Balmy Days

Hogwarts AU Series: Part 7

Angin sepoi berhembus ramah, menyapu dedaunan kering yang tergeletak lemah di atas tanah. Kim Seokjin menengadah, sedikit menyipitkan kedua mata ketika melihat cerahnya langit di atas sana. Matahari belum bersinar dengan terik, namun ia dapat menebak dengan mudah suhu di siang hari nanti. Musim panas sudah tiba.

Menenteng sebuah buku tebal di tangan kanannya, Seokjin berjalan memasuki bagian dalam kastil Hogwarts. Seminggu lalu ia baru saja menyelesaikan ujian tulis terakhirnya di tahun ini, yang mana berartikan hanya tersisa satu minggu sebelum liburan tiba dan semua murid diwajibkan untuk pulang. Kata diwajibkan patut digarisbawahi karena jika diperbolehkan untuk memilih, Seokjin akan memilih untuk tinggal di Hogwarts hingga tahun ajaran baru tiba.

Pulang adalah sebuah kata yang asing. Sebelum Taehyung masuk ke Hogwarts, Seokjin tahu arti pulang adalah kembali ke sisi sang adik. Kini setelah Taehyung berada di lingkungan yang sama dengannya, ia tak lagi merasa memiliki tempat untuk kembali. Rumah takkan menyambutnya sehangat itu, bahkan orang tuanya pun takkan banyak peduli.

Taehyung pasti berpikiran sama, pikirnya dalam diam.

Seraya memikirkan agenda liburan kali ini, sang Hufflepuff menyusuri koridor sambil sesekali melemparkan senyuman kecil pada orang-orang yang menyapa. Di tahun keempatnya berada di Hogwarts, Seokjin tak lagi merasa kikuk ataupun salah tempat. Berhasil beradaptasi dan bertahan selama empat tahun membuktikan bahwa Hogwarts adalah sebuah hal tak terduga yang ternyata sangat tepat untuk dirinya.

Hyung!” sebuah suara familiar yang ditujukan padanya terdengar, secara refleks menyebabkan Seokjin menolehkan kepala. Ia mendapati adiknya, Taehyung, setengah berlari ke arahnya dengan cengiran lebar. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Menyambut si Kim lebih muda dengan pelukan singkat, Seokjin tertawa. “Memangnya aku tidak boleh berada di sekolahku sendiri?”

Taehyung mengerucutkan bibirnya jenaka. “Aku tahu ujianmu sudah selesai kemarin,” tandas sang Gryffindor—argumen yang tidak cukup kuat mengingat asrama dan ruang belajar berada di satu kastil yang sama. Perhatiannya teralih pada sebuah buku yang kakaknya pegang dan memastikan, “Mau mengembalikan buku itu?”

Anggukan yang lebih tua lebih dari sekedar cukup sebagai jawaban. Kembali mulai berjalan, sebuah pertanyaan datang secara tiba-tiba. “Bagaimana dengan liburan tahun ini?” senyum kotak Taehyung menyebabkan Seokjin merasa bersalah, terenyuh dengan sikap ceria adiknya. Ia tahu bahwa Taehyung tidak merasa segirang itu untuk pulang. “Yunani terdengar menarik.”

“Ke manapun yang kau inginkan, Taehyung-ah,” Seokjin mengacak surai cokelat terang Taehyung, lalu menikmati kehadiran sang Kim muda di sisinya seraya melangkah menuju perpustakaan. Taehyung tidak pernah gagal dalam membuatnya merasa jauh dari rasa kesepian, selalu berhasil menjadi sosok yang menghapuskan seluruh keraguannya dalam menjalani hari terlepas dari kondisi apapun juga.

Dalam hati, Seokjin merasa begitu senang dan bangga. Taehyung adalah adik menyebalkan yang takkan ia tukar (bahkan) dengan dunia. Melihat Taehyung disapa oleh begitu banyak orang sepanjang perjalanan singkat di dalam Hogwarts meyakinkan Seokjin bahwa adiknya tumbuh dengan baik meski memiliki keluarga paling tidak sempurna. Tidak lupa semua pujian yang kerap ia dengar di sepanjang koridor—setidaknya untuk satu hal, Seokjin merasa hidupnya begitu berguna.

Mereka tengah berjalan di aula masuk Hogwarts ketika Yoongi keluar dari sebuah pintu di sisi kanan, mengundang Seokjin tersenyum kikuk ketika tidak sengaja menabrakkan pandangannya pada iris kelam sang Slytherin. Taehyung yang menyadari perubahan gesture dari kakaknya langsung mengedarkan pandangan, mendengus mendapati Yoongi melangkahkan kaki menuju lantai di mana mereka berpijak.

“Demi Merlin. Dari seluruh orang yang kutemui hari ini, kenapa kau harus menjadi salah satunya?” Kedua tangan Taehyung terlipat di depan dada, menggeser sedikit posisinya agar lebih dekat dengan Seokjin yang mengerlingkan mata. Yoongi melihatnya sebagai bentuk defensif yang menyedihkan.

“Jangan berusaha menyinggungku sambil bersembunyi di balik hyung-mu,” sepasang iris Yoongi tidak memantulkan amarah, alih-alih rasa bosan yang berkesan sangat meremehkan. “Menggelikan.”

Semakin merapatkan tubuhnya pada Seokjin, Taehyung mendelik tidak terima. “Aku tidak bersembunyi!” Ingatannya berputar pada momen di mana Yoongi hampir mengutuknya bersama Jungkook, hingga detik ini masih mensyukuri eksistensi Seokjin pada saat itu. Taehyung tahu tipe penyihir yang dapat mengayunkan tongkat sihirnya tanpa berpikir panjang karena merasa mampu dan berkuasa; Yoongi adalah salah satunya. Cerita tentang Park Jiyeon membuktikan dugaannya dengan sempurna (meski besar kemungkinan ia akan melakukan hal yang sama apabila seseorang menghina Seokjin di hadapannya).

Tidak mengindahkan Taehyung, Yoongi beralih pada Seokjin yang telah tampak terbiasa dengan situasi di sekelilingnya. “Bagaimana dengan ujianmu?”

Seokjin tampak berpikir, mencari jawaban yang tepat seolah pertanyaan itu merupakan sebuah pertanyaan sulit. “Aku merasa cukup percaya diri. Bagaimana denganmu?”

Mengangkat bahu ringan, Yoongi memberikan jawaban tanpa kata. Taehyung yang melihat itu langsung berkomentar, “Apakah terdapat sebuah batu di dalam mulutmu? Gunakan mulutmu dengan benar untuk berbicara.”

Yoongi mengernyitkan dahinya dalam, lalu menghela napas. “Apakah tidak terdapat sariawan dalam mulutmu? Kurasa aku harus menyihir satu agar kau tidak terlalu banyak bicara.”

Terkejut dengan serangan balik itu, kali ini Taehyung benar-benar menyembunyikan tubuhnya di balik sang kakak. “Kau dengar, Hyung? Dia mengancamku! Kekasihmu benar-benar mengerikan!”

Tertawa (secara literal) di antara dua orang terdekatnya, Seokjin berkata, “Tae, kau yang memulainya. Bersikaplah sedikit ramah,” yang mengundang si pemilik surai cokelat merengut tidak senang. “Dan Yoongi, hadapilah adikku dengan lebih sabar. Dia hanya anak-anak.”

Memotong seruan Taehyung yang berbunyi, “Hei! Aku bukan lagi anak-anak!” Yoongi mengabaikan nasihat Seokjin meski memastikan bahwa ia akan mengingatnya dengan baik. “Aku harus menemui Profesor Potter. Kembalilah ke asramamu,” tangannya terangkat untuk melambai singkat. “Sampai jumpa nanti.”

Bingung dengan salam perpisahan itu, Seokjin berusaha mengingat apakah ia telah memiliki janji dengan Yoongi sebelum ini. Otaknya yang berkerja terlalu keras membuatnya melompat kaget ketika mendengar suara Taehyung, selama beberapa saat melupakan kehadiran sang adik di balik tubuhnya.

“Kurasa aku akan selamanya merasa takut padanya, Hyung. Aku tidak berbohong ketika mengatakan bahwa dia mengerikan.”

Seokjin tersenyum geli. “Hanya karena kau berusaha memancing emosinya.”

Tapi pada kenyataannya, Yoongi memang mengerikan.

Setelah menghabiskan seharian penuh bersama Taehyung untuk berbincang, membeli camilan dan duduk memandangi danau hingga malam datang, Seokjin sepenuhnya melupakan apa yang Yoongi katakan karena mengiranya sebagai gurauan. Ia kembali ke asrama Hufflepuff satu jam setelah waktu makan malam, tidak lagi sanggup menyantap hidangan di aula ruang makan akibat camilan yang berlebihan.

Ketika membuka pintu kamarnya yang seharusnya berisikan kesibukan dari beberapa orang lain, Seokjin mengerjap bingung mendapati hanya ada satu orang di dalam sana—duduk di atas tempat tidurnya, memandangnya lelah bercampur sebal.

“Yoongi? Bagaimana—”

“Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk kembali ke asrama?”

Terperangah dengan pertanyaan itu, Seokjin masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya. Apakah ia sedang berhalusinasi sekarang? Yoongi berada di dalam kamarnya, di dalam asrama Hufflepuff, masih dengan dasi bercorak hijau yang dibanggakan oleh Slytherin, duduk di atas kasurnya tanpa merasa salah tempat. Ia memastikan indra penglihatannya, sama sekali tidak mengubah pemandangan di depannya setelah beberapa kali mengusap mata.

“Aku tidak mengira kau akan menungguku,” Seokjin kembali memastikan ruangan di mana ia berada. “Di dalam asrama Hufflepuff.”

Mengayunkan tangan kanannya sebagai perintah pada Seokjin untuk mendekat, Yoongi menimpali, “Dan aku mengatakan sampai jumpa nanti, jika kau lupa.”

Berdiri setengah langkah dari Yoongi yang masih nyaman dengan posisi duduknya, Seokjin sedikit menundukkan kepala untuk membalas tatapan Yoongi yang selalu berhasil membuatnya gugup. “Ketika kau mengatakan sampai jumpa nanti, aku kira nanti adalah saat di mana kau tiba-tiba muncul dan mengejutkanku,” jelasnya tak habis pikir. “Bagaimana caranya kau bisa berada di sini?”

“Aku memiliki caraku sendiri,” yang beberapa bulan lebih muda mengalah ketika mendengar desahan kesal dari satu-satunya orang yang menyebabkannya berada di ruangan ini, “Alias Kim Ryeowook berhutang nyawa padaku.”

Teringat pada kejadian beberapa waktu lalu, Seokjin memahami situasi dengan cepat. Ia menggelengkan kepala lemah, “Yang kau maksud adalah padaku, Yoongi.”

“Secara teknis, kau tidak akan tega membunuhnya atau menagih hutang itu. Berbeda denganku,” sang Slytherin menyeringai kecil, meraih wajah Seokjin dan menangkupkan salah satu tangannya di sana. Ia dapat merasakan Seokjin memutuskan kontak mata mereka, memandang lurus lantai seperti anak kecil yang merasa bersalah. Kegugupan Seokjin selalu membuatnya merasa terhibur senang.

“Taehyung benar,” sang Kim bergeming di tempatnya. “Terkadang kau memang mengerikan.”

Mengakui apa yang lawan bicaranya katakan, ia mengedikkan bahu ringan. “Menunduklah, aku akan membisikkanmu sesuatu,” Yoongi kembali meminta Seokjin untuk melakukan satu hal yang lebih terdengar seperti perintah. Masih dengan satu tangan pada sisi wajah Seokjin yang perlahan menghangat, ia memposisikan tangannya pada tengkuk Seokjin ketika wajah mereka telah sejajar.

“Liburan akan segera tiba,” bisiknya dengan suara rendah yang tidak pernah dibuat-buat. “Kurasa kau akan merindukanku.”

Dapat merasakan jantungnya mulai berdetak tidak karuan dengan pernyataan itu, Seokjin baru teringat bahwa libur tidak hanya berartikan meninggalkan Hogwarts—namun juga Yoongi, si kekasih semena-mena yang belakangan ini begitu menyita perhatiannya. Ia hendak menjauhkan telinganya dari wajah Yoongi ketika tiba-tiba sang Min menahan tengkuknya, memberikan sebuah ciuman tepat di bibir untuk pertama kalinya.

Ciuman itu tidak bertahan lama, tapi cukup untuk membuat Seokjin merasa ingin lebur di tempatnya. Bibir Yoongi menari dengan lihai di bibirnya, memberi beberapa kecupan kecil yang menyebabkan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Seokjin menarik diri untuk kembali berdiri ketika ciuman itu terlepas sempurna, menutup mulut dengan tangannya dan memandang Yoongi tak percaya.

Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya berbeda seratus delapan puluh derajat dari apa yang Yoongi perkirakan. “Kau… semalas itu untuk bergerak?”

Kaget dengan respon yang ia dapatkan, Yoongi tertawa sebelum bangkit, berdiri nyaris tanpa celah di hadapan Seokjin yang secara refleks melangkah mundur. “Hm. Kau mengenalku cukup baik,” ia menarik pergelangan tangan Seokjin cepat, tidak cukup kuat untuk menyebabkan rasa sakit yang membekas, lalu memeluk kekasihnya dalam rengkuhan sempurna.

Seokjin selalu membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk memproses semua hal yang Yoongi berikan padanya; entah itu kata-kata, afeksi ataupun tindakan. Jadi ia membatu selama beberapa detik, mencerna apa yang terjadi, menenangkan isi dadanya yang berperang tanpa henti, kemudian mengangkat tangan untuk membalas pelukan yang terlalu nyaman untuk diabaikan lebih lama.

Menyembunyikan wajahnya pada pundak Yoongi, Seokjin membatin dengan kedua mata terpejam erat. Ya, sepertinya aku akan merindukanmu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s