Never Will

“Ah, selamat datang kembali. Bagaimana kabarmu?”

Seokjin meletakkan tas duffle yang sebelumnya menggantung pada pundaknya di atas lantai. Ia meregangkan tubuh untuk menghilangkan pegal akibat perjalanan jauh menuju camp musim panas di mana ia berada saat ini. Senyum tipis di wajahnya tersungging seraya menjawab, “Cukup baik. Kau sendiri?”

Berdiri di satu sisi tempat tidur dan tampak sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya, Kim Namjoon mengangkat bahu ringan. “Seperti yang kau lihat, masih hidup dan bernapas,” canda teman sekamarnya tanpa beban.

Tahun ini adalah tahun keempat ia menghadiri camp musim panas yang sama—orang tuanya selalu mengatakan bahwa camp musim panas adalah jawaban tepat untuk melatih kemandirian juga mendapat lebih banyak teman. Seokjin tidak akan pernah memberi tahu bahwa selama ini ia tidak pernah bertukar nomor telepon dan menjalin pertemanan di luar camp dengan siapa pun yang berkenalan dengannya di sana.

Continue reading?

Professionalism? Next!

Di umurnya yang mendekati kepala tiga, Kim Seokjin sama sekali belum mempertimbangkan komitmen akan hubungan romansa.

Sesekali pikiran untuk menjalani hubungan dengan seseorang (entah itu serius atau sekedar percobaan) memang mampir di benaknya, namun ia memiliki terlalu banyak to-do-list di tangannya untuk mengutamakan kehidupan pribadi dalam waktu dekat. Memiliki pasangan yang dapat diajak menonton film animasi di malam Minggu terdengar menyenangkan, namun untuk sekarang ia merasa puas menghabiskan waktu luang tanpa seseorang menanti kehadirannya.

Rekan kerjanya, Park Jimin, sering mengatainya kaku dan terlalu serius untuk seseorang yang dilahirkan dalam kategori sempurna. Kehidupan sempurna sayangnya adalah hal yang ambigu bagi Seokjin karena jika dilahirkan di keluarga kaya, memiliki otak cerdas, dan wajah tampan adalah apa yang orang-orang katakan sebagai kesempurnaan, maka bagi Seokjin sempurna adalah hidup tanpa ekspektasi dan bayang-bayang.

Continue more?

And the Winner Is…

“Di mana Seokjin-hyung?”

Hoseok tengah menuangkan air panas ke dalam cangkirnya ketika suara Jungkook terdengar di ruang tengah, sedikit memecah konsentrasinya hingga hampir menciptakan malapetaka. Tangan melepuh tentu tidak terdengar seperti ide yang menyenangkan di tengah jadwal yang padat. Sebelum ia sempat menggerutu, suara khas kertas yang diyakini berasal dari koran di tangan Namjoon terdengar samar, disusul dengan kalimat, “Entahlah. Aku belum melihatnya pagi ini.”

Masuk ke dalam dapur untuk mencari apapun yang dapat dimakan untuk sarapan, wajah bantal dan mata lelah Jungkook terlihat begitu kentara. Hoseok berkomentar, “Apa yang kau lakukan tadi malam?” Sambil mengaduk teh panas di tangannya.

Continue reading?

Real, Unreal

Semua ini mungkin dikarenakan ia telah menghabiskan waktu bersama Bangtan terlalu lama; dengan Namjoon dan pribadi romantis yang disembunyikan, Yoongi dan keahliannya dalam memerhatikan tanpa banyak bicara, Hoseok dan sifatnya yang mudah mengutarakan perasaan, Jimin dan pribadi lembut penuh kasih sayang, ditambah Jungkook dan rasa mengutamakan perasaan orang lain di atas segalanya. Taehyung tak benar-benar mengerti, ia hanya membuat alasan demi pembenaran diri.

Bangtan selalu berotasi layaknya Bumi, yang berbeda adalah mereka memiliki Seokjin sebagai porosnya.

Ketika Jimin menyadari apa yang belum ia sadari, teman seumurannya itu berkata, “Jangan, Tae,” suaranya terdengar lembut namun waspada, menyebabkan entah mengapa Taehyung tak menyukainya. “Seokjin-hyung adalah pusat gravitasi bagi kita semua.”

Continue reading?