In Love with the Trouble

Hogwarts AU Series: Part 3

Seminggu belakangan, rasanya Seokjin hidup bagai tak bernapas.

Kim Taehyung, adiknya, menolak bicara dengannya setelah mendengar kabar bahwa ia berpacaran dengan Min Yoongi (astaga, kenapa ia mengakui hubungan ini?), sedangkan si pembawa masalah itu sendiri sering kali muncul secara mendadak di dekatnya, mengakibatkan jantungnya nyaris melompat keluar. Yoongi memang tak melakukan apapun selain berada di sisinya seraya sesekali mencuri pandang, namun Seokjin merasa risih bukan kepalang.

Hidupnya berotasi dengan cepat, tak membiarkannya memiliki waktu untuk mencerna apa yang terjadi dengan seksama. Ia, seorang murid tahun keempat Hufflepuff, seminggu yang lalu mendapat pernyataan dari seorang Slytherin tanpa ada angin maupun hujan menerjang Hogwarts.

Oh, jika pernyataan itu bisa disebut sebagai pernyataan. Yang ia dapatkan adalah pernyataan secara harfiah, bersifat mutlak dan tak membutuhkan jawaban. Seokjin mendapati dirinya yang seorang muggle-born berstatus sebagai kekasih seorang penyihir berdarah murni dalam sekejap, dan ia tak dapat menolak.

Lelaki Slytherin yang menjadi pion utama masalah hidupnya saat ini, yang tak ia kenal baik, ternyata adalah seorang murid yang cukup terkenal. Seokjin pikir ia merasa familiar dengan nama Yoongi hanya karena Jungkook sering menyebut nama kekasih-sial-kenapa-dia-kekasihku itu, namun ternyata nama pemilik surai blond tersebut memang kerap disebut-sebut, terutama sebagai murid terbaik di kelas pertahanan terhadap ilmu hitam.

Khas Slytherin, ia membatin. Segala hal berbau kegelapan memang identik dengan asrama tersebut meski nama Slytherin sendiri tak seburuk beberapa belas tahun lalu, sebelum Perang Dunia Sihir Ke-2. Hanya saja, sejarah kelamnya masih melekat hingga sekarang—pun meski tak lagi mengangungkan kemurnian darah sebagai ciri khas, anggota asrama itu masih sering mendiskriminasi para muggle-born seperti dirinya.

Yang mana sering membuatnya semakin bertanya-tanya; seorang Slytherin berdarah murni yang berbakat, ada gerangan apa hingga bisa menaruh perhatian pada seorang muggle-born super biasa? Apakah mungkin ia tengah menjadi bahan taruhan? Tapi, hei, Yoongi berlaku tidak adil namanya!

“Min Yoongi memang hebat,” kalimat itu berhasil mengundang dahi Seokjin untuk mengernyit, entah pertanda tak menyetujui atau apa. “Lagi-lagi dia mendapat nilai sempurna di kelas pertahanan terhadap ilmu hitam. Profesor sampai tidak bisa berkata apa-apa.”

“Benarkah? Sebenarnya itu tidak mengejutkan,” satu suara asing menanggapi. “Kudengar di darahnya mengalir darah… uh, kau tahu siapa maksudku. Jadi, wajar saja.”

Itu gosip baru. Seokjin menelan ludah tanpa sadar, menimbang apakah harus memasukkan informasi bertajuk gosip tak berbukti yang ia dengar ke dalam kepalanya atau tidak. Tampaknya, ia berurusan dengan seseorang yang jauh lebih menyeramkan—dan merepotkan—daripada yang ia duga. Jika dipikir-pikir, ia memang sama sekali tak mengetahui apapun tentang sosok di depannya.

… Di depannya?

BRUK

“Ssshh!”

Seokjin beberapa kali mengucapkan kata maaf, mengabaikan rasa sakit di bokongnya yang dengan sukses mencium lantai akibat tersentak mendapati keberadaan Yoongi—secara ajaib duduk dengan tenang menghadapnya. Ia dapat merasakan beberapa pasang mata tengah menjadikannya pusat perhatian, entah karena ia membuat keributan kecil di perpustakaan, atau karena bingung mendapati dirinya berada di meja yang sama dengan si Slytherin berkulit pucat.

Namun yang manapun itu, Seokjin tak benar-benar peduli karena ia memiliki masalah sendiri sekarang. Sebuah masalah yang seminggu belakangan ini membayang-bayanginya. Sebuah masalah yang hingga kini belum ia temukan jalan keluarnya. Sebuah masalah yang membuatnya sakit kepala dan ingin melupakan jati dirnya sebagai seorang Hufflepuff.

Sebuah masalah bernama Min Yoongi.

“Berdiri. Duduklah dengan benar, kau terlihat bodoh,” ketus pemuda yang duduk memunggungi jendela besar, mengakibatkan Seokjin sedikit menyipitkan mata akibat silaunya cahaya. Yoongi tak terlihat memiliki inisiatif untuk membantu Seokjin yang dengan konyol masih bergeming, memilih untuk melemparkan tatapan tak berminat yang sama sekali tak ditutupi.

Tahu bahwa ia tak bisa menghabiskan waktu duduk di atas lantai selamanya, Seokjin menuruti. “Apa yang kau lakukan di sini?” Ia bertanya sebelum menggelengkan kepala cepat. “Lupakan. Meski aku bertanya, kau hanya akan mengabaikannya.”

Kembali pada tujuan awalnya mengunjungi perpustakaan, Seokjin berusaha hanyut di dalam buku yang ia baca. Tugasnya akan terus menumpuk apabila ia tak segera menyelesaikan tugas yang diberikan Profesor Longbottom, dan ia sama sekali tak menginginkannya. Namun sekeras apapun ia berusaha, ia tak bisa berkonsentrasi dikarenakan pikirannya yang melayang entah ke mana.

Dikarenakan hatinya yang terus bertanya; Min Yoongi itu siapa?

“Ada yang mengganggumu?”

Seokjin mendelik mendapati pertanyaan itu. Ia ingin menjawab, “Ya. Kau menggangguku.” Dengan amat sangat jika saja tak teringat tata karma. Tapi, sejak awal Yoongi sudah mengabaikan semua norma sosialisasi yang ada, jadi mungkin tak ada salahnya?

Ada sebuah gerakan tak berarti yang Yoongi lakukan, dan itu lebih dari cukup untuk menarik Seokjin kembali pada hal yang harus dihadapinya; kenyataan. “Oh? Tidak, sama sekali tak ada.”

Yoongi memicingkan mata, bukan berarti merasa curiga. Ia tak perlu merasa curiga di saat telah mengetahui bahwa Seokjin berbohong—lelaki itu pembohong yang buruk. Helaan napasnya terdengar beberapa detik kemudian, mencondongkan tubuhnya secara perlahan dan membiarkan Seokjin mundur hingga punggungnya menyentuh sandaran.

“Katakan.”

“Maaf?”

“Semua yang ada di dalam otakmu. Katakan padaku,” ujarnya masih dalam posisi sama. “Tanyakan yang mau kau tanyakan. Aku akan menjawabnya.”

Mungkin sosok di depannya ini jugalah murid top di kelas ramalan (apakah membaca pikiran orang lain termasuk meramal?). Seokjin mengerjap gugup begitu membayangkan Yoongi telah mengetahui seluruh isi pikirannya tanpa terkecuali—ia benar-benar tak menginginkan hal itu terjadi. Dan tatapan lurus itu juga tak membantu, jika saja ia boleh berkata jujur.

“Aku tidak tahu,” akhirnya ia mengaku. “Apapun. Aku sama sekali tak mengetahui apapun tentangmu,” Seokjin menarik napas, memberi jeda yang terasa lebih lama daripada seharusnya. “Kau bilang kita bisa lebih mengenal satu sama lain, tapi seminggu telah berlalu dan aku masih tak tahu apapun.”

Mendapat respon negatif dari Yoongi yang bersikeras memertahankan poker face-nya, Seokjin merasa lebih bodoh daripada keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama. Ia menutup buku yang sebelumnya ia baca, menumpuk beberapa buku kusam, lalu bangkit untuk mengembalikannya ke rak. Menenangkan diri di ruang rekreasi terdengar sepeti ide yang lumayan untuk sekarang.

“Namaku Min Yoongi. Slytherin, tahun keempat…” Seokjin menghentikan geraknya, memandang Yoongi yang kembali bersandar. “…darah murni, masih keturunan keluarga Peverell,” lanjutnya lamat-lamat, berdeham canggung ketika Seokjin memutuskan untuk duduk kembali di hadapannya. “Ada lagi yang ingin kau ketahui?”

Mendengar kalimat masih keturunan keluarga Peverell, Seokjin kini mengerti mengapa Yoongi disebut memiliki hubungan darah dengan Kau-Tahu-Siapa. “Hobi? Hal yang disukai? Makanan favorit?” tanyanya cepat, tahu takkan memiliki kesempatan sama untuk kedua kalinya.

“Tidur, kurasa. Musik? Aku suka hip hop,” jawaban Yoongi menyadarkan Seokjin bahwa Yoongi jugalah manusia biasa, bukan orang kaku terprogram yang hanya tahu bagaimana cara menghabiskan hidup secara monoton layaknya robot. “Makanan… sashimi.”

Seokjin masih sibuk memikirkan berbagai pertanyaan lain di saat Yoongi kembali bersuara, “Santai saja. Kau punya waktu seumur hidup untuk bertanya, aku takkan lari ke manapun.”

Merasa tak sepemikiran dengan sang Slytherin, Seokjin baru saja ingin memprotes bahwa ia takkan memiliki kesempatan seperti ini lagi karena Yoongi akan kembali tak mengacuhkannya; ia hanya tak menyangka bahwa di detik ia ingin menyemprot lelaki itu, senyum hangat Yoongi lah yang menyambut matanya.

Untuk pertama kalinya, Yoongi tersenyum. Seokjin mendapati oksigen tiba-tiba sulit ia raup, mencekiknya dengan cara paling tidak logis di dunia karena rasanya paru-parunya telah dipenuhi oleh bunga yang bermekaran—konyol, dan ia tahu kini ia berada dalam keadaan gawat darurat.

Ketika melihat senyum itu, Seokjin sadar bahwa kini ia terjerumus ke dalam sebuah masalah yang lebih berat daripada terjebak menjalin hubungan dengan seorang Slytherin bernama Min Yoongi.

Masalah itu, mungkin bernama jatuh cinta.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s