Duduk bersila di pinggir tebing Danau Besar Hogwarts, Jungkook menarik napas panjang dan menengadah. Kedua tangannya ia jadikan tumpuan menahan beban tubuh di atas tanah, menikmati semilir angin yang menyebabkan jubah hitamnya sedikit berkibar.
Ini adalah hari kedua ia berada di Hogwarts. Setelah kabur dari malam perkenalan di asrama Slytherin, Jungkook merasa semakin sulit bergabung dengan para penghuni asrama tersebut. Ia bahkan belum berkenalan dengan teman sekamarnya—tidur lebih dulu dan keluar lebih pagi dari semua orang.
Tiba-tiba diharuskan untuk berbaur dan hidup dengan sekelompok orang asing adalah hal yang sulit bagi sebagian besar orang, termasuk dirinya. Jungkook menyukai ruang personal, namun kini ia takkan memilikinya hingga tujuh tahun ke depan.
Ia berakhir menghindari asramanya dan mengunjungi danau untuk menenangkan pikiran dan menguatkan diri. Ayahnya tidak pernah membesarkan anak manja. Jungkook adalah seorang pure-blood yang dikatakan berpotensi besar, ia tidak boleh mempermalukan nama keluarganya. Tapi ia butuh waktu. Waktu dan sedikit kesendirian.
“Halo?”
Suara asing itu membuatnya menolehkan kepala dengan cekatan. Beberapa langkah dari di mana ia mendudukkan diri, seseorang berdiri memandanginya penasaran. Jungkook langsung menyadari bahwa sosok itu jugalah seorang murid seperti dirinya; jubah hitam, aksen kuning. Seorang Hufflepuff.
Habis sudah waktu untuknya menikmati ruang personal.
Jungkook terburu-buru bangkit, hendak meninggalkan tebing ketika tanpa sengaja terpeleset dan kehilangan keseimbangan.
“Aresto momentum!”
Tubuhnya mendadak kaku, lalu dengan paksa ditarik oleh si orang asing hingga keduanya terjerembab di atas tanah. Jungkook mengaduh di atas tubuh si Hufflepuff, kemudian mengerjap lugu menyadari posisi mereka yang bertindihan.
Mendorong tubuhnya ke atas tanah di sisi penolongnya, Jungkook memejamkan mata frustasi karena malu. Bisa-bisanya ia melakukan hal seceroboh itu.
“Untung saja sempat,” ucap sosok bersuara tenor di sebelahnya. “Kalau tidak kau sudah menjadi camilan untuk Grindylows di bawah sana.”
Jungkook bergidik ngeri. “Te-terima kasih.”
Sang Hufflepuff beranjak duduk dari posisi berbaringnya, menatap Jungkook dengan senyuman ramah. “Kim Seokjin, tahun ketiga,” ia memperkenalkan diri. “Dan kau adalah?”
Memberikan namanya adalah gestur paling ramah yang dapat ia lakukan, jadi Jungkook menjawab, “Jeon Jungkook. Slytherin tahun pertama.”
Seokjin bersiul rendah. “Mau aku meninggalkanmu sendiri?”
Seharusnya Jungkook menjawab, ya, terima kasih pengertiannya. Namun mulutnya berkhianat karena rasa sepi, takut, dan sepenyendiri apapun dirinya, ia membutuhkan teman untuk bertahan hidup—terutama di lingkungan asing.
Mungkin matanya berkaca-kaca ketika menggelengkan kepala sehingga menimbulkan rasa tak tega. Atau mungkin Seokjin memang selalu sebaik hati itu hingga memutuskan untuk tetap tinggal. Yang mana pun itu, Jungkook bersyukur.
Mereka tidak bertukar kata setelahnya. Seokjin tetap duduk dengan kedua kaki diluruskan, sedangkan Jungkook bergeming pada posisi berbaringnya. Orang ini adalah orang asing, benak Jungkook mengingatkan. Tapi Jungkook tidak dapat memungkiri bahwa ia merasa nyaman.
“Hyung,” gumam Seokjin tak kentara. “Kau bisa memanggilku hyung. Aku sering ke sini untuk menghabiskan waktu dengan adikku. Kau bisa bergabung kapan saja dengan kami.”
Jungkook suka ide itu, tapi juga tidak. “Kalau hanya berdua denganmu, bagaimana?”
Untuk sepersekian detik, Seokjin terkejut. Ia menutupinya dengan baik, lalu tersenyum hangat. “Itu juga boleh.”
Seokjin adalah teman pertama Jungkook di Hogwarts; ia bersumpah tidak boleh ada yang menyakiti hyung-nya.
Termasuk Min Yoongi.