Speak Now: Better Than Revenge

Speak Now

Track 10Better Than Revenge [HaeSung/AU]

[—I underestimated just who I was dealing with.]

.

.

Orang-orang selalu berusaha terdengar bijak, berkata bahwa tak ada pembalasan dendam yang lebih baik daripada bahagia, membuktikan pada orang yang menyakitimu bahwa kau baik-baik saja dan masih bisa tertawa semalaman.

Tapi Donghae tidak melakukannya; faktanya ia tidak bisa merasa bahagia, atau minimal berpura-pura. Tiap sepasang matanya bertubrukan dengan hazel milik Kim Jongwoon, ia akan hanyut di dalamnya berulang kali, jatuh cinta ke sekian kali, mengorbankan perasaannya seorang diri. Selalu seperti itu—meski beberapa jam setelah kebersamaan mereka, Jongwoon akan pergi, lalu datang kembali pada suatu hari.

“Aku bukanlah seseorang yang baik untukmu, Hae-ya,” ucap sang pemilik nick-name Yesung seraya menyandarkan kepalanya pada dada Donghae, menyamankan posisi mereka yang kini berbaring di atas ranjang.

“Aku tahu,” jawaban itu tak menghibur keduanya. “Kurasa akulah yang paling mengetahuinya.”

Yesung tertawa pelan, dalam hati membenarkan. Ia tak tahu suara tawanya adalah melodi menenangkan bagi telinga Donghae, jugalah sebuah silet yang berusaha menyayat lelaki itu di saat bersamaan, tanpa aba-aba atau minimal tanda-tanda. Baginya, ia adalah sebuah malapetaka untuk seseorang yang mempercayai cinta; sedangkan bagi Donghae, ia adalah bagian dari fatamorgana.

Lalu esok harinya, seperti yang terjadi di hari-hari sebelumnya, Donghae terbangun seorang diri—tanpa Yesung, tanpa kecupan sampai jumpa, tanpa notes yang bertuliskan catatan kecil demi hiburan semata.

Lee Donghae akan menjalani harinya seperti biasa setelahnya, seolah Yesung tak pernah masuk ke dalam kehidupannya. Ia akan berpura-pura tuli ketika temannya menyebut nama sang Kim, ia akan berpura-pura buta ketika tak sengaja melihat wajah namja itu di majalah atau iklan televisi, ia akan menahan rasa sesak di dalam dada ketika tak sengaja datang ke sebuah bar dan menemui Yesung bersama lelaki lain.

Karena ia hanyalah sebuah hiburan bagi Kim Jongwoon, dan saat itu, Donghae tak dapat melakukan apapun. Ia merasa cukup.

Sebulan kemudian, Yesung kembali datang dengan senyuman yang membuatnya merasa bodoh hingga berpikir bahwa ia mungkin tak punya otak. Ia mencintai lelaki ini, yang selalu datang di saat sepi, yang pergi di saat tak membutuhkannya lagi. Donghae mendekap tubuh polos Yesung yang berada di bawahnya malam itu, memberikan rengkuhan penuh yang sebelumnya tak pernah ia lakukan karena merasa takut.

Takut akan penolakan, namun kini persetan dengan penolakan.

“Kau memperlakukanku seperti sampah, Jongwoon-ah.”

“Aku tahu,” jawaban dari pernyataan itu mengingatkan keduanya akan pertemuan terakhir mereka. “Kurasa akulah yang paling mengetahuinya,” yang lebih tua memutuskan untuk melanjutkan dengan kalimat yang sama persis dengan sebulan lalu.

Donghae memberikan jarak tipis di antara wajah mereka, memandang iris sang Kim yang begitu dikaguminya. “Dan aku keberatan dengan itu.”

Kecupan yang Donghae berikan pada beberapa bagian di wajah Yesung menyebabkan pemilik helai hitam itu bungkam, terpukau dengan kelembutan dan ketulusan yang dapat ia rasakan. Tapi Yesung hanyalah Yesung yang akan menganggap hidup sebagai lelucon belaka. “Lalu apa? Kau mau membalas dendam?” tanyanya sebelum membalas ciuman yang diberikan tepat di bibirnya.

“Tidak. Lebih baik dari itu.”

Sang Lee meneruskan kegiatannya, bergerak dalam satu irama sama, memberikan kenikmatan yang saat itu berlandaskan cinta bertepuk sebelah tangan. Yesung berusaha bertanya meski gagal, tak dapat berpikir jernih di saat Donghae tengah memanjanya sedemikin rupa. Ia berusaha menemukan napasnya, tapi yang ia temukan hanyalah wajah Donghae, seluruh yang ada pada lelaki di atasnya, juga cerminan dirinya di mata jernih pemuda itu.

Tubuh lengket Donghae jatuh di atas tubuhnya sejurus kemudian, membuatnya merasa dua kali lipat lebih sulit bernapas—meski Yesung tak keberatan. “Aku takkan melepaskanmu kali ini. Aku takkan membiarkanmu meninggalkanku lagi,” mendengarnya, ia membulatkan mata tak percaya. “Kau takkan bisa lari dariku, Kim Jongwoon.”

Suara tawa dari yang lebih tua terdengar di sela hela napas tak beraturan. “Kejar aku, Donghae-ya. Tahan aku jika kau bisa melakukannya,” tantangnya tanpa bermaksud meremehkan. “Jika kau bisa bertahan dan melakukannya, maka aku takkan lari lagi setelahnya,” ia melanjutkan.

Lee Donghae tersenyum kala itu, sesuatu yang begitu jarang Yesung temukan meski bertahun-tahun mereka saling mengenal.

“Kau sadar akan apa yang kau katakan, bukan?” Jeda singkat yang tercipta dimanfaatkan Donghae untuk kembali memberikan kecupan di dahi yang lebih tua. “Karena setelah ini, meski menginginkannya, kau benar-benar takkan bisa lari ke manapun.”

Kim Jongwoon, kala itu hanya dapat menyeringai sebagai tanggapan—merasa mampu menyanggupi apa yang Donghae tawarkan. Mengabaikan fakta bahwa kalimat itulah yang ia nanti sekian lama.

FIN

Credit title: Taylor Swift’s Third Album – Speak Now; Better Than Revenge

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s