Hogwarts AU Series: Part 3.2
“Hyung, kata orang patah hati itu mengerikan.”
“Hmm? Maksudmu, Tae?”
“Kau benar-benar akan merasa sangat buruk dan ingin melakukan hal terbodoh yang melintas.”
“Tae? Kau baik-baik saja?”
“Intinya, jangan pernah jatuh cinta.”
.
.
.
Kim Taehyung ingat pernah memberikan nasihat tentang “jangan jatuh cinta” pada kakaknya, namun seperti biasa, Seokjin sangat hebat dalam hal mengabaikan—yang mana ia petik dengan baik sejak lama karena, tentu seorang adik adalah pengikut tersetia sang kakak.
Semua tidak akan menjadi serumit ini apabila Seokjin jatuh cinta dengan manusia normal. Jatuh cinta saja sudah terdengar tabu bagi Taehyung, apalagi jatuh cinta dengan manusia tak normal? Bukan berarti kakaknya itu jatuh cinta pada kurcaci, tapi—
…Seorang Slytherin bisa dikategorikan manusia tak normal, bukan?
Ia tak tahu dengan pasti sejak kapan ia mulai membenci para penghuni asrama tersebut. Seokjin telah menegurnya berkali-kali, menyatakan bahwa berprasangka buruk dan melabeli sesuatu itu tidak baik. Taehyung terbiasa menjadi adik yang penurut, namun tidak untuk hal satu ini. Slytherin pantas ia labeli sebagai asrama terburuk yang harus segera dihapuskan; biarkan saja para penghuninya menyebar di asrama lain dan bergabung dengan murid Gryffindor, Hufflepuff, ataupun Ravenclaw. Mereka harus diajarkan bagaimana caranya berbaur dengan benar.
Taehyung ingat hari pertamanya datang ke Hogwarts, menjadi satu-satunya muggle-born di antara teman seangkatannya. Penyihir muggle-born memang sangatlah jarang, dan jumlahnya benar-benar terbatas di tahunnya. Taehyung sukses menarik perhatian dengan latar belakang orang tua manusia biasa, ditambah memiliki seorang kakak yang sudah setahun lebih dahulu bergabung di Hogwarts. Saat itu, ia pikir dengan masuk Gryffindor dan menunjukkan bahwa ia berbakat, semua orang takkan membahas keluarganya.
Memang tak ada yang membahas, mungkin hanya satu-dua temannya, itu pun bertanya dengan sopan. Setidaknya hingga suatu hari ia berduel dengan seorang Slytherin di kelas pertahanan terhadap ilmu hitam, memenangkan duel tersebut, lalu dihujat darah lumpur oleh si Slytherin yang tak terima dikalahkan. Taehyung tak ambil hati pada awalnya—tapi ketika penghuni asrama yang identik dengan ular itu mengerjai kakaknya, Taehyung kehilangan alasan untuk tak melakukan pembalasan.
Sebagai seorang Gryffindor berbakat, Taehyung sukses memberi pelajaran pada anak sialan itu meski harus rela poin asramanya dikurangi. Seokjin juga memarahinya hari itu, mengatakan bahwa ia tak perlu dilindungi dan bisa menjaga diri sendiri dengan baik. Tentu Taehyung percaya, hanya saja ia tak percaya Seokjin akan melakukan sesuatu untuk membalas. Kadang, ia ingin mengutuk sifat terlalu baik—terlalu Hufflepuff—milik kakaknya.
Sekali lagi, ia memang merasa tak adil jika ada yang mengatai dirinya seorang darah lumpur, tapi Taehyung masih bisa menerimanya; dengan catatan hanya dia satu-satunya yang dijadikan sasaran, jangan libatkan Seokjin. Kakaknya adalah seseorang yang sangat baik hati, menyenangkan, dan layak diberi pujian, bukan hujatan. Taehyung rela menjadi tameng bagi sang hyung karena sejak mereka kecil, Seokjin sudah cukup banyak menderita.
Mereka lahir di sebuah keluarga yang tak diselimuti kasih sayang; pernikahan demi mulusnya karir, orang tua sibuk yang tak pernah menyempatkan untuk pulang, juga peraturan tak tertulis tentang harus menjaga sikap. Seokjin selalu berusaha memainkan peran ganda untuk Taehyung, menjadi saudara dan orang tua di saat bersamaan meski umur mereka hanya terpaut satu tahun. Ketika akhirnya Seokjin diundang masuk Hogwarts, Taehyung lah yang memaksa kakaknya untuk menerima undangan itu. Ia sendiri tahu bahwa ia akan menyusul, sehingga terpisah selama setahun takkan menjadi masalah. Taehyung memanfaatkan waktu selama Seokjin tak ada dengan mempelajari tentang dunia sihir sebanyak yang ia bisa di umur teramat muda.
Misinya setelah sukses menyusul Seokjin dan menjadi murid di Hogwarts hanyalah satu—Taehyung ingin bertukar peran, ia ingin menjadi sosok yang melindungi, bukan lagi dilindungi. Pada akhirnya, terlepas dari umur, Taehyung memiliki pribadi yang membuatnya berkembang dan maju beberapa langkah lebih cepat dari kakaknya. Mudah bergaul, pintar, dan konyol di saat bersamaan, membuatnya dikenal dengan mudah. Ia menjadi favorit beberapa profesor dan dihargai oleh murid lainnya. Di samping itu, seiring berjalannya waktu, terlebih setelah kejadian dengan Slytherin itu, semua orang menghormatinya dan berpikir dua kali untuk sekedar melirik Seokjin.
Setidaknya hingga beberapa bulan lalu ia mendapat kabar bahwa Seokjin berpacaran dengan Min Yoongi.
Seorang Slytherin arogan yang sering kali dielu-elukan.
“Seokjin-hyung, kau—”
“Tunggu! Aku tidak tahu! Semua terjadi begitu cepat dan aku tidak bisa me-menolaknya…”
“Kenapa, Hyung? Kau tahu betapa aku membenci mereka!”
“Taehyung!”
“Mereka menyakitimu! Mereka membuatmu dirawat selama sebulan penuh!”
“Dengarkan aku, Taetae. Bukan mereka, bukan Slytherin. Jika salah satu dari mereka bukanlah orang baik, bukan berarti mereka semua tidak baik.”
“…Aku tidak mengerti, Hyung. Aku tidak akan pernah mengerti bagaimana caramu memaafkan mereka dan berpikiran seperti itu.”
Ia ingat bagaimana ia menolak berbicara dengan Seokjin entah selama berapa lama, dan ia ingat bagaimana setiap harinya ia mencari Jeon Jungkook karena masalah ini pasti berawal dari bocah sialan itu. Satu-satunya Slytherin yang berani menempel dengan Seokjin, dan satu dari sedikit orang yang sering terlihat bersama Yoongi. Taehyung bersumpah akan membuat hidup sang Jeon menderita, tapi ia tak menemukan sosok itu meski beberapa bulan telah berlalu—hanya sesekali di aula dan di saat tak memungkinkan untuk mendamprat si bocah.
Yang baru Taehyung sadari adalah di saat kau menyerah, di saat itulah Tuhan memberikan jalan keluar. Ia hanya ingin kembali ke asrama ketika sepasang matanya menemukan Jungkook baru saja keluar dari kelas ramalan, berjalan ke arahnya dengan kepala menduduk, tak menyadari baru saja menyerahkan hidupnya pada Taehyung yang langsung meraih tongkat sihir dari balik mantelnya.
Di saat yang lebih muda menghentikan langkah akibat sepasang sepatu yang menghalangi jalannya, Jungkook mendongak dan menelan ludah mendapati Kim Taehyung berdiri tegak seraya mengacungkan tongkat ke arahnya, mengakibatkan dirinya tanpa sadar melangkah mundur dengan sepasang mata yang waspada.
“Jeon Jungkook.”
Oh tidak.
Jungkook sudah berusaha menghindari pemuda Gryffindor ini semampunya, namun pada akhirnya ia memang tak bisa bersembunyi selamanya. “Ugh, halo, Hyung?”
Tak tampak puas dengan sapaan itu, Taehyung memicingkan mata. “Kau masih berani memanggilku hyung setelah menjerumuskan kakakku ke dalam sebuah hubungan dengan Min Yoongi?” geramnya sambil berjalan mendekat. Jungkook mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu menarik Taehyung secepat kilat—menyembunyikan tubuh mereka di balik tembok agar tak ada yang curiga, atau mungkin, agar tak ada yang melihatnya disihir-entah-menjadi-apa.
Dengan gesit, Taehyung menepis genggaman Jungkook di lengannya, melemparkan tatapan membunuh yang sejujurnya tidak terlalu menyeramkan mengingat hal konyol yang sering si Kim lakukan. Jungkook sendiri menggumamkan maaf, membiarkan Taehyung memberi jarak lebih besar di antara mereka. Mungkin ini waktu yang tepat untuk berbicara dengan Taehyung karena meski sejak awal ingin mengajak adik Seokjin ini untuk berbincang, ia tak kunjung melakukannya karena sedikit-banyak takut Taehyung langsung merapalkan sihir kutukan.
“Aku tahu kau marah, aku tahu kau tak menyukai Slytherin. Tapi Yoongi-hyung itu orang baik—”
Taehyung mendengus. “Orang baik yang memaksakan kehendak. Benar sekali.”
Ini dia. Jungkook tahu apa yang Yoongi lakukan hanya akan menjadi alasan dirinya lebih cepat dijumpakan dengan maut, karena itu sejak awal ia menolak ide Yoongi untuk memaksa Seokjin menerimanya tanpa masa pendekatan atau minimal perkenalan. “Oke, Yoongi-hyung salah untuk yang satu itu,” akunya menyebabkan Taehyung tampak sedikit lebih rileks karena menyadari bahwa ia tidak membenarkan hal yang jelas-jelas salah. “Tapi lihat sekarang! Mereka bisa menjalani hubungan itu dengan baik dan tampaknya Seokjin-hyung juga mulai menikmati ini, bukan?”
Ada yang aneh dengan cara Taehyung mengalihkan pandangan, Jungkook menyadari itu. “Justru karena itu,” jeda sesaat. Tarik napas, buang. “Aku tak mau Seokjin-hyung menikmati hubungan mereka,” lanjut Taehyung tanpa mengacuhkan ekspresi terkejut Jungkook.
“Seokjin-hyung mungkin mempercayaimu,” Taehyung mengepalkan tangan kanannya nyaris sekuat tenaga. “Tapi aku tidak. Aku takkan mempercayai Slytherin, Jungkook,” ia berucap dengan nada tegas dan sepasang mata yang menyiratkan keseriusan. “Tapi jatuh cinta—aku lebih tak mempercayai hal itu melebihi apapun.”
Mendengarnya, yang lebih muda merasakan rasa bersalah menyusup masuk ke dalam hatinya. Ia tak tahu apa yang menyebabkan Taehyung tak mempercayai perasaan bertajuk lima huruf itu, namun ia lebih tak tahu darimana keberanian datang menghampirinya hingga ia berani berkata, “Itu sama saja kau mengakui bahwa Seokjin-hyung… Sudah jatuh cinta.”
Ia berusaha tak terlihat terpengaruh dengan umpatan Taehyung yang takkan terdengar apabila ia tak menaruh seluruh perhatiannya. “Kalau begitu akan kubuktikan,” Jungkook melangkah mendekati Taehyung yang bergeming, tak tampak terusik oleh jarak yang semakin mengecil. “Jika dalam waktu satu bulan aku bisa membuatmu jatuh cinta, apa yang akan kau lakukan?”
“Konyol,” Taehyung mendengus, tak berkomentar lebih jauh ketika mendapati Jungkook tak terlihat bermain-main sama sekali. Seharusnya ia menerima tantangan itu, lalu membuat perjanjian yang menguntungkannya di saat ia berhasil. Namun Taehyung berakhir tak percaya diri meski yakin bahwa jatuh cinta adalah suatu hal yang baginya mustahil.
Seketika, Taehyung tak lagi berminat untuk membunuh pemilik gigi kelinci di depannya. Ia mengembalikan tongkatnya ke tempat semula, lalu memutuskan untuk menyudahi perbincangan mereka. Lain hari, ia benar-benar akan membuat Jungkook menyesal. Tidak sekarang.
Melihat lawan bicaranya membalikkan tubuh dan hendak meninggalkannya, Jungkook kembali bersuara, “Kau takut, Kim Taehyung?”
Omong kosong, batin sang Kim dalam hati. Tak ada yang harus ia takuti. Tak mungkin ia akan jatuh hati. Meski begitu, Taehyung hanya melangkah pergi, meninggalkan Jungkook yang tak berkata apapun lagi. Ia hanya tak ingin terlibat dalam hal rumit dan memiliki masalah dengan Slytherin berada pada baris nomor satu list berisikan hal rumit yang ia tulis.
Benar. Pasti karena itu. Ia ragu karena berurusan dengan Slytherin hanya akan membuang waktu dan menguras emosi.
Kim Taehyung tak menyadari bahwa di detik ia tak menyanggupi tantangan itu, ia sudah kalah telak dan meragukan apa yang ia yakini.