entah mengatakan apa, Siwon melirik pemuda pirang di sampingnya. Yesung tetap pendiam dan enggan memulai pembicaraan, namun keadaan di antara mereka tak secanggung yang ia bayangkan. Hari ini ia gagal mendengar nyanyian dari suara merdu yang baru-baru ini ia idolakan. Salahkan berkas-berkas merepotkan yang ber-deadline lusa.
Rumah yang Yesung maksud benar-benar dapat dikategorikan dekat dari taman—ia tak heran mengapa setiap hari namja beriris hazel itu menghabiskan waktu di sana. Mungkin Yesung adalah murid sekolah menengah ke atas yang baru lulus hingga memiliki waktu luang. Siwon menyimpulkannya ketika mereka berjalan dan tak membahas apapun sebagai pencair suasana.
“Yesung-ah? Kau sudah pulang?” tanya seorang pria yang menggunakan pakaian serba putih namun bermodel agak berbeda—seseorang yang membukakan pintu dan menyambutnya dengan senyuman hangat. “Kau membawa teman? Masuklah.”
Siwon melirik Yesung, mencoba bertanya apakah ia boleh masuk ke dalam atau langsung pulang dan menghilang dari hadapannya sekarang juga. Tapi Yesung hanya mengangguk singkat, yang mana ia artikan sebagai izin untuk menginjakkan kaki ke dalam rumah.
Rumah ini dibangun dari kayu—Siwon sempat mengira bagian luarnya saja yang terlihat demikian—kurang terawat dan minim perabotan rumah. Selain Yesung dan namja yang membuka pintu, Siwon dapat melihat beberapa anak kecil berkeliaran, bermain dengan boneka atau mainan kuda-kudaan. Ketika melewati ruang keluarga, ia juga mendapati sepasang namja dan yeoja tengah duduk dan fokus pada layar kaca.
Daripada sebuah rumah, sebenarnya lebih terlihat seperti penampungan.
“Mereka adik-adikku, sedangkan yang tadi membukakan pintu adalah kakakku,” jelas Yesung sebelum Siwon sempat melontarkan pertanyaan. Keluarganya memang kurang terurus, semua sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan anggota keluarga lainnya. Hanya kakaknya lah yang memiliki jiwa kekeluargaan.
Setelah sampai di lantai atas, keduanya memasuki ruangan luas yang berisikan beberapa perabotan acak. Rak buku beserta buku-bukunya, sebuah piano di sudut ruangan, lemari kecil dan dua buah tempat tidur, sofa berwarna putih gading, juga sebuah televisi yang telah menyala. “Ini kamarku dan salah satu adikku yang kau lihat sedang menonton televisi di lantai bawah.”
Siwon mendudukkan dirinya di atas kursi yang menghadap televisi, mengikuti jejak Yesung yang telah mendahuluinya. “Mereka semua… anggota keluarga kandungmu?” Ia bertanya hati-hati, takut menyinggung perasaan Yesung dengan pertanyaannya yang terdengar sensitif.
Sebuah anggukan mewakili jawabannya. “Paling tidak kami menganggap demikian.”
Seseorang memasuki kamar tanpa aba-aba, terlihat agak terkejut mendapati orang asing tengah duduk di atas sofa kamarnya. “Maaf?” Ia bertanya bingung, lalu mengerti ketika Yesung memberi kode agar dirinya menjauh. “Temanmu, Hyung?”
Bocah yang termasuk tinggi untuk umurnya itu menyeringai ketika tak mendengar sebuah jawaban. “Heh. Mana mungkin kau punya teman—mana mungkin kita punya teman.” Ia mengambil sebuah buku yang terlihat kusam, tak membutuhkan waktu lebih dari sedetik untuk menemukannya di antara sederet buku berwarna serupa. “Atau jangan-jangan dia calon keluarga kita yang baru?” cetusnya dengan nada meremehkan.
Yesung menoleh, menatap tajam adiknya dan memerintahkan untuk keluar, enggan menggunakan suara. “Baik, baik. Aku takkan ikut campur.” Si pemuda bersurai ikal menatap Siwon yang terlihat bingung. “Selamat datang.”
Lalu suara pintu yang tertutup menyebabkan Yesung kembali memusatkan perhatian pada televisi yang tengah memutarkan sebuah acara berita harian.
“Setahuku ini berita bertahun-tahun lalu.” Siwon memulai pembicaraan, berusaha mengabaikan kedatangan salah satu adik Yesung sebelumnya—yang ia akui cukup mengganggu dan mencurigakan. “Tentang sebuah panti asuhan yang terbakar tanpa diketahui alasan yang jelas. Kalau tidak salah lokasinya berada di dekat sini,” sambungnya kemudian.
Tak ada respon dari Yesung yang masih fokus memperhatikan televisi, tampak tak ingin membahas apapun karena mood buruk akibat kedatangan si dongsaeng berhelai ikal beberapa menit lalu. Siwon terkekeh pelan, dapat merasakan perubahan aura Yesung meski ekspresi pemilik iris hazel itu masih tak terbaca.
“Kalau kau menjadi salah satu anak di panti asuhan itu, apa yang kau lakukan?” Pertanyaan itu mengejutkannya. “Apa yang akan kau lakukan jika kau mengetahui bahwa penyebab kematianmu adalah seseorang yang telah kau anggap saudara?”
Tapi Siwon tak pernah mengetahui jawabannya.
#
Sama seperti kemarin, Siwon kembali mengunjungi taman dengan maksud menemui Yesung—kali ini tak terlambat meski tubuhnya terasa kurang sehat; mungkin karena bekerja hingga larut malam. Dan sesuai harapan, sosok yang menjadi alasannya untuk datang sedang terduduk memandangi pohon yang sama dengan hari-hari sebelumnya.
“Ki o tsukete…
Kami-sama wa miteru
Kodaio yomichi wa—
—te wo tsunaide kudasai…”
Nyanyian itu menyambutnya, dan Siwon tak dapat melakukan apapun selain menghentikan langkah dan menatap Yesung yang terlihat sendu seraya menyanyikan bait-bait lagu berbahasa Jepang. Sebuah lagu suram—meski ia tak mengerti artinya, nada lagu itu terdengar seperti perwakilan dari orang-orang yang tak memiliki harapan.
Lagu itu terus berlanjut, lalu berakhir tak lama setelah ia memutuskan untuk duduk. Sebuah lagu yang singkat, namun meninggalkan sebuah perasaan yang sulit untuk dihilangkan. Siwon mendapati Yesung menatapnya dengan tatapan kosong, menyunggingkan senyum pertama sejak mereka menghabiskan waktu bersama beberapa hari lalu. Sebuah senyuman indah yang tak pernah Siwon lihat pada wajah siapa pun.
“Aku tahu kau akan datang.”
Yesung kembali mengalihkan perhatiannya ketika bunyi kicauan burung terdengar, tak menyadari bahwa Siwon merasakan sebuah perasaan lain yang begitu hangat, bertolak belakang dengan apa yang pria itu rasa ketika mendengar lagu yang sebelumnya ia nyanyikan.
“Karena itu kau menyanyikan sebuah lagu?” Siwon bertanya penuh harap, tak dapat menyembunyikan senyum tatkala Yesung bergumam mengiyakan pertanyaannya. “Terima kasih. Aku benar-benar mencintai suaramu.”
Entah hanya imajinasinya saja, Siwon seolah melihat semburat merah muda pada wajah sang lawan bicara. “Aku yang seharusnya berterima kasih,” balas Yesung ringan. Mempunyai seseorang yang mau mendengarkan nyanyiannya dengan suka rela adalah satu-satunya hal yang paling ia dambakan.
Keadaan hening setelahnya, sama seperti biasa. Angin berhembus menemani, suara ayunan yang berdencit, air mancur yang seolah menyegarkan hari… Siwon memejamkan mata, bermaksud untuk mengistirahatkan dirinya sejenak. Tubuhnya terasa tak nyaman, sedangkan keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya.
“Kau baik-baik saja?” Yesung bertanya pelan, menghalanginya untuk memasuki dunia mimpi dan malah membuka mata. “Sepertinya kau sakit. Pulanglah,” lanjutnya dengan nada bersalah—mungkin saja pemilik helai pirang itu menganggap nyanyiannya lah yang menyebabkan ini semua.
Siwon ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja, dan sayangnya gagal ketika sebuah batu seolah menghantam kepalanya, menimbulkan rasa sakit yang tak dapat diungkapkan oleh kata-kata. Yesung menatap pria di sampingnya panik, ingin membantu namun tahu ia tak bisa melakukan hal apapun yang berbau medis.
“Pulanglah.” Sang pengguna kemeja putih berkata dengan nada memohon, menyebabkan Siwon mau tak mau bangkit dan menuruti. Ia menyempatkan diri untuk berbalik, menatap Yesung yang bergeming dan berusaha untuk tak peduli.
“Aku akan menemuimu lagi besok.”
Benarkah?
Siwon menghentikan langkahnya ketika sampai di pintu taman, mengeluarkan kunci mobilnya dan bersiap untuk menyeberangi jalan. Lalu lintas kosong tanpa adanya satu pun kendaraan. Ia melangkah, mencoba untuk mengabaikan rasa sakit yang seolah hendak membunuhnya. Langkahnya terhenti tatkala mendengar suara klakson kuat dan mendapati sebuah mobil truk dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya.
Tak ada yang dapat Siwon lakukan untuk menghindarinya; semua berjalan cepat, tak terasa, lalu berakhir begitu saja.
#
Lee Donghae menatap makam sahabatnya dalam diam, masih sulit untuk mempercayai fakta yang seolah menamparnya habis-habisan. Baru beberapa hari lalu mereka bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Tapi sekarang?
“Kau puas, Hyung?”
Ia menolehkan kepala, mendapati sosok tembus pandang yang sejak dua hari lalu mengganggu pikirannya. Sosok yang Siwon katakan sebagai teman. Sosok yang dulu ia anggap sebagai kakak kandungnya. Sosok yang ia pikir takkan tega—secara tak langsung—membunuh orang-orang tersayangnya.
Beberapa langkah di hadapannya, di samping sebuah pohon besar yang sudah tua, Yesung menundukkan kepala penuh rasa bersalah. “Dia yang memintaku untuk menyanyi,” ucapnya berusaha membela diri. Tapi ia memang benar; Yesung hanya ingin mengabulkan permintaan Siwon yang juga merupakan impiannya.
Menyanyi untuk seseorang yang benar-benar ingin mendengarkannya. Yesung hanya ingin impian kecilnya menjadi kenyataan. Impian kecil yang dulu selalu disebut sebagai hal mustahil karena suaranya tak pernah membawa keberuntungan. Impian kecil yang dulu pernah ia lakukan, namun menghancurkan kehidupan banyak orang.
Donghae juga masih mengingat dengan jelas kejadian beberapa tahun lalu. Hari-hari indahnya bersama orang-orang yang ia sebut keluarga, sebuah rumah yang selamanya akan menjadi tempatnya untuk pulang, saudara-saudara manis yang selalu memberikannya perhatian. Masa-masa indah yang tak ia sangka akan lenyap hanya dikarenakan seorang anak yang ia anggap malaikat tanpa sayap.
Tapi tak ada malaikat yang membawa malapetaka.
Kim-ahjumma, seseorang yang sejak kecil mengurusnya, tahu telah membawa seorang anak yang dikucilkan masyarakat. Anak manis yang ketika berbicara saja dapat diketahui memiliki suara khas yang merdu nan indah. Donghae tak mengerti mengapa anak bernama Yesung itu dikucilkan dan ditelantarlan di jalanan—padahal hyung barunya itu sangatlah ramah dan nyaris tak memiliki kekurangan.
“Yesung-ah, menyanyilah. Kami semua ingin mendengar suaramu.” Setelah mendengar kalimat itu, Donghae dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh Lee-ahjumma karena suhu tubuhnya yang tiba-tiba tinggi tanpa sebab. Ia sempat memberontak karena ingin mendengar suara favorit hyung barunya, namun dengan tegas salah satu kakak tertuanya mengatakan bahwa ia bisa mendengar Yesung menyanyi kapan saja setelah sembuh dan kembali ke rumah.
Melalui sudut matanya, ia dapat melihat Yesung gemetar, membuka mulutnya dan mulai menyanyi ketika pintu telah tertutup rapat. Kim-ahjumma berjanji akan menyusul ke rumah sakit setelah semua anak terlelap—dan kalau bisa, membawa Yesung bersamanya. Donghae bahkan tak mengerti mengapa rasanya ia lebih menyayangi Yesung daripada semua anak panti asuhan yang sejak kecil menghabiskan waktu bersamanya.
Tapi Kim-ahjumma tak pernah datang.
Keeseokan harinya, setelah dirawat sehari semalam akibat demam yang tak kunjung membaik, Donghae pulang ke panti asuhan bersama Lee-ahjumma yang dengan setia mengulum senyuman hangat. Ia mengira semuanya baik-baik saja. Kim-ahjumma terlalu lelah untuk menjenguknya, dan Yesung tak diperbolehkan keluar seorang diri di tengah malam. Seharusnya semua baik-baik saja.
Donghae hanya tak menyangka rumah besar yang terbuat dari kayu itu—rumah yang mana merupakan tempat tinggalnya sejauh ia dapat mengingat—telah berubah menjadi bangunan tak berguna yang habis terbakar dan dijaga ketat oleh kepolisian.
Semuanya musnah dalam sekejap.
“Aku mencari tahu tentang segalanya setelah itu, Hyung.” Donghae menatap tajam Yesung yang bergeming di tempatnya, tak sampai hati namun tak dapat merasakan hal lain selain emosi yang membara. “Termasuk tentangmu.”
Tentang Yesung dan kehidupannya yang dikucilkan masyarakat. Tentang keluarga sang hyung yang telah meninggal sejak lama. Tentang nyanyian yang orang-orang katakan sebagai musibah dan malapetaka.
Jika Yesung benar-benar tak mau menyakiti siapa pun, kenapa hari itu ia tetap menyanyi meski tahu konsenkuasi yang akan ia dan orang-orang dapatkan?
“Kau tak mengerti, Donghae-ya.” Yang disebut hyung menatap lawan bicaranya tegas, rasa bersalah dan ketakutannya telah menguap entah ke mana. Donghae yakin ia melihat tatapan kebencian. “Kau takkan pernah mengerti rasanya memiliki orang-orang yang menganggapmu ada setelah bertahun-tahun mendapatkan tatapan kebencian. Kau takkan mengerti bagaimana aku ingin mati sejak lama bersama orang-orang yang selamanya menganggap keberadaanku bukanlah sebuah kesalahan.”
Yesung menunduk, memandang tubuhnya yang dibaluti pakaian serba putih—pakaian yang ia katakan ada beberapa pasang karena kakaknya mencintai warna ini. “Kau juga tak tahu bagaimana rasanya menyesal hingga setelah mati pun kau masih tak tenang.”
Donghae melangkah mundur ketika Yesung kembali memandangnya—kali ini ia tak bisa mengidentifikasikan tatapan seperti apa yang makhluk berbeda dunia itu tunjukkan. Ada rasa kecewa, sedih, penyesalan, dendam, benci, dan kecewa. Mungkin ia memang sudah keterlaluan.
“Hei, Donghae-ya.” Suara itu melembut dan terdengar begitu menenangkan. “Dulu kau ingin sekali mendengar nyanyianku, bukan?”
Tepat di detik Donghae ingin berbalik dan meninggalkan pemakaman, sebuah suara dari balik tubuhnya berhasil membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.
“Bagaimana jika kau mendengarkannya sekarang?”
FIN
Credit title: Super Junior’s Second Album — Don’t Don; Song for You (Bonus Track)
Credit song: Aya Hirano; Misa no Uta (Death Note Insert Song)
Fyi, fict ini tercipta di saat saya sibuk mention-an maraton di twitter bersama UkeYesung, si seme tercinta, dan fairy.siwoonie, Unnie angsty tersayang. Tada! Dengan segenap rasa bersalah, fict yang nggak jelas feel-nya ini saya dedikasikan untuk dua orang yang penname-nya saya bold di atas /awkward
Happy Halloween, trick or treat!
sudah ku duga yesung itu hantu,,
tragis banget matinya siwon
donghae juga kenapa dari awal dia gak ngasih tau siwon klo yesung itu hantu,,
Karena di saat Donghae melihat Yesung dan Siwon di taman, dia masih tidak mempercayai penglihatannya huhu
Dr awal aq dah ngira Yesung itu hantu, v pas ngajak siwon masuk k rumahnya jadi mikir lg..
Trnyata dia emang hantu..
Bikin lagi chinguu..
Kenapa di saat saya bikin fiksi romance banyak yang kebingungan dan di saat saya bikin genre seperti ini semua orang bisa menebak jalan ceritanya TAT
Gomawo~^^
iya dari awal udah nyangka pasti ada sesuatu yg ‘nggak beres’ sama yesung, dan ternyata emang kayak gitu T.T
cuma ngga nyangka ternyata yesung ada hubungannya sama donghae ;;;
sedih banget sumpah di scene terakhir itu, pas mereka ngungkit masa lalu
berasa jleb banget T.T
mungkin wajar sih kalo yesung tetep mau nyanyi buat siwon dan donghae meskipun dia tau itu bakal membawa malapetaka buat orang-orang yang dia sayang,
seperti yg dia bilang, ngga ada yang tau rasanya ada diposisi dia yang dianggap pembawa sial sejak kecil T.T
okesip ini keren!!
cuma kenapa abis mati siwon ngga ada kabar?
padahal ngarepnya siwon sama yesung bisa live happily ever after u,u
yosh!! Thankyou for this beautiful fic shiki :*
Yap, you name it Unnie TT
Sejak awal genre-nya bukan romance, bukan salahku kalau Unnie berharap XD
Nado gomawo Unnie-ya^^
ini seperti cerpen? kalau bkn nama wonyehae muncul, aqu mrasa feel kpopnya kurang xD #slap
btw.. siwon dr awal ada tnda2 mau mti kn? dia bsa liat yesung.. kmudian sblum mti kplanya skit?? mksudnya dsni siwon ngidap pnykit apa? #readerkepo
yesung kejam yh… apa dia trlalu dbutakn dgn dndam smpai tk bsa mrasakan perasaan siwon pdanya -__-
mian kalau komentnya nyinggung *bow*
Karena genre-nya memang begini XD
Sebelum mati Siwon sakit, ya… sebenarnya itu termasuk tanda-tanda ‘malapetaka’ yang dimaksud orang-orang ketika mendengar Yesung menyanyi sudah mulai muncul^^
Dia bukan dendam, hanya sedih dan kebetulan Siwon datang huhu
oh………………………………….
jadi brasa ‘dingin’ gini bacanya…….
Dari awal udah ngerasa ada yg aneh ama yesung dengan pakaian putihnya n gak pernah mau natap siwon, awalnya sempat ngirain yesung buta, n sempet kepikiran dia emang dr dunia lain juga….
tapi ditepis aja dulu
Dan ternyata emang benar…… hiks hiks siwonie ;-; tapi iya seharusnya ada kelanjutan siwon setelah didunia yg sama dg yeye nih ^o^
Yesung rasanya gak salah nyanyi buat siwon karna emang siwon yg minta.. Tapi donghae…. Yesung rasanya kok jahat sengaja nyanyi buat donghae *-*
kerenlah! love please write more about yewon ❤
‘Dingin’?><
Hutang fanfict saya sudah terlalu banyak orz jangan sampai fict ini harus ada sekuel juga TAT
Itu karena Donghae terkesan menyalahkan Yesung sepenuhnya, jadi Yeye merasa kecewa dan marah… atau sejenisnya /slapped
Terima kasih Dara-ssi^^
Wow, , yesung tuh udh mati eoh. .
Hae kenal ama yeye
ahh
Begitulah jalan ceritanya XD
Aku udah bisa duga ini yesung kayaknya roh dan siwon yg bisa liat..
tapi gk nyangka juga kalo trnyata donghae itu kenal n bisa liat yesung juga..
tapi mungkin dia pura-pura gk liat pas siwon bilang mengantarkan temannya..
suara yesung itu membawa malapetaka?? duh… kasihan korbannya (red:siwon)
trus itu akhirnya gimana??? aduh suka bgt nih shiki bikin cliffhanger /ngok/
aku pengen tahu kelanjutannya shiki… gatau nih nyimpulin genre ini romance atau kagak wkwkwk soalnya yewonnya kyk cm pedekate wkwkwkw…
nyesek aku baca diendingnya…
aku penasaran -_- trus siwon gimana? ketemu gk sama yesung /lho/ wkwkwkwk
okesip shiki.. kalo bisa sih ada sequel ya *nyengir*
fighting sayang chuchuchu~~~
Dia lihat, Unn… Donghae sempat mau nahan Siwon, tapi Siwon abaikan XD
Cliffhanger itu kebiasaan tanpa sadarku huhu sebenarnya aku berharap readers bisa berimajinasi ending sesuka hati, makanya aku jarang bikin ending yang ‘fix banget’ rofl dan ini bukan romance hahahaha
Sekuel nggak akan aku pertimbangkan /runsaway
Fighting too, Unnie!^^
Udah menduga yang ga” sich ketika yesung selalu memakai baju putih yang sama terus.
Yesung kasihan banget. ketika yesung berharap bahwa suaranya dapat memberi ketenangan bagi orang yang dia sayang, ternyata suara indahnya justru dianggap sebagai malapetaka.
rasanya ketika orang” yangkau sayang justru mengucilkan dirimu, itu benar” menyakitkan..
Siwon nya gimana tuch?? hidup bahagia bersama yesung di alam lain??
Selalu, ff chingu itu keren.. ^^
Memang itu ‘kunci’-nya hihi
Nah, karena itu dia marah ketika Donghae seolah menyalahkan dia sepenuhnya TT
Silakan berimajinasi, Sisil-ssi! XD
Dan selalu, terima kasih banyak^^
Huweeee
udh firasat pas yesung tau” menghilang wktu donghae datang.
Gelagat yesung jg. Dan parahnya Ryu bca ini tu pas MALAM JUM’AT…
Ntu siwon matinya tragis amat. Trus donghae gmna? Apa yesung beneran bakalan nyanyi? Aaahh ini GANTUNG…
Harus lanjut lanjut lanjut #maksa xD
Fanfict ini nggak seram, Ryu-ssi… jadi sebenarnya nggak berpengaruh bacanya di malam Jumat XD
Saya nggak mau lanjuuut /nangis
nyanyian kematian ya…. wah yesungie biasanya bawa lgu yg indah bukan malapetaka 😦
Maafkan saya karena memutar balikkan fakta TT
ok dri awal suasana’y romntis pas baca klo yesungie pke baju serba putih n qu langsung merinding n ngeh pasti ada ssuatu yg ga beres n kecurigaan qu brtmbah pss yesung ngilang gtu ajh pas donghae dtg. qu lggsung ngira psti yesung sjenis hantu.
crira msa lllu yesung bkin jleb T_T ending’y bkin jantungnn huft~
Seharusnya Yesung pakai baju warna pink supaya plot fanfict ini nggak terbaca TT
Kesenangan tersendiri untuk saya jika ternyata ending-nya berhasil bikin jantungan XD /kabur
Waaahhh ternyata yesung bener2 hantu…
Berarti yang didtengin siwon itu pasti pantinasuhan yang terbakar… Aiiih ending tragis,,,
Aku ngga rela suara nyanyian yesungie adalah pembawa malapetaka,,,
Kasian yesung harus hidup dikelilingi kebencian…
Tetep aku suka,,,
Next story ne… jja… ^^
Benar sekali!
Saya juga nggak rela huhu. Suara Yesung ketika bernyanyi adalah suara favorit saya selamanya><
Terima kasih banyak^^
awalnya masih ragu ngira kalo yesung itu hantu.
tapi ternyata emang bener yesungie itu hantu.
kereeen 😥
Gomawooo~~
firasatku tepat klu yesung tuh hantu, dari mulai pake pakaian serba putih, ngilang waktu donghae datang dan waktu dirumah yang ngajak siwon,,,
tapi napa harus siwon mati cih ya #kagakrela siwon matiklu
klu bisa ci ada lajtnya 😛 #ngarep
100 untuk Anda! xD
Saya lambai-lambai tangan ke kamera kalau disuruh bikin sekuel TAT