“Di mana Seokjin-hyung?”
Hoseok tengah menuangkan air panas ke dalam cangkirnya ketika suara Jungkook terdengar di ruang tengah, sedikit memecah konsentrasinya hingga hampir menciptakan malapetaka. Tangan melepuh tentu tidak terdengar seperti ide yang menyenangkan di tengah jadwal yang padat. Sebelum ia sempat menggerutu, suara khas kertas yang diyakini berasal dari koran di tangan Namjoon terdengar samar, disusul dengan kalimat, “Entahlah. Aku belum melihatnya pagi ini.”
Masuk ke dalam dapur untuk mencari apapun yang dapat dimakan untuk sarapan, wajah bantal dan mata lelah Jungkook terlihat begitu kentara. Hoseok berkomentar, “Apa yang kau lakukan tadi malam?” Sambil mengaduk teh panas di tangannya.
“Game. Aku akhirnya berhasil mengalahkan Seokjin-hyung,” jawabnya dengan bangga. Hoseok mendengus, menggelengkan kepala atas rasa prihatin akan skala prioritas teman-teman satu band-nya. Di tengah rentetan tur tanpa ujung seperti ini, jam tidur seharusnya adalah hal paling berharga yang takkan dapat dibeli bahkan dengan sebuah game seharga satu milyar won.
Mereka kembali ke ruang tengah dengan secangkir teh dan sepiring roti panggang, memposisikan diri di atas sofa dengan jarak yang nyaman. Namjoon masih sibuk dengan korannya, sedangkan Jimin tampak berkutat dengan handphone dan airpods di telinga. Suara televisi menjadi pengiring kegiatan pagi hari di dorm Bangtan layaknya hari-hari normal lainnya.
Selang satu jam, obrolan ringan mulai memenuhi ruangan menggantikan kesibukan masing-masing yang terlupakan. Jimin tengah tertawa lepas akibat candaan Jungkook ketika Yoongi ikut bergabung di antara mereka, duduk di atas sofa kosong dengan piyama gelap yang sedikit kusut. Lelaki paling tua di ruangan itu menguap sebelum berpangku tangan dan ikut mendengarkan obrolan teman satu timnya.
“Hyung, sarapan?” Namjoon mendapatkan gelengan tipis sebagai jawaban, lalu mengangkat bahu tak acuh. Yang penting ia sudah menawarkan.
“Seokjin-hyung belum kembali?” tanya Yoongi menarik perhatian Jungkook yang masih memamerkan cengiran penuh, pertanda mood-nya cukup baik di pagi ini terlepas dari kurangnya jam tidur. Jawaban belum dan tidak tahu bersahutan dari berbagai orang tanpa sengaja.
Jungkook merengut. “Hyung bahkan tidur lebih lama karena tidak terima aku mengalahkannya. Kenapa dia bangun dan pergi pagi sekali?”
Mengerlingkan mata, Yoongi meraih koran yang telah Namjoon letakkan di atas meja. “Karena kemarin kau berkata merindukan makanannya, Bodoh. Dia pergi berbelanja dengan Taehyung karena ingin memasak untukmu.”
Senyum lebar di wajah Jungkook terlalu cerah bagi Yoongi yang baru saja terjaga, membuatnya tak memiliki pilihan selain menyipitkan mata dengan ekspresi masam. “Benarkah?!” seru yang paling muda tak percaya. “Aku benar-benar mencintai Seokjin-hyung! Seokjin-hyung adalah yang terbaik!”
Namjoon tertawa kecil mendengarnya. “Kalau begitu jangan terlalu sering mengganggunya untuk menumpang tidur dan bermain game, kau membuat Hyung kewalahan.”
“Tapi Seokjin-hyung tidak pernah menolak?” Jungkook mengernyit ragu. “Walaupun dia sedikit menggerutu, tapi dia selalu menuruti kemauanku dan ikut bersenang-senang!” ucapnya berusaha membela diri.
“Itu karena Seokjin-hyung terlalu baik hati untuk mengatakan tidak,” Jimin menambahi, menyempatkan diri untuk menyentil dahi Jungkook seraya mengambil remote televisi di tangan sang maknae. Jungkook berseru tak terima, mengelus dahinya yang terasa nyeri, lalu terlarut dalam perkataan para hyung-nya.
Layaknya sebuah kata tabu, kata tidak hampir tidak pernah Jungkook dapatkan keluar dari mulut Seokjin tiap kali ia meminta sesuatu. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia begitu dimanja oleh si hyung tertua hingga terkadang lupa bahwa semua orang dapat merasa lelah dan menginginkan waktu untuk sendirian. Jungkook tidak pernah mempertimbangkan itu—tidak karena Seokjin selalu membuka kedua tangannya dengan lebar.
Di sela jeda percakapan akibat dirinya yang tiba-tiba terdiam, Jungkook melompat dari posisi duduknya dan berdeklarasi, “Mulai sekarang aku akan lebih memperhatikan suasana hati Seokjin-hyung.”
Terkejut dengan pernyataan itu, Hoseok menyeringai kecil. “Oooh? Setelah sekian lama dan sekian banyak nasihat, Jungkook-ie akhirnya tersadar? Apakah ini pertanda kiamat?”
Yoongi mendengus, tetap berkutat dengan berita mengenai pemerintahan yang sebenarnya tidak cukup menarik di dalam koran, pun tetap menghabiskan waktu di tiap kata tanpa berniat untuk melewatkannya. Hari konyol lain di dorm konyol ini, ia membatin malas.
“Aku akan menjaga Seokjin-hyung seperti Seokjin-hyung menjagaku, karena Seokjin-hyung adalah milikku!”
Seharusnya kalimat itu hanyalah kalimat jenaka menggemaskan dari Jungkook yang baru saja ditampar realita. Namun entah mengapa Yoongi ingin menanggapinya dan menjadikan hari ini sedikit berbeda dengan hari-hari konyol lainnya di mana ia tidak ikut campur tangan. Setelah menyelesaikan paragraf terakhir berita yang sedang ia baca, ia melipat koran dan dengan datar berkata, “Seokjin-hyung bukan milikmu, Bocah.”
Tampak tersinggung dengan bantahan Yoongi (entah dikarenakan wajah datar atau sebutan bocah), Jungkook bersiap untuk memberikan respon defensif kekanakkan yang menjadi ciri khasnya. Menjadi paling muda berartikan berhak bersikap layaknya yang paling muda.
Jimin memotong sebelum Jungkook sempat membuka mulut, tidak ada yang tahu apakah ia ingin mengompori yang lebih muda atau hanya ingin ikut bergabung dalam percakapan. “Benar. Seokjin-hyung adalah milikku, Kook-ah. Dia menyayangiku melebihi kalian semua. Kita semua tahu itu.”
Baru saja menghabiskan secangkir teh setelah sempat mendiamkannya selama setengah jam, Hoseok menimpali, “Bukan, Seokjin-hyung adalah milikku. Hyung berkata dia tidak bisa hidup tanpaku karena aku adalah guru dance dan teman bergosip terbaik.”
Jika Yoongi mencibir mendengarnya, ia tidak akan pernah membiarkan Hoseok melihatnya melakukan itu. Sepasang mata sipitnya beralih pada Namjoon yang ia yakini tengah menyiapkan argumen lain untuk ikut andil dalam percakapan absurd mengenai kepemilikan atas Kim Seokjin. Semakin lama ia menghabiskan waktu dengan orang-orang ini, Yoongi rasa presentase kewarasannya akan terus menurun secara drastis.
“Tapi aku adalah orang pertama yang Seokjin-hyung cari ketika ia membutuhkan teman untuk berdiskusi. Jadi maaf saja teman-teman, aku yang menang dalam perdebatan ini. Seokjin-hyung tidak bisa hidup tanpaku dan karenanya dia adalah milikku,” tandas Namjoon disambut gerutuan dan seruan, “Alasanmu tidak masuk akal!”
Siapa yang menyangka pernyataan lugu Jungkook berujung pada perdebatan seperti ini? Yoongi menghela napas, kemudian berdiri untuk kembali ke dalam kamar demi menghindari keributan yang takkan usai hingga Seokjin pulang. Sebelum ia beranjak dari sana, ia berdeham untuk mendapat perhatian tiga orang lainnya.
“Apakah Seokjin-hyung pernah menangis dan berteriak ‘aku milikmu!’ di bawah salah satu dari kalian?”
“…”
“Oke. Aku pemenangnya.”
Tidak ada satu orang pun yang bersuara hingga suara pintu kamar Yoongi yang ditutup oleh pemiliknya terdengar. Jungkook tampak tidak mempercayai pendengarannya, Jimin dapat merasakan wajahnya memanas, Hoseok merasa mual dan membutuhkan satu atau dua cangkir teh panas tambahan untuk menenangkan diri, sedangkan Namjoon yang baru menemukan suaranya berteriak, “Terlalu detail, Hyung! Terlalu detail!”
“Astaga. Aku benar-benar membenci Yoongi-hyung,” Jimin berucap lemah, lalu dengan terburu menuju kamar mandi terdekat. “Sekarang aku benar-benar tidak bisa menghapus bayangan akan imajinasi liarku.”
Tertawa mendengar gerutuan Namjoon dan Jimin, Yoongi memutuskan untuk masuk ke dalam selimut dan mencoba terlelap sedikit lebih lama. Ia harus memanfaatkan waktu tenang yang tersisa sebelum Jungkook membulatkan niat untuk mendobrak pintu kamarnya.
Bukan salahnya ia jatuh sebagai pemenang.