Elapse [Chapter 2]

Min Yoongi terbangun dari tidurnya pada pukul enam pagi, terlalu dini untuk dirinya yang belum lama ini baru saja dijemput alam mimpi. Ia tidak benar-benar ingat kapan waktu pasti ketika ia jatuh terlelap; satu jam lalu? Setengah jam?

Di sebelahnya, sosok bersurai hitam yang kontras dengan warna rambutnya masih bergeming dengan gerakan napas teratur. Wajah tampan Seokjin menghadap ke arahnya, memperlihatkan raut tentram akan tidur yang terlampau nyenyak. Yoongi memerhatikan wajah itu dalam diam, menahan rasa ingin membelai kulit lembut yang terlihat begitu menggodanya.

Apakah ini sebuah kesalahan?

Memejamkan kembali sepasang matanya, ia mengenang momen lebih dari setengah tahun lalu, hari-hari di mana Seokjin mulai berubah. Sikapnya, tingkah lakunya pada Yoongi yang perlahan mendingin dan menciptakan jarak. Yoongi pikir Seokjin hanya membutuhkan sedikit waktu untuk sendiri, namun ternyata Seokjin memilih untuk pergi.

Lebih dari tiga tahun mereka habiskan bersama. Yoongi tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa banyak hal yang dapat berubah dalam kurun waktu satu hari, karena ia mengalaminya. Seokjin, misalnya, berubah dalam waktu satu hari—menggantikan seluruh sikap manis dan suasana hangat tanpa satu pun peringatan yang hadir. Yoongi menghabiskan waktu terlalu lama dengan lelaki itu untuk tidak menyadari satu hari di mana Seokjin mulai berubah.

Rasa bosan? Orang baru? Kesibukan? Dari semua alasan klasik yang ada, Seokjin memilih satu alasan paling klasik dan ambigu di saat bersamaan. Hingga detik ini pun, Yoongi masih tidak dapat mendefinisikan alasan itu seutuhnya karena Seokjin selalu menolak untuk memberikan penjelasan lengkap.

“Yoongi-ah, hubungan ini takkan berhasil.”

Tapi Seokjin memang selalu seperti itu, membuat satu konklusi tanpa berdiskusi. Melindungi diri sendiri dengan dalih ingin melindungi hati orang lain. Yoongi pikir, meski ia cukup egois dengan terus berusaha mendapatkan Seokjin kembali di bulan pertama hubungan mereka berakhir, Seokjin merupakan sosok dengan tindakan yang lebih tidak logis.

Apanya yang tidak akan berhasil? Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Yoongi memilih untuk menghadapinya, sedangkan Seokjin memilih untuk lari bahkan sebelum berjuang.

Ia mengakui bahwa dirinya adalah seorang lelaki yang jatuh cinta terlalu dalam, menerima risiko patah hati dan sulit untuk beradaptasi dengan rasa sesak di dalam dada yang tak kunjung hilang. Namun Yoongi bukanlah seorang pengecut; ia tahu kapan harus berjuang, kapan harus berhenti, dan kapan harus pergi.

Maka saat ini, Yoongi tidak akan lari dari jalan yang telah Seokjin pilih. Seokjin telah memutuskan untuk berjalan seorang diri, meninggalkannya dengan serpihan hati yang takkan mungkin utuh kembali. Yoongi tidak akan mengeluh lagi, tidak akan menahan diri untuk melakukan hal yang sama kali ini.

Perlahan bangkit dari tempat tidurnya, ia merobek secarik kertas dari sebuah buku di atas nakas. Tangan kanannya menuliskan dua kalimat singkat yang setelah kembali dipikirkan, sama sekali tidak ada gunanya. Ia meremuk kertas itu dalam diam, meraih pakaiannya yang tergeletak di atas lantai kamar. Yoongi tidak menolehkan kepala, meninggalkan ruangan tanpa harus merasa bersalah. Seokjin pernah melakukan ini padanya dan takkan ragu untuk melakukan hal yang sama jika ia terbangun lebih dulu.

Yoongi tidak lagi ingin merasakan sakitnya ditinggalkan. Ia sudah cukup muak bergelut dengan perasaan yang menghantuinya itu sejak lama. Kali ini, ia memilih untuk menjadi pihak yang meninggalkan.

Kali ini, Seokjin harus merasakan apa yang telah ia lalui dengan susah payah.

“Yoongi-ah, hubungan ini takkan berhasil.”

Dua minggu sebelum memutuskan untuk mengucapkan kalimat itu, agensi yang menaungi Seokjin terkena skandal besar. Aktor ternama yang memiliki salah satu bayaran paling mahal di dunia hiburan pada tahun lalu, senior yang dihormatinya, tertangkap kamera tengah berciuman dengan aktor lain yang sedang naik daun. Foto yang tersebar tidaklah terlalu jelas, namun dua orang itu terlalu familiar sehingga mudah untuk dikenali semua orang.

Berkat kekuasaan besar agensinya, seluruh foto yang tersebar di internet dilenyapkan dalam waktu cepat. Tidak ada media yang membahas, hanya segelintir orang yang sempat melihat, dan isu baru dinaikkan untuk menghapus jejak skandal sebelumnya. Di balik itu semua, agensinya bekerja keras untuk memastikan tidak ada lagi orang yang menyimpan foto itu ataupun masih membahas skandal tersebut. Dalam beberapa hari, semua orang dengan sukses teralihkan.

Kejadian itu menyadarkan Seokjin akan peliknya dunia hiburan. Tidak ada yang namanya hanya salah satu langkah. Semua harus berjalan dengan tepat, bersih, dan pintar. Kehidupan seorang public figure adalah milik khalayak umum, kesalahan adalah noda yang tidak akan pernah dapat dihapus.

Dimulai dari hari itu, Seokjin dapat merasakan semangat hidupnya perlahan hilang. Ia tidak mengerti alasannya, namun ia merasa telah melakukan sebuah kesalahan besar. Tiap bertemu dengan Yoongi di apartemen bersama mereka, Seokjin hanya ingin menghindar dan ditemani kesendirian.

Memiliki pasangan di dunia yang ia geluti dapat dikategorikan tabu dan mesti dihindari. Bahkan tanpa membawa embel-embel dunia hiburan, memiliki pasangan sesama jenis memanglah hal yang belum bisa diterima oleh semua orang. Seokjin berada di tengah keduanya sekarang: memiliki pasangan sesama jenis dan sama-sama berada pada dunia di mana memiliki pasangan adalah hal yang tabu.

Kesimpulannya, hubungan ini takkan berhasil. Seokjin mencintai Yoongi, namun ia cukup realistis untuk memahami bahwa hanya cinta tidak akan pernah cukup. Mungkin akan memakan waktu beberapa lama hingga ia terbiasa, atau mungkin lebih lama dari sekedar beberapa lama. Seokjin yakin ia dan Yoongi pasti bisa melewatinya.

Mengakhiri sesuatu yang tidak memiliki masa depan lebih baik jika dilakukan sedini mungkin.

“Yoongi-ah, hubungan ini takkan berhasil.”

Seokjin bukanlah seorang peramal, pada saat itu ia hanya tahu.

Terbangun dari tidurnya, Seokjin masih merasa lelah alih-alih kembali bugar. Butuh waktu beberapa saat hingga ia mengingat apa yang terjadi tadi malam, dengan siapa ia menghabiskan malam bersama, dan di mana ia berada sekarang. Secara spontan, jantungnya berdetak cepat dan begitu kuat.

Rasa kantuknya hilang dalam sekejap, tubuhnya membatu membayangkan kehadiran sosok Yoongi di sisinya. Seokjin kembali memejamkan mata, mencoba menenangkan diri seraya menerima kenyataan. Ia tahu semua sudah terjadi dan yang perlu ia lakukan hanyalah bersikap seolah semua ini tidak benar-benar terjadi.

Kembali membuka sepasang netranya, Seokjin baru menyadari bahwa ia menghadap ke sisi kosong kasur di mana Yoongi seharusnya berada. Ia bangkit secara perlahan, mendudukkan diri di atas kasur berseprai hitam yang masih memiliki sisa dari aroma khas milik tubuh mantan kekasihnya. Yoongi tidak berada di sana ataupun di seluruh penjuru kamar.

Kamar mandi? Pikirannya mengarah pada satu-satunya opsi. Seokjin turun dari atas kasur empuk yang sebenarnya sulit ia tinggalkan jika saja tidak ingat bahwa ia tidak seharusnya berada di sana, mengumpulkan pakaian dan menggunakannya satu per satu dengan cekatan. Akal sehat memerintahkan dirinya untuk kabur saat ini juga, namun sisi lain dari dalam dirinya menyarankannya untuk mengintip kamar mandi dan memastikan kehadiran Yoongi di dalam sana.

Penuh keraguan, kakinya melangkah menuju pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Seokjin menanamkan dalam otaknya bahwa ia takkan berpamitan dengan Yoongi sebelum pergi, ia hanya akan memastikan kehadiran lelaki itu untuk kepuasan diri sendiri. Menyentuh kenop pintu layaknya penyusup kelas kakap, Seokjin mengintip ke dalam hanya untuk menemukan ruangan tersebut tidak berpenghuni.

Tubuhnya yang kaku akibat aksi berusaha mengintip diam-diam melemas setelahnya, dadanya mencelos tanpa ia ketahui apa penyebabnya. Seokjin dengan sigap menuju pintu kamar, membukanya cepat hanya untuk tidak menemukan Yoongi di ruang tengah. Melihat Yoongi menatap canggung dirinya saat ini terdengar seperti ide yang lebih baik daripada terbangun di apartemen Yoongi sendirian.

Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, Seokjin dapat merasakan kesendirian menyelimutinya. Ia sama sekali tidak merasakan kehadiran siapapun, yang mana seharusnya merupakan skenario terbaik untuk dirinya setelah kesalahan yang terjadi tadi malam. Namun Seokjin tidak dapat memungkiri bahwa ia merasa kecewa.

Seluruh sudut ruangan apartemen yang beberapa tahun lalu jugalah tempat di mana ia tinggal terlihat sama dan begitu berbeda di saat bersamaan. Yoongi melakukan penataan ulang dengan baik, tidak menyisakan sedikit pun bagian dari Seokjin di setiap detilnya. Apartemen ini terlihat seperti tempat tinggal seorang Min Yoongi, bukan tempat tinggal Min Yoongi yang sebelumnya juga merupakan tempat tinggal Kim Seokjin.

Seokjin mempersilakan diri untuk beredar ke tiap sudut apartemen, mendapati studio musik yang dulu merupakan kamarnya. Cat dasar berdominasi monokrom, dapur dengan alat masak baru yang terlihat hampir tidak pernah digunakan, rak, televisi, dan sofa yang berbeda—Yoongi benar-benar memastikan tidak ada satu pun benda yang dapat mengingatkannya akan kebersamaan mereka ketika tinggal bersama.

Satu-satunya yang dapat membawa perasaan apartemen ini adalah apartemen yang sama dengan apartemen yang ditinggalinya dulu, setelah Seokjin sadari, hanyalah kamar Yoongi yang nyaris tidak berubah.

Sisanya, seluruh titik di semua ruangan lainnya—termasuk satu-satunya pemilik yang tersisa, sama sekali tidak meninggalkan bercak akan eksistensi dirinya.

Mengacak kasar surai hitamnya, Seokjin menyadari bahwa selama ini apa yang ia rasakan tak lain hanyalah sebuah tipuan semu. Apanya yang bergerak maju? Yoongi membuktikan padanya bahwa bergerak maju bukanlah dengan bersikap seolah tidak ada hal yang terjadi, bergerak maju adalah melangkah satu per satu hingga akhirnya menemukan jalan terang yang menuntunmu seutuhnya pergi.

Seokjin tidak pernah membohongi diri sendiri. Ia hanya tidak menyadari; butuh satu dorongan, satu bulan, dan satu malam bersama untuk membantunya membuka mata.

Tapi Yoongi—di detik Seokjin menyadari bahwa ia terbangun di dalam apartemen ini seorang diri, ia tidak butuh penjelasan apapun untuk menyimpulkan sebuah arti.

Hoseok menggedor pintu apartemen Seokjin tak sabaran, menyerah memencet bel sejak sepuluh menit lalu akibat diabaikan terang-terangan. Ia tahu Seokjin mengurung diri di dalam apartemennya dan menolak untuk melihat dunia luar—manajer sahabatnya itu tidak pernah memberikan informasi yang melenceng dari kenyataan.

“Kim Seokjin! Buka pintu ini sekarang sebelum aku memanggil petugas untuk membobol apartemenmu!”

Semua orang tahu bahwa Hoseok adalah sosok baik hati yang memiliki garis menyerupai bom waktu dalam dirinya. Ketika garis itu disentuh, maka siapapun takkan bisa lepas dari amarah yang dapat membuat siapapun menciut di tempat. Seokjin adalah bagian dari “semua orang” yang dimaksudkan, bahkan pernah menjadi saksi hidup akan meledaknya bom waktu Jung Hoseok. Ia tahu dengan baik bahwa Hoseok tidak bercanda dengan omongannya.

Mendengar derap langkah terburu-buru menuju pintu, Hoseok mengerlingkan kedua matanya. Pintu unit apartemen di depannya terbuka sejurus kemudian, memperlihatkan wajah letih Seokjin dengan kantung mata menyeramkan. Ia mengurungkan niatnya untuk langsung melemparkan ketusan pedas, memilih mempersilakan diri untuk masuk tanpa mengindahkan helaan napas si pemilik ruangan.

“Aku benar-benar ingin sendiri, Hoseok.”

“Kau akan mendapatkannya setelah aku mendengar alasanmu melewatkan malam berkumpul kita.”

Memijat dahinya yang berdenyut, Seokjin melemparkan diri ke atas sofa. “Aku hanya lelah,” ucapnya dengan nada bicara yang menyiratkan beban hidup sebesar alam semesta. Hoseok ingin mencibir apa yang ia dengar, teringat salah satu scene drama di mana sang karakter utama putus asa dan melakukan hal yang mirip dengan apa yang temannya kini lakukan—ironis karena Seokjin pernah memerankan peran serupa.

“Kau tidak hanya lelah, Hyung,” tandas yang lebih muda. “Kau tidak akan pernah mengurung diri selama hampir seminggu, mengundur jadwal photoshoot dan syuting hanya karena lelah.”

Lagi, helaan napas terdengar dari sosok yang merasa disudutkan. Seokjin belum menemukan momen yang tepat di mana mood-nya telah membaik untuk menceritakan apa yang terjadi. Selain itu, ia sama sekali tidak membutuhkan saran ataupun solusi. Sayangnya ia tahu bahwa Hoseok tidak akan pergi sampai ia menceritakan semua yang terjadi tanpa satu hal pun terlewati.

Jadi ia berdeham, mulai bercerita mengenai kejanggalan yang ia rasakan di antara dirinya dan Yoongi. Perasaan aneh yang pertama kali muncul di malam bermain mereka pada bulan lalu, pertemuan di kedai kopi, di taman, di pesta pernikahan Jaehwan. Seokjin sempat berhenti dan berpikir untuk tidak menceritakan apa yang terjadi selanjutnya, namun sepasang mata Hoseok yang mendelik menyebabkannya berakhir mengeluarkan semua hal yang terjadi di antara dirinya dan Yoongi tanpa bersisa.

Hoseok mendengarkan dalam diam, tidak sekalipun menyela atau memberikan komentar. Seokjin pikir itu pertanda buruk dikarenakan Hoseok adalah seseorang yang paling gemar memberikan reaksi ketika ia tengah mendengarkan cerita seseorang. Ia memejamkan mata, mendesahkan, “Entahlah, Hoseokie.”

Mengerutkan dahi, Hoseok bertanya, “Apanya yang entahlah?”

“Kalian selalu mengatakan bahwa aku telah keluar dari lingkaran memori akan hubunganku dengan Yoongi—terlalu cepat, terlalu mudah,” sang Kim tersenyum sedih. “Bahkan aku pun beranggap demikian.”

“Tapi kenyataannya di sini aku sekarang… mengurung diri selama seminggu penuh karena takut tidak dapat melakukan apapun tanpa terbayang akan eksistensi dirinya.”

Tidak ada suara yang mengisi kesunyian dari jeda yang Seokjin ciptakan. Hoseok tidak berupaya untuk mengatakan sesuatu, alih-alih memerhatikan sosok hyung-nya yang terlihat begitu rapuh. Bahkan di hari-hari awal Seokjin dan Yoongi mengakhiri hubungan mereka dulu, Hoseok merasa Seokjin yang sekarang terlihat lebih hancur.

“Semua usahaku, lebih setengah tahun yang telah aku lewati tanpa terbesit akan sosok Yoongi, semuanya sia-sia,” Seokjin menggigit bagian bawah bibirnya. “Hanya dalam waktu satu bulan, semua menjadi benar-benar percuma.”

Seolah terdapat sebuah sinyal baginya untuk berbicara, Hoseok melangkahkan kakinya untuk mendudukkan diri di sisi Seokjin. “Hyung,” panggilnya lembut. “Kau benar-benar bodoh.”

Meski tidak ambil hati, Seokjin mendengus. Ia membiarkan Hoseok merangkulnya kemudian. “Kau harus belajar untuk tidak mengambil jalan pintas seperti mengubur perasaanmu daripada melawannya secara perlahan.”

“Yoongi-hyung melakukan hal yang benar. Dia menghadapi patah hatinya dengan sabar, menikmati rasa sakit dan bukan menghindarinya,” ujar Hoseok seraya mengenang momen-momen ketika Yoongi menghabiskan setengah hidupnya untuk melamun atau bergelut dengan alkohol. “Karenanya dia bisa menjadi kuat sekarang, bahkan membalas perlakuanmu dengan melakukan hal yang sama.”

Seokjin menundukkan kepala, tahu bahwa apa yang Hoseok katakan takkan pernah bisa ia bantah selamanya. Dadanya terasa sakit, namun di saat bersamaan terasa lebih ringan. Ternyata Jaehwan benar tentang dirinya yang harus lebih jujur pada diri sendiri.

“Tapi, Hyung,” suara Hoseok menggelitik indra pendengarannya. “Kurasa Yoongi-hyung membutuhkan waktu lebih banyak dari setengah tahun—jauh lebih banyak.”

Usai menutup pintu dan berhasil bebas dari jeratan Jung Hoseok, Seokjin bersandar pada dinginnya pintu lalu merosot jatuh ke atas lantai. Energinya terkuras habis meski selama beberapa hari tidak melakukan apapun selain duduk dan berbaring. Kepalanya menunduk dengan sepasang mata terpejam. Butuh beberapa saat hingga tangisnya pecah tanpa lagi dapat ditahan.

Butuh beberapa jam hingga air matanya dapat berhenti dengan sendirinya. Ia berusaha menenangkan diri, lalu bangkit dengan tekad baru. Esok hari ia harus kembali menjadi Seokjin yang kuat dan menyenangkan. Tidak ada aura muram, hati gundah, ataupun pikiran tak karuan.

Ketika pagi datang, Seokjin memutuskan untuk kembali menjalani hari-harinya seperti sedia kala. Ia meminta maaf pada manajernya, memadatkan semua jadwal hingga bernapas pun sulit untuk dilakukan. Kesibukan selalu menjadi jalan keluar terbaik untuk mengalihkan pikiran.

Pundaknya tetap terasa berat, namun Seokjin berhasil mengatasinya dengan lebih dewasa. Ia menghindari seluruh tempat yang memiliki kemungkinan untuk berpapasan dengan Yoongi, mengabaikan handphone, dan mencari hiburan di set untuk meringankan hati. Rasa sesak di dadanya tidak lenyap seutuhnya, yang berbeda hanyalah kali ini ia merasa dapat bertahan.

Terus seperti ini, doanya dalam hati. Selama aku tidak melihat atau mendengar namanya, aku akan baik-baik saja.

Tiga hari sebelum malam berkumpul teman-temannya, Seokjin dihadapi dilema terbesar dalam hidupnya. Ia sengaja tidak mengaktifkan handphone-nya dengan harapan Hoseok atau siapapun akan menyerah menghubunginya, tapi mereka jauh lebih pintar dengan menghubungi manajernya.

“Jika mereka menghubungimu lagi cukup katakan jadwal syutingku di luar kota diperpanjang.”

“Oh? Tapi aku terlanjur menyampaikan bahwa kita akan kembali besok ke Seoul pada Jimin?”

Seokjin mendelik pada sang manajer yang hanya dapat meringis bersalah. Tangannya secara refleks menepuk dan memijat dahinya yang mendadak pening. Tiga hari. Dalam tiga hari ia diharuskan menghadapi krisis hidupnya dan keluar sebagai pemenang.

Bahkan ini bukanlah sebuah permainan atau pertandingan.

Dipikirkan sekeras apapun, Seokjin hanya menemui labirin tanpa ujung. Ia benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa. Jawaban yang paling tepat adalah senormal mungkin, namun ia tak tahu apakah ia mampu melakukannya atau tidak.

“Kau adalah seorang aktor,” Seokjin menatap refleksi dirinya pada kaca kamar mandi. “Berakting adalah makanan sehari-harimu. Berpura-pura dan berbohong adalah kehidupanmu.”

Di sore hari pada hari yang paling dihindarinya, ia berjalan keluar dari kamar mandi di dalam ruang tunggu pribadinya. Satu schedule lagi sebelum ia terpaksa harus melihat Min Yoongi dan Seokjin benar-benar berharap waktu akan berhenti di sini. Menepis angannya yang mustahil, ia merapikan baju dan bermaksud untuk mengunjungi ruang tunggu para pembawa acara untuk memberikan salam dan berbasa-basi.

Kang Hodong menyapanya dengan suara keras seperti biasa, membuatnya meringis dan mengeluh setengah bercanda. “Jin-ah, lama tidak bertemu! Bagaimana kabarmu?”

Menjawab seadanya, Seokjin membalas pelukan besar Kang Hodong juga beberapa pembawa acara lain yang ikut menyapa hangat. “Baik. Sangat baik, Hyung,” ia berdusta. “Sedikit gugup mengingat aku jarang tampil di variety show.”

Salah satu pembawa acara lain yang merupakan penyanyi terkenal di jaman yang sama dengan ibunya, Lee Sangmin, menepuk ringan pundaknya. “Kau akan menangani ini dengan baik, tenang saja,” ucap yang lebih tua menenangkan. “Lagipula kau tidak sendiri, kudengar kalian teman dekat—”

Oh? Aku tidak sendiri? Senyum kikuk ia lemparkan tanpa sadar, sama sekali tidak tahu bahwa ia takkan menjadi bintang tamu seorang diri. Seokjin tidak sempat membaca berita dan sepertinya manajernya lupa memberitahunya mengenai bintang tamu yang satu lagi. Tapi tunggu. Teman dekat?

“Mereka berasal dari sekolah tinggi yang sama,” suara lain menimpali—milik Kim Heechul, seorang idol senior dengan pribadi nyentrik yang menyenangkan. Terkadang Seokjin tak habis pikir dari mana seluruh informasi yang dimiliki oleh lelaki itu berasal. “Bahkan kalian sempat menjadi roommate, bukan, Jin-ah?”

Seolah dicekik di tempat, Seokjin tiba-tiba merasa sulit untuk bernapas. Oksigen seolah menolak untuk memasuki paru-parunya, menyebabkan suaranya tercekat dan terdengar mencicit, seratus persen memicu kecurigaan semua orang. “Apa?”

Heechul mengernyit, sepasang matanya tidak lepas dari ekspresi terkejut Seokjin yang terlalu mudah dibaca. “Ada apa denganmu? Kurasa itu bukanlah sebuah rahasia,” ia mengibaskan tangannya, lalu melanjutkan dengan bangga. “Ingatanku bagus, kau tahu? Aku ingat kita pernah membahas ini ketika kau dan Jungkook menjadi bintang tamu di radioku—ah, kau sudah datang, Yoongi-ya?”

Ruangan kembali terdengar ricuh dan sambutan serta sapaan akrab mengudara tiada hentinya. Seokjin dengan horor menolehkan kepala, mendapati Min Yoongi memeluk ringan satu persatu orang di dalam ruangan dengan senyuman di wajahnya. Ia sama sekali tidak mengedipkan mata, bahkan ketika Yoongi telah berada dua langkah di hadapannya.

“Seokjin-hyung, kau terlihat pucat.”

Seokjin tahu ia terlihat sepucat apa saat ini. Ia sama sekali tidak membutuhkan Min Yoongi, sosok yang menjadi alasan wajahnya berubah pucat pasi, memberikan pernyataan itu sebelum dengan tanpa rasa bersalah merangkulnya erat tanpa celah.

Persetan dengan satu schedule lagi.

Akting, Seokjin. Tidak ada waktu untuk meratapi nasibmu saat ini.

Berdiri di depan setting studio yang menyerupai ruangan kelas, Seokjin sama sekali tidak berminat untuk mencuri pandang ke sisi kanan di mana Yoongi berdiri di balik meja yang sama dengannya—menghadap para pembawa acara yang duduk dengan senyum sumringah di kursi mereka. Ia tahu dengan baik bagaimana variety show ini bekerja karena bagaimanapun, Knowing Brother adalah variety show yang tengah berada pada puncak popularitas di Korea.

Setelah mengenalkan diri sebagai bentuk formalitas dan berusaha untuk menyelipkan guyonan seolah ia adalah orang dengan rasa percaya diri paling tinggi di Korea, Seokjin menutup mulutnya rapat-rapat. Mungkin ia bisa mengontrol rasa panas di wajahnya, namun ia yakin telinganya telah memerah menahan rasa malu. Entah itu rasa malu akibat pernyataannya yang terlalu percaya diri atau dikarenakan adanya kehadiran Yoongi.

Mengikuti jejaknya memperkenalkan diri, Yoongi memperkenalkan dirinya dengan tenang diikuti oleh sarkasme ringan andalannya. Seokjin tidak perlu menolehkan kepala untuk mengetahui gesture sosok di sampingnya yang telah ia hafal luar kepala. Mereka belum pernah berada di variety show yang sama sebelumnya, namun Seokjin mengenal Yoongi jauh sebelum mereka dikenal oleh masyarakat luas.

“Drama Seokjin meraih rating paling tinggi di slot drama akhir pekan saat ini, tapi kudengar dulu kau tidak mengambil jurusan akting. Apa itu benar?”

Pertanyaan yang datang secara tiba-tiba itu menyebabkan Seokjin mengerjapkan mata lugu, sama sekali tak siap untuk menjawab. Seharusnya ia tahu hal ini akan dibahas mengingat satu studio mengetahui bahwa ia dan Yoongi berasal dari sekolah tinggi yang sama, tak lupa bahwa setting dari variety show ini sendiri adalah ruangan kelas yang cukup mengundang nostalgia.

“Aku mengambil jurusan musik pada awalnya, lalu memutuskan untuk pindah ke jurusan akting di tahun kedua,” ketika pertanyaan mengenai alasan kepindahannya ke jurusan akting, Seokjin berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ekspresi tak terganggu dan tenang. “Seperti yang kalian tahu, dulu ibuku adalah seorang penyanyi terkenal. Aku merasa harus mengikuti jejaknya sehingga memilih jurusan musik, hanya saja di tengah jalan aku menyadari bahwa musik bukanlah passion utamaku.”

Topik ini tidak pernah menjadi favoritnya. Seokjin mempersiapkan diri untuk pertanyaan lain di seputar pembahasan yang sama, membuang jauh sikap tidak professional yang sempat menyergap. Ia dapat melihat Lee Sangmin hendak membuka mulutnya untuk kembali bertanya, namun suara bass Yoongi lebih cepat menjadi pusat perhatian.

“Kalau Seokjin-hyung langsung mengambil jurusan akting di tahun pertama, kami mungkin takkan saling mengenal,” sang Min berusaha masuk ke dalam pembicaraan. Seokjin juga tidak suka membahas pertemanannya dengan Yoongi di televisi nasional, namun ia menghargai pengalihan topik yang Yoongi lakukan entah secara sadar atau tidak. Seharusnya lelaki itu tahu bahwa bahwa ia sama sekali tidak mengapresiasi siapapun yang membahas permasalahan ini—Seokjin sama sekali tak berani berharap Yoongi dengan sengaja melakukan pengalihan topik demi dirinya.

“Ah, benar. Kalian berasal dari sekolah tinggi yang sama,” ucap Kang Hodong seolah melupakan fakta itu—mustahil mengingat berapa kali mereka membahasnya di ruang tunggu. “Berarti kalian berada di jurusan yang sama pada tahun yang sama?”

Yoongi mengangguk membenarkan. “Kami diharuskan untuk tinggal di asrama dan dipasangkan dengan teman sejurusan pada tahun pertama. Seokjin-hyung adalah roommate-ku.”

Keantusiasan dari tiap orang di dalam ruangan terlihat dengan kentara. “Hebat sekali! Yang satu menjadi rapper dan produser berbakat, yang satu menjadi aktor muda incaran banyak produser. Pertemanan kalian adalah impian semua orang!”

Tersenyum miris, Seokjin merasa kondisi mereka pasti akan jauh lebih simpel dan menyenangkan apabila mereka hanyalah sekedar teman baik dengan hubungan konstan sejak sekolah hingga sekarang. Semuanya menjadi rumit karena cinta, menghapuskan hubungan hangat yang seharusnya dapat terjalin tanpa rasa canggung dan tidak nyaman.

“Uhm… Hubungan kami tidak sebaik itu pada awalnya,” Yoongi menolehkan kepala ke arahnya, menyebabkan Seokjin mau tak mau harus membalas tatapan mata mantan kekasihnya agar menghindari tuduhan tidak sopan netizen yang banyak cakap. Jantungnya tak lagi berdegup cepat, namun kuatnya debaran lambat ternyata jauh lebih menyiksa. “Tapi seiring berjalannya waktu, semua mengalir dengan sendirinya.”

Seokjin ingat hari-hari awal ia mengenal Yoongi. Ia mengenang hubungan mereka yang pada awalnya tidak dapat dikategorikan harmonis, persaingan ketat, sindiran dan juga tatapan sinis. Di satu waktu sebelum akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih, Seokjin dan Yoongi adalah rival yang bersembunyi di balik kata benci.

Sekarang mereka berada di sebuah variety show yang akan disiarkan pada semua orang di dunia, berdiri canggung membahas masa lalu yang seolah menyenangkan; melupakan fakta bahwa mereka bukanlah teman baik layaknya yang orang-orang pikirkan. Seokjin dan Yoongi adalah rival yang kemudian berhasil mengatasi hubungan buruk mereka, berteman, terjerat perasaan dan menjadi sebuah pasangan, lalu berakhir dan menjadi dua orang di satu lingkaran pertemanan yang sama. Ironis melihat apa yang telah waktu perbuat pada hubungan keduanya.

“Yoongi—maksudku Suga—adalah teman yang baik. Kami memiliki satu lingkaran pertemanan yang sama sehingga memudahkan kami untuk tetap berhubungan dan bertemu secara rutin,” Seokjin akhirnya memberanikan diri. “Aku benar-benar beruntung pernah memilikinya.”

Kim Seokjin hanya berharap tak ada satu pun yang menyadari kesalahan dalam kalimatnya. Pernah memilikinya pasti terdengar sangat salah, seolah ia dan Yoongi tak lagi memiliki satu sama lain—walau pada kenyataannya mereka memang tak lagi dapat disebut masih memiliki satu sama lain, entah sebagai sekedar teman atau sebagai pasangan.

Ia tidak menyadari Yoongi menatapnya dengan raut wajah tak terbaca, tepat tiga detik sebelum akhirnya membuang wajah ke arah berlawanan.

“Oh! Kudengar Suga datang untuk mempromosikan lagu terbaru yang dia produseri,” Heechul menjentikkan jari seolah baru saja mendapat ide paling cemerlang di dunia. “Daripada sekedar mendengarkannya, bagaimana kalau kalian melakukan special collaboration stage dengan mengkover lagu itu di sini? Seokjin bisa bernyanyi dan Suga bisa melakukan bagian ra-nya.”

Membulatkan kedua matanya, Seokjin mengangkat kedua tangannya secara refleks di depan dada. “Aku sudah lama tidak bernyanyi, kurasa—”

Lee Sangmin menggelengkan kepala tidak setuju, berdiri dari duduknya dan mengambil mic yang diberikan oleh salah satu staf untuk menyodorkannya pada Seokjin dan Yoongi. “Ibumu pasti akan bangga. Fans kalian juga pasti akan sangat senang melihatnya!”

Di saat suara musik mulai beralun di telinganya, Seokjin melirik Yoongi yang bergeming di tempatnya. Pasti dia tak mau melakukan ini, ia membatin penuh rasa bersalah. Memikirkan berbagai cara untuk membatalkan stage dadakan ini, Seokjin benar-benar merasa buntu hingga akhirnya mendengar suara Yoongi yang bertanya, “Apa kau mengetahui liriknya?”

Tidak! Hatinya menjerit histeris. Namun Seokjin hanya dapat menghela napas, meratapi betapa dramatis dirinya hari ini. Ia hanya bergumam tak kentara, tak menjawab dengan gamblang melainkan menjawabnya dengan bernyanyi tanpa kesalahan seolah telah menghafalnya dengan sengaja.

Yoongi menatapnya tidak percaya dan Seokjin benar-benar berharap ia amnesia.

“Kau menghafal laguku.”

Seokjin baru saja selesai mengomeli manajernya yang hanya memberikan cengiran menyakitkan mata sebagai ungkapan rasa bersalah akibat lupa memberitahu detil schedule-nya. Sang manajer menggedikkan bahu ringan sambil berlalu begitu menyadari kehadiran Yoongi di dalam ruangan. “Kupikir menyenangkan mengerjaimu sekali-sekali.”

Melotot tak percaya, Seokjin bersumpah serapah di balik napasnya. Rasa gugupnya telah menguap entah ke mana, digantikan oleh rasa kesal yang begitu kentara. Begitupun, ia tak ingin melampiaskannya pada Yoongi yang terlalu santai hingga terlihat menyebalkan.

“Lagu yang bagus. Sangat mudah diingat,” ia merespon cepat. “Dan diputar di seluruh stasiun radio. Semua orang menyanyikan lagu itu saat ini.”

Sampai mati Seokjin takkan mau mengakui bahwa ia mendengar dan mengunduh lagu itu tepat pada pukul 12 malam di hari rilisnya. Salahkan Jung Hoseok (lagi) yang menggodanya dengan mengatakan bahwa lagu itu Yoongi ciptakan untuk dirinya sehinga membuatnya penasaran.

Dengan ragu, Yoongi menaikkan sebelah alisnya. “Memang benar, tapi—” kalimatnya berhenti di tengah tanpa ada niat untuk dilanjutkan. “Lupakan.”

Baru saja hendak bersyukur karena dapat melihat Yoongi beranjak di sudut matanya, Seokjin mengurungkan niatnya begitu si lawan bicara berkata, “Mau pergi ke apartemen Namjoon bersamaku?”

Ide yang buruk. Seharusnya ia tak berpikir dua kali untuk menolak, namun Seokjin menimbang ragu. Tangannya meremas ujung bajunya, menghabiskan waktu terlalu lama untuk berpikir dan menyebabkan keheningan yang tidak nyaman.

“Oke.”

Tampak terkejut dengan jawabannya, untuk sesaat Seokjin yakin Yoongi menyesal telah menawarinya untuk berkendara bersama. Ia bahkan tak yakin mengapa ia menerima ajakan basa-basi itu. Seokjin baru saja hendak mengatakan bahwa ia bergurau ketika Yoongi berbalik menuju pintu ruangan. “Tunggu apa lagi? Ayo.”

Degup jantungnya kembali berpacu tak normal. Seokjin mengikuti sosok yang lebih pendek darinya itu dalam diam, sama sekali tak bersuara hingga mereka masuk ke dalam mobil hitam Yoongi di parkiran basement gedung JTBC. Ia merutuki keputusannya dalam hati, ingin secepatnya kabur dari suasana canggung yang takkan siapapun nikmati.

Menyadari dan ikut merasakan kecanggungan kental di dalam mobil, Yoongi menyalakan mesin dan langsung menghidupkan radio untuk mencairkan suasana. Ia mengemudi dalam diam hingga mencapai jalan raya kota Seoul yang mulai sepi, sesekali melirik ke luar jendela hingga akhirnya bersuara, “Boleh aku bertanya sesuatu?”

Pertanyaan itu menyebabkan Seokjin menegang di kursinya. Ia tidak menyangka Yoongi akan membuka percakapan dan sesungguhnya ia akan jauh lebih bersyukur jika Yoongi tidak mengajaknya untuk berbicara. Namun terpengaruh rasa penasaran, ia menganggukkan kepala alih-alih berpura-pura tidak mendengar apa yang sosok di sisinya katakan.

“Ketika kau berkata kau merasa beruntung pernah memilikiku tadi, apakah kau mengatakannya hanya untuk kepentingan acara?”

Jika mengikuti keinginannya, maka Seokjin ingin membuka pintu dan melompat ke pinggir jalan. Ia ingin berlari sejauh mungkin dan menghindari pertanyaan ini hingga ajal menjemputnya kelak. Lampu merah di depannya memperburuk suasana—ia dapat merasakan Yoongi menghentikan mobil untuk mematuhi rambu lalu lintas, lalu kini menatapnya terang-terangan.

Kendalikan dirimu, Kim Seokjin, hatinya berseru keras. Ia menolehkan kepala, menatap wajah Yoongi yang tidak banyak berubah sejak terakhir ia meninggalkan sang Min secara sepihak. Iris gelapnya masih tetap sama, begitu pula ekspresi cenderung dingin yang kerap mengintimidasi orang-orang. Seokjin baru sadar ia merindukan semuanya.

“Tidak, Yoongi,” helaan napas dari sang Kim terdengar lemah, sorot matanya berubah sendu dan penuh rasa bersalah. “Aku serius ketika mengatakannya.”

Yoongi mempertahankan raut wajahnya yang sulit untuk ditebak, mengabaikan sengatan yang membuat sekujur tubuhnya perlahan mendingin meski penghangat di dalam mobil berfungsi dengan baik. Mulutnya terbuka kecil untuk memberikan respon, kemudian kembali tertutup ketika tidak tahu harus berkata apa.

Seokjin mengalihkan pandangannya ke lampu merah yang masih terlihat jelas, memerhatikan beberapa orang menyeberangi jalan dengan tergesa. Ia pikir Yoongi tak lagi menatapnya, namun dugaannya terbukti salah ketika pertanyaan lain terlontar dan menimbulkan gejolak hebat dalam dirinya.

“Lalu kenapa kau meninggalkanku?” suara itu terdengar mendesak dan putus asa. Seokjin secara refleks kembali menoleh, mendapati Yoongi menatapnya dengan tuntutan. “Minimal aku berhak mengetahui alasan sebenarnya, bukan?”

Selama ini Seokjin selalu merasa Yoongi berhak mengetahui alasannya, bukan sekedar ditampar dengan alasan klise bahwa hubungan mereka takkan berhasil selamanya. Ia tidak memiliki keberanian itu dulu karena tahu bahwa Yoongi akan menyangkalnya, berusaha mencari jalan keluar dan mengubah jalan pikirnya.

Kini setelah semua telah berlalu… apa yang akan Yoongi lakukan? Bahkan meski ia mengemis, Yoongi yang sekarang takkan kembali mengejar dirinya, seseorang yang telah membuangnya karena takut untuk berjuang. Lelaki itu berhak untuk mengetahui kebenaran dan sepenuhnya maju meninggalkan dirinya yang menyedihkan.

Maka Seokjin menarik napas, lalu memberikan penjelasannya dari awal. Tentang skandal agensinya, kehidupan public figure, keegoisannya, dirinya yang kehilangan keyakinan, dugaan Yoongi akan menyanggahnya apabila ia memberitahu hal ini sejak awal, dan pikiran bahwa ia melakukan itu semua bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Yoongi dan karir mereka.

“Ini alasanku, Yoongi-ya. Maaf karena butuh waktu hampir satu tahun hingga kau dapat mendengarnya.”

Tidak ada yang menyadari bahwa lampu hijau telah menyala hingga suara klakson dari mobil belakang mengejutkan keduanya. Yoongi segera menjalankan mobilnya, tidak mengatakan apapun dan membiarkan suara radio menemani perjalanan mereka. Sedangkan Seokjin membuang wajahnya ke luar jendela seolah pemandangan monoton Seoul jauh lebih menyenangkan.

Masih tidak ada satu pun di antara mereka yang bersuara hingga memasuki area parkir apartemen Namjoon, turun dari mobil dan masuk ke dalam lift yang sama. Hanya ketika dentingan lift berbunyi dan Yoongi berjalan untuk keluar lebih dulu, yang lebih muda akhirnya berkata seiring dengan langkahnya.

“Aku belum memaafkanmu, Hyung,” mereka berhenti di depan pintu unit apartemen Namjoon, memencet bel dan menunggu seseorang membuka pintu dari dalam. Seokjin dapat melihat Yoongi menghadapnya sejurus kemudian, dengan raut wajah damai yang rasanya tak lagi pernah ia lihat hampir setahun belakangan. “Tapi terima kasih karena telah memberitahuku ini semua.”

Jung Hoseok membuka pintu dengan wajah ceria yang langsung sirna digantikan dengan ekspresi tak percaya. “Kalian…? Apa yang—”

“Berisik, Hoseok,” sela Yoongi yang langsung masuk melewati sang Jung yang membatu. Seokjin memerhatikan punggung Yoongi yang berjalan menjauh, tidak tahu harus merasa lega atau dua kali lipat lebih berdosa. Setidaknya ia merasa beban yang memberatkan pundaknya sedikit terangkat.

“Kau. Berhutang. Seluruh. Ceritanya. Padaku.”

Oh, tapi jelas Hoseok takkan membiarkan itu semua dan memastikan perasaan beban hidupnya yang terangkat hanya akan bertahan dalam sekejap.

Suara dering handphone mengejutkan Seokjin yang tengah menyandarkan tubuh pada dinding dapur, baru saja hendak menegak segelas air dingin yang ia tuangkan dari sebuah botol di dalam kulkas. Masih dengan satu tangan menggenggam erat gelas, ia merogoh saku celana untuk meraih handphone-nya. Namjoon yang di saat bersamaan kebetulan memasuki dapur lantas bertanya, “Tidak akan mengangkatnya?”

Seokjin menyanggah, “Aku bermaksud—” dahinya mengernyit begitu melihat nama yang tertera di layar handphone, membuatnya membeku bingung selama beberapa saat. Merasa penasaran, Namjoon dengan refleks mengintip layar handphone yang lebih tua.

Bersiul rendah, ia berusaha mempelajari ekspresi Seokjin yang bergeming di tempatnya. “Melihat sikapmu, apakah ini pertama kalinya dia menghubungimu setelah kejadian di pesta pernikahannya waktu itu?”

Ketika cahaya pada layar meredup seiringan dengan nada dering yang terputus, Seokjin menghela napas. “Begitulah,” tandasnya tanpa berniat untuk berkomentar lebih banyak. Ia merasa hidupnya tengah berada di tengah laut masalah dan berhubungan dengan Jaehwan saat ini hanya akan menambah masalah lain nantinya.

Tersenyum kecil, sang Kim lebih tinggi menepuk pundak hyung-nya ringan. “Tapi tetap saja,” ia membuka kabinet dapur dan mengambil beberapa camilan, lalu berlalu meninggalkan Seokjin yang tampak murung dan menolak untuk lebih banyak bercakap. “Kau takkan bisa menghindar selamanya.”

Tepat setelah Namjoon pergi untuk kembali berkumpul dengan teman-teman mereka di ruang tengah, suara dering handphone kembali memenuhi indra pendengarannya. Jaehwan kembali menghubunginya dan ia yakin mantan kekasihnya itu takkan berhenti sampai satu jam ke depan. Penuh keraguan dan pertimbangan akan omongan Namjoon, ia menahan napas dan memposisikan handphone di telinganya setelah memutuskan untuk menerima panggilan.

“Halo—”

“Seokjin-ah,” suara Jaehwan di seberang sana terdengar ringan. Terlalu ringan. “Apa kabarmu? Dengar, aku ingin meminta maaf dan aku benar-benar tidak mau kau membenciku. Aku benar-benar… astaga—hik—kurasa aku mabuk.”

Tidak sempat memproses seluruh perkataan Jaehwan sebelumnya, Seokjin langsung bertanya, “Kau mabuk? Dengan siapa? Apakah kau baik-baik saja?”

Tiga detik tanpa respon dari lawan bicaranya menyebabkan Seokjin berpikir buruk tentang apa yang terjadi. Namun Jaehwan mendengus pelan setelahnya, berkata, “Persis seperti dulu. Kau benar-benar sangat perhatian.”

Berusaha mengabaikan nada sendu yang terdengar kentara, Seokjin menegarkan hatinya yang sesaat goyah. “Jawab pertanyaanku. Apakah kau baik-baik saja?”

“Ya. Tidak. Tidak. Aku merasa sangat kacau dan aku tidak mungkin membiarkan istriku menjemputku ke sini. Bolehkah aku merepotkanmu—hik—sekali ini?”

Setelah mendapatkan nama tempat di mana Jaehwan berada, Seokjin menyanggupi dengan jawaban singkat sebelum memutuskan telepon mereka. Pada akhirnya, sang Lee tetaplah salah satu teman baiknya hingga sekarang. Ia tak mungkin menolak permintaan Jaehwan, tidak ketika temannya itu benar-benar terdengar sangat membutuhkannya.

Bergegas menuju ruang tengah untuk meminta izin pada teman-temannya, ia dikejutkan dengan keberadaan Yoongi di sisi luar pintu dapur. Seokjin nyaris memekik kaget jika saja tidak sempat mengontrol diri, berakhir menyentuh dadanya dengan kedua mata membulat lebar tak percaya. “Sejak kapan…?”

Tampak setengah hati menjawab pertanyaan itu, Yoongi menolak untuk menatap Seokjin dengan keterkejutannya yang tidak dibuat-buat. “Sejak Namjoon keluar dari dapur. Aku bermaksud mengambil segelas air ketika mendengarmu mengangkat telepon.”

Ia mencoba menepis rasa aneh yang menyelinap akibat Yoongi mendengar percakapannya dengan Jaehwan, kemudian berdeham. “Oh. Baiklah. Aku akan kembali ke ruang tengah.”

Sebelum ia sempat membalikkan tubuhnya, Yoongi menangkap tangannya cepat. “Apakah kau akan pergi menemuinya?” Lelaki itu bertanya, kali ini menatap sepasang iris hazel Seokjin yang tidak siap menerima tatapannya.

Seokjin sama sekali tidak menyangka Yoongi akan langsung melemparkan pertanyaan itu tanpa menahan diri. Ia melirik tangannya yang berada dalam genggaman yang lebih muda—hanya sesaat karena Yoongi langsung melepaskannya begitu menyadari ke mana arah pandangan sosok di depannya.

“Uh… ya, dia membutuhkan bantuanku,” ia memberanikan diri untuk menjawab meski tidak mengerti mengapa harus merasa takut untuk memberitahu kebenaran. Seokjin dapat melihat ekspresi tidak menyenangkan di wajah Yoongi; seolah lelaki itu tidak menyukai apa yang ia katakan, namun berusaha memendamnya dalam diam.

Ia baru saja hendak berkata bahwa ia harus segera pergi ketika Yoongi kembali bersuara, “Tidak bisakah kau tetap di sini?”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s