Speak Now
Track 8 – Never Grow Up [KookJin/Canon]
[Don’t you ever grow up, just stay like this.]
.
.
Sungguh, Kim Seokjin tak bermaksud menyinggung Jeon Jungkook, apalagi menyulut sisi gelap sang maknae yang awalnya ia ragukan ada—tapi layaknya manusia normal, member BTS termuda itu pun memiliki sisi yang mampu menyebabkan Seokjin merinding bahkan membatu di tempat. Demi Tuhan, padahal ia adalah member paling tua!
Jungkook duduk di ruangan yang sama dengannya, memberikan tatapan penuh amarah yang hingga detik ini tak dapat Seokjin temukan alasannya. Ia hanya mengingatkan Jungkook untuk makan, apa yang salah? Seokjin hanyalah Seokjin yang bertugas menjadi sosok kakak (meski lebih pantas disebut ibu), membangunkan para member di pagi hari, menyiapkan makan, bahkan terkadang menyuci pakaian. Ia hanya ingin melakukan tugasnya dengan benar.
Lalu apa yang salah dari mengingatkan maknae untuk tak melewatkan makan malam?
“Ya, jangan memandangku seperti itu, Jungkook-ah.” Seokjin memilih untuk mengabaikan Jungkook yang ia akui terlihat aneh beberapa hari belakangan. “Aku tak bermaksud mengganggumu, atau jika mood-mu sedang tak terlalu baik, aku minta maaf.”
Seokjin mengerti labilnya emosi lelaki di umur Jungkook, tentu saja. Ia pernah mengalaminya. Mungkin karena itu. Tapi tetap saja, seorang maknae yang berusia lima tahun lebih muda seharusnya lebih bisa menjaga sikap; Jin tidak mau dianggap sebagai kakak gagal yang tak bisa mendidik adiknya dengan benar. Diam-diam, ia mencuri pandang—penasaran akan apa yang Jungkook lakukan sekarang.
Sang golden maknae masih berada di sana, duduk di atas kursi yang menghadap tepat ke arahnya. Jin dapat melihat kilatan aneh di mata Jungkook sebelum member termuda itu bangkit, berjalan ke arahnya yang menyibukkan diri dengan merapikan beberapa kertas musik milik Namjoon atau Yoongi (Jin tak tahu milik siapa, yang pasti di antara dua penggila musik itu). Tangannya yang bergerak gesit berhenti ketika Jungkook kini berada semeter di hadapannya, mengundangnya untuk mengernyit tak paham.
“Aku bukan anak kecil lagi, Hyung.”
Kim Seokjin bergeming, kemudian menjadikan wajah Jungkook sebagai pusat perhatiannya, berpikir sejenak sebelum mengakui dalam hati kebenaran yang harus ia hadapi cepat atau lambat. Jeon Jungkook-nya telah dewasa. Jungkook bukan lagi bocah menggemaskan yang tiap malam harus ia ingatkan tidur dan ia bangunkan untuk pergi sekolah. Entah mengapa, Seokjin berharap Jungkook takkan beranjak dewasa—dengan begitu, maknae kesayangannya akan tetap menjadi remaja yang ia khawatirkan tiap detiknya.
Tapi setelah memperhatikan wajah Jungkook yang lebih maskulin, otot yang mulai terlihat di tubuhnya… Seokjin mengangkat bahu ringan, mengakui bahwa Jungkook bukan lagi Kookie yang imut meski kadang masih kekanakkan. Ia harus mengakui bahwa melihat Jungkook yang sekarang, ia merindukan Kookie-nya yang penuh kejutan dan menyenangkan—bukan berarti kini sang Jeon tak lagi menyenangkan, sebenarnya.
“Oke, aku mengerti,” Jin mengalah, melanjutkan kegiatan mengumpulkan-kertas-entah-milik-Namjoon-atau-Yoongi sambil melanjutkan, “Jadi kau mempermasalahkan aku yang memperlakukanmu seperti anak kecil? Mengingatkanmu makan?”
Respon negatif dari Jungkook berartikan ya bagi Seokjin, dan si hyung tertua tak dapat merasa lebih kecewa. “Jeon Jungkook, aku ini lima tahun lebih tua darimu dan berperan sebagai kakak tertua di sini. Yoongi yang lebih muda setahun dariku saja menghargai apa yang kukatakan,” Jin menatap lelaki bersurai senada dengannya lalu menghela napas, “Dan ya, kau sudah dewasa sekarang. Tapi kau tetap adikku, Maknae,” tegasnya final.
Jungkook mengepalkan tangannya, merasa emosi menguasainya detik itu juga. Ia benci Seokjin yang bertingkah layaknya seorang kakak, setidaknya bagi dirinya. Jungkook tak pernah menyukai ide di mana Seokjin adalah hyung yang harus terus memperhatikannya sebagai adik bungsu di dalam sebuah keluarga; meski kurang lebih itulah keadaan yang ada di depan mata. Ia sudah menghabiskan waktu yang sangat lama, menunggu umurnya mencapai garis di mana ia dapat disebut sebagai orang dewasa.
Sekarang, setelah akhirnya ia legal, Jin malah tetap memperlakukannya layaknya anak sekolah dasar dengan mengingatkan makan malam? Jangan bercanda.
“Aku bukan adikmu,” desis yang lebih muda seraya bergerak mendorong tubuh hyung di depannya. Jungkook mendapati kertas yang Jin kumpulkam jatuh bertebaran, sepasang mata yang membulat, juga tubuh sang visual yang menabrak dinding dorm mereka. Ia tak membiarkan Jin mengatakan apapun juga karena hampir di detik yang sama, Jungkook memberanikan diri mencium telinga Seokjin, mengakibatkan indra pendengar itu langsung memerah.
Salah satu tangannya ia gunakan untuk menahan kedua tangan Jin di atas kepala. Jungkook dapat melihat sinar ketakutan bercampur gugup yang terpancar jelas di mata indah hyung-nya. Ia tak menyangka mendominasi Kim Seokjin ternyata terasa begitu menyenangkan.
“Aku sudah menunggu lama untuk ini, Hyung. Jangan halangi aku.”
Jin tentu saja menegang tatkala Jungkook mencuri ciumannya tepat di bibir dengan tatapan intens, lalu meninggalkannya semenit kemudian dengan senyuman miring. Baik jiwa dan raganya tak dapat mempercayai apa yang baru saja sang maknae lakukan pada dirinya—Seokjin berakhir berdiri di sana, menunduk dan mencerna lagi apa yang baru saja terjadi padanya.
Mulai hari ini, ia bersumpah takkan macam-macam dengan Jeon Jungkook yang terlalu pandai memerankan peran lelaki dewasa meski baru saja mendapatkan gelar tersebut.
FIN
Credit title: Taylor Swift’s Third Album – Speak Now; Never Grow Up
I fall too hard for BTS oh my they’re sooo asdfghjkl (can’t describe by words)