Jam menunjukkan tepat pukul setengah satu siang.
Keadaan kafe sedang ramai ketika Seokjin tiba dan melangkah masuk ke bagian dalam, bersyukur dalam hati karena telah melakukan reservasi sebelumnya. Ia disambut oleh salah satu pelayan, mengikuti arahan menuju sebuah meja dikhususkan untuk empat orang pada salah satu sudut ruangan.
Sepasang matanya tengah sibuk mengamati deretan menu ketika seseorang memeluk tubuhnya dari belakang, menyebabkannya mendongakkan kepala untuk melihat pelaku gestur intim yang ia dapatkan.
Senyum di wajahnya mengembang begitu mendapati wajah yang begitu ia rindukan. “Donghee!”
Pemilik nama yang diserukan, Kim Donghee, mengeratkan pelukannya selama beberapa saat. Ia membiarkan Seokjin bangkit untuk membalas pelukannya, tertawa bersama dan menanyakan kabar masing-masing sebelum duduk berseberangan.
“Kau baru menemuiku seminggu setelah kembali dari Australia. Benar-benar adik yang kejam,” ucap Seokjin seraya berpura-pura tersinggung, namun ia tetap menyodorkan menu pada yang lebih muda.
Donghee meringis serba salah. “Jangan menyudutkanku seperti itu,” ia berusaha meminta belas kasihan. “Kau tahu aku memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.”
Urusan yang dimaksud adalah mengurus setumpuk berkas yang tidak Seokjin minati tentang apa. Berusaha untuk maklum, ia menggoda adiknya dengan bertanya, “Tapi kau menemuiku lebih dulu daripada Ibu dan Ayah, ‘kan?”
Tertawa sebagai tanggapan, Donghee menarik satu jari telunjuknya tepat di depan mulutnya. “Jangan sampai mereka tahu.”
Seokjin membulatkan mata tak percaya. “Kau tidak serius.”
Mereka berbincang mengenai perkuliahan Donghee di luar negeri, perkiraan kelulusan yang lebih cepat, juga rencana untuk memulai karir di negeri orang. Seokjin tidak ingin mematahkan semangat adiknya, jadi ia menahan diri untuk mengatakan bahwa izin pasti sulit didapatkan dari orang tua mereka yang dikategorikan konvensional.
“Jadi, di mana kekasihmu?” tanya Donghee seraya menaikkan sebelah alis penasaran. “Kau mengajakku bertemu di sini dan bukan di rumah karena ingin mengenalkannya, ‘kan?”
Selama dua tahun Donghee merantau untuk melanjutkan edukasi di luar negeri, banyak yang telah terjadi dalam hidup Seokjin—salah satunya adalah dirinya yang kini memiliki kekasih. Komunikasi virtual tidak pernah terasa cukup untuk berkeluh kesah dan berbagi. Karenanya Seokjin berjanji apabila Donghee menyempatkan pulang pada libur semester akhir tahun ini, ia akan mengenalkan sang adik dan memuaskan semua pertanyaan yang selama ini menghantui.
“Kenapa kau tidak sabar sekali,” Seokjin memanggil pelayan untuk memesan minum dan hidangan pembuka untuk mengisi waktu sambil menanti. “Dia sedikit terlambat karena ada kelas.”
“Tentu saja aku tidak sabar!” sahut sang adik setelah menyebutkan pesanannya dan mengucapkan terima kasih. “Kau berpacaran dengan lelaki seumuranku!”
Fakta itu menyebabkan Seokjin mendengus, lalu memangku wajahnya menggunakan satu tangan. “Tidak perlu diingatkan,” ia menghela napas dan mengedarkan pandangan. “Kau membuatku merasa berdosa.”
“Tidak seperti kau menjalin hubungan dengan anak di bawah umur,” kalimat Donghee menyebabkan Seokjin menyipitkan mata. Memang benar, hanya saja tiap kali teringat bahwa ia memiliki kekasih yang berumur sama dengan adik kandungnya, ia selalu berakhir merasa sedikit salah tempat.
Hanya butuh lima belas menit hingga pesanan mereka datang. Seokjin sengaja tidak memesan hidangan utama agar ketiga dari mereka dapat benar-benar menjalani agenda makan siang bersama. Ia menyeruput tehnya sambil mengemili bruschetta hangat.
“Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?”
Pertanyaan Donghee membuatnya berhenti mengunyah untuk sesaat. Setelah menelan makanan dalam mulutnya, ia tersenyum hangat. “Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Dia lelaki yang menyenangkan.”
Wajah serius Donghee berubah menjadi penuh syukur, kemudian memulai interogasinya dengan, “Kau belum menceritakan awal perkenalan kalian padaku. Siapa namanya? Jungkook?”
Ingatan Seokjin berkelana pada satu setengah tahun silam; pertemuan pertamanya dengan Jungkook di universitas terlepas dari angkatan yang jauh berbeda. “Ah, dari mana aku harus memulainya?”
+++
Semuanya bermula pada semester terakhirnya dalam meraih gelar magister.
Seokjin jarang mampir ke kampus selain untuk melakukan bimbingan dan mengunjungi perpustakaan, setidaknya hingga penelitian lapangannya selesai dan menyisakan tangannya untuk merangkai kata-kata dalam bentuk tesis tebal. Ia berdedikasi tinggi untuk menyelesaikan kuliahnya dalam waktu satu setengah tahun, ingin secepatnya lulus dan menghindar dari terus bergumul dengan buku.
Melanjutkan edukasi ke jenjang pascasarjana bahkan bukan keinginannya. Ayahnya lah yang membujuk setengah memaksa—jika bukan dikarenakan fakta bahwa ia adalah anak penurut nan teladan, ia pasti sudah kabur dari rumah.
Jeon Jungkook adalah sebuah kejutan; kehadirannya dalam kehidupan Seokjin sama sekali tidak terduga.
Menggunakan hoodie tebal beserta kacamata bulat, suatu hari Seokjin mengunjungi kantin fakultas untuk membeli roti sebagai pengganjal perut yang kelaparan. Ia tidak memiliki banyak waktu karena dosen pembimbingnya teramat sibuk dan gemar memanggilnya secara mendadak.
Kakinya berderap cepat menuju pintu keluar kantin setelah mendapatkan roti yang ia inginkan. Seokjin yang tengah terburu-buru nyaris menabrak seseorang dari arah berlawanan, dengan refleks menghentikan langkah sebelum tubuh mereka saling menghantam.
Kata maaf belum sempat terucap dari mulutnya ketika pemuda itu menggunakan kedua tangan untuk mencengkram pundaknya. Wajahnya tampak pucat dengan rona merah muda tak kasat mata, sedangkan pandangannya tampak tak fokus dan berusaha keras untuk menatap wajah Seokjin yang terlalu terkejut untuk bergerak.
Seharusnya ia menepis tangan di pundaknya dan berlari menuju prodi jurusan, namun Seokjin justru bertanya, “Kau baik-baik saja?”
Cengkraman di pundaknya semakin kuat. Seokjin meringis dan hendak mendorong lelaki di depannya, hanya saja apa yang terjadi selanjutnya berjalan terlalu cepat.
Sosok bersurai hitam itu mengeluarkan isi perutnya pada hoodie yang Seokjin gunakan, mengundang pekikan beberapa gadis di sekitar mereka, juga menyebabkan Seokjin melepaskan roti yang ia genggam di kedua tangan.
+++
“Dia… memuntahimu?” Donghee tidak dapat menahan diri untuk tidak terbahak. Perutnya terasa sakit akibat geli berlebihan mendengar cerita sang kakak. “Kenapa?!”
Seokjin tersenyum masam. “Hangover. Ternyata dia mendatangi semacam pesta mahasiswa baru di malam sebelumnya, lalu memiliki kelas pagi dengan dosen killer yang memberikan jatah absen kurang dari tiga.”
“That sucks,” komentar Donghee setelah dapat mengontrol tawa. Ia mengusap air di sudut mata, masih setengah tidak mempercayai cerita konyol kakaknya. “Lalu apa yang terjadi setelahnya?”
“Aku membatalkan pertemuanku dengan dosen, tentu saja. Menariknya ke toilet dan menghabiskan satu jam untuk mempertimbangkan menggunakan baju penuh muntah atau bertelanjang dada menuju parkiran.”
Kim yang lebih muda menyeringai lebar. Ia dapat membayangkan betapa gusar kakaknya pada saat itu—Seokjin termasuk seseorang yang menjunjung tinggi kebersihan, belum lagi fakta bau dari muntahan basian jauh lebih menyengat daripada muntah pada umumnya.
Sebelum Seokjin kembali melanjutkan cerita, seseorang menarik kursi di sebelahnya dan mendahului dengan berkata, “Maaf aku terlambat.”
Jungkook tampak kasual dengan kaos gombrong berlengan panjang beserta jeans biru yang membalut tubuh tegapnya. Lelaki itu mengusap tengkuk Seokjin, memamerkan senyum sebelum mengalihkan pandangan pada Donghee yang kini menaruh perhatian penuh pada kehadirannya. “Kau pasti Donghee. Kalian benar-benar mirip.”
Menyambut uluran tangan Jungkook untuk berjabat tangan, Donghee mengangkat bahu ringan. “Kami mendengar komentar itu layaknya makanan sehari-hari.”
Mendudukkan diri di sisi Seokjin, mereka memutuskan untuk memesan makanan sebelum melanjutkan perbincangan. Jungkook yang baru saja datang tampak penasaran akan obrolan dua kakak-adik di mejanya. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Aku melihat Donghee tertawa dari pintu masuk tadi.”
“Bukan hal penting, hanya pertemuan pertamamu dengan Kakak,” jawaban Donghee menyebabkannya mendesah frustasi. “Aku tidak tahu apakah aku harus marah atau berterimakasih karena kau memuntahinya.”
“Kim Donghee!” seru Seokjin menahan kesal. “Kau tidak bisa membayangkan penderitaanku hari itu!”
Tangan Jungkook bergerak untuk menggenggam tangan Seokjin yang menganggur di balik meja—Donghee dapat melihat kakaknya tersentak kecil, lalu membuang muka. “Kenapa kau masih dendam? Kau juga pernah memuntahiku.”
Pernyataan itu menarik minat Donghee dengan cepat. “Benarkah? Kapan?”
“Satu bulan setelahnya, kurasa?” Jungkook tertawa. “Aku berusaha mencari Seokjin setelah pertemuan pertama kami, tapi dia benar-benar sulit ditemukan. Kami bertemu kembali di sebuah bar dalam keadaan, well, kakakmu mabuk berat.”
Ada setitik perasaan aneh ketika Donghee mendengar bagaimana Jungkook menyebut nama Seokjin tanpa panggilan “kak” atau sejenisnya. Ia menepis perasaan itu karena meski mereka seumuran, berbeda dengannya, Jungkook bukanlah adik Seokjin melainkan kekasihnya.
“Aku tahu. Pasti itu adalah masa di mana Kakak sedang stres berat karena tesisnya terancam dirombak ulang?” tebakannya tepat sasaran karena Jungkook mengangguk membenarkan. “Aku ingat dia menghubungiku setiap hari untuk memaki atau menangis. Bahkan kadang keduanya sekaligus.”
“Silakan bicarakan aku seolah aku tidak berada di sini,” Seokjin mendecak sebal. “Lihat saja jika nanti salah satu di antara kalian menghubungiku untuk membahas skripsi.”
Mengeratkan genggaman tangannya, Jungkook menggunakan ibu jarinya untuk mengelus punggung tangan Seokjin. “Dasar ambekan.”
“Apakah kalian dekat setelah kejadian di bar itu?” Donghee kembali bertanya, menyedot milkshake yang ia pesan dengan antusias. “Tunggu. Jangan bilang malam itu—”
“Apa yang kau pikirkan, Bocah?” tanya Seokjin dengan nada menyiratkan ancaman meski kini telinganya memerah akibat malu mendera. “Tidak ada yang terjadi, tapi kami memang bertukar kontak setelahnya.”
Makanan yang mereka pesan datang sejurus kemudian, untuk sesaat memotong wawancara Donghee akan proses hubungan mereka. Seokjin melirik Jungkook yang terlihat santai menyantap hidangan seraya sesekali bercanda ringan, tanpa sadar memutar kembali reka adegan pertemuan kedua mereka pada malam yang sebelumnya baru saja dibicarakan.
+++
Ia tidak benar-benar ingat apa yang terjadi.
Seokjin hanya ingat ia merasa marah dan kecewa akibat sebuah masalah yang menimpa penelitiannya, membuatnya terancam mengulang tesis dari awal. Dosen pembimbingnya meminta satu minggu sebelum membantunya mencari jalan keluar, sedangkan ia terlampau kalut untuk bersikap tenang.
Ketika teman-temannya mengajak minum bersama, ia menyanggupi tanpa berpikir panjang. Malam itu benar-benar buram dalam ingatannya dan Seokjin menemukan dirinya berada di dalam sebuah kamar asing pada saat membuka mata.
Tubuhnya ditutupi selimut tebal dan pakaiannya tidak ia temukan di lantai kamar. Satu-satunya kain yang membalut tubuhnya adalah boxer yang ia tahu ia gunakan untuk pergi tadi malam. Kepalanya terasa sakit dan perutnya benar-benar mual.
Pintu kamar di mana ia berada terbuka tepat di saat ia memaksakan diri untuk duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Butuh beberapa detik baginya untuk mengenali wajah familiar yang muncul dari balik sana.
“Kau orang yang waktu itu memuntahiku di kantin,” tandasnya dengan wajah datar.
Sosok itu menatapnya tanpa minat. “Dan kau orang yang memuntahiku tadi malam. Tolong jangan ungkit kejadian itu lagi karena sekarang kita impas.”
Memijat dahinya menahan malu, Seokjin memutuskan mengalihkan pembicaraan. Ia menatap tubuhnya yang tidak lagi berbalut kemeja hitam. “Apa yang terjadi?”
Lelaki itu duduk di ujung tempat tidur, tepat di sebelah kakinya yang masih nyaman berada di balik selimut. Seokjin menerima cangkir yang ditawarkan padanya tanpa menyempatkan untuk curiga, meneguknya cepat akibat dahaga datang menyergap.
“Aku menemuimu di kamar mandi bar dan membawamu pulang ke apartemenku karena aku tidak tahu siapa teman-temanmu di sana,” jawab pemilik surai ikal itu ringan. “Kau sudah mabuk di jam sebelas malam. Toleransimu memang rendah atau sedang stres berat?”
Seokjin tidak merasa memiliki kewajiban untuk menjawab, jadi dia memilih mengalihkan pembicaraan. “Di mana pakaianku?”
“Entahlah, di truk yang mengangkat sampah pagi ini?” Sepasang matanya mendelik mendengar jawaban tak acuh yang ia dapatkan. “Bahkan jasa laundry akan menolak untuk mencuci pakaianmu meski dibayar satu milyar, percaya padaku.”
Meski ingin mendebat bahwa tidak mungkin sebuah jasa laundry akan menolak satu milyar untuk mencuci sepasang pakaian penuh muntahan, Seokjin memilih untuk bungkam. Ia lebih ingin mengetahui apakah mereka melakukan sesuatu tadi malam, namun di sisi lain merasa takut mendengar jawabannya.
Tampaknya kekhawatirannya terpampang jelas karena lawan bicaranya mengatakan, “Kau sudah tidak sadar sejak aku mengangkatmu ke mobil dan aku tidur di sofa ruang tengah tadi malam,” lelaki itu mengusap tengkuknya salah tingkah. “Kalau kau mau berterimakasih, namaku Jungkook.”
Mengangkat sudut bibir mendengar kepercayaan diri itu, Seokjin membalas, “Kalau kau mau berterimakasih untuk sebulan lalu, namaku Seokjin.”
Jungkook mendengus, lalu bangkit dari posisi duduknya menuju lemari kamar. Ia mengambil sebuah handuk, sweter dan celana training lalu melemparkannya ke arah Seokjin yang berhasil menangkap satu persatu dengan cekatan. “Sikat gigi baru ada di laci nomor dua di bawah wastafel. Mandilah. Aku akan menunggumu di meja makan.”
Ia keluar dari kamar setelah menuruti Jungkook untuk mandi dan membersihkan diri, tidak mengambil waktu untuk melanggar privasi dengan memandangi penjuru kamar si tuan rumah. Jungkook, seperti yang dijanjikannya, telah duduk di meja makan dengan beberapa hidangan yang memiliki harum menggugah selera.
“Kau memasak semua ini?”
“Mana mungkin. Aku memesannya,” kejujuran Jungkook membuatnya tertawa. Seokjin mendapati lelaki itu memandanginya dari ujung kaki hingga kepala, secara terang-terangan dan tidak mengalihkan pandangan bahkan di saat mereka kini duduk berhadapan.
“Apa? Kenapa kau memandangiku seperti itu?” Ia bertanya akibat merasa canggung akan perhatian berlebihan yang didapatinya, di saat bersamaan juga takut melakukan satu kesalahan yang tentu tidak disengaja.
Jungkook berdeham, meraih sumpit di sebelah piring dan mulai memilih lauk untuk mengisi perutnya. “Sejujurnya aku tidak suka meminjamkan pakaianku,” aku sang Jeon tanpa rasa bersalah. “Tapi melihatmu menggunakannya… kurasa kau adalah pengecualian.”
Mengabaikan wajahnya yang terasa panas, Seokjin menyuapkan satu sendok penuh nasi ke dalam mulut dan mulai mengunyah.
+++
Donghee memesan satu crème brulee dan satu plum skillet untuk hidangan penutup, memutuskan untuk membagi dua hidangan itu bersama Seokjin dan Jungkook dikarenakan perut mereka sudah penuh. Tiga sendok bergantian mencicipi dessert yang ternyata memiliki rasa jauh di atas ekspektasi, mengecap manis dan mendesah senang akan rasa yang memenuhi rongga mulut.
“Kapan kau sadar bahwa Jungkook lebih muda?” Kali ini Donghee kembali berusaha memuaskan rasa ingin tahu akan hubungan asmara dua orang di hadapannya.
Sejujurnya, Seokjin telah menyadarinya sejak awal. Mahasiswa pascasarjana di fakultas mereka cukup terbatas dan wajah Jungkook terlalu asing bagi dirinya. Ia hanya tidak menyangka bahwa perbedaan umur mereka menyentuh lima tahun, persis seperti jarak umurnya dengan si adik kandung.
“Aku baru tahu dia mahasiswa sarjana tahun pertama di pertemuan keempat,” ia menunjuk Jungkook menggunakan sendok hidangan penutup. “Lalu aku berhenti membalas pesannya selama seminggu penuh.”
Menyamankan tangannya pada sandaran kursi milik Seokjin, Jungkook menolehkan kepala. “Sampai sekarang aku masih tidak mengerti kenapa dulu kau menjadikan perbedaan umur kita masalah besar.”
“Kalau kau menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki umur sama dengan adikmu, kau akan mengerti perasaanku,” Jungkook dan Donghee saling bertukar pandang, lalu mengedikkan tubuh bersamaan. Seokjin menghela napas melihat kelakuan dua pemuda di dekatnya. “Ini masalah ego, oke?”
Tidak ingin mendesak sang kakak, Donghee menatap Jungkook, “Bagaimana caramu hingga kalian bisa kembali berhubungan?”
“Kami berpapasan di kampus,” jawaban Jungkook menyebabkan Seokjin mengerlingkan mata. “Atau semacam itu.”
+++
Lebih seminggu Seokjin berhenti membalas pesannya, bahkan menolak untuk mengangkat teleponnya. Mereka sempat bertemu dua kali setelah malam di mana ia mengurus dan membawa Seokjin pulang dari bar yang kembali mempertemukan mereka, menghabiskan waktu bersama untuk menonton bioskop dan makan malam.
Jungkook sadar akan perubahan ekspresi Seokjin ketika ia mengatakan bahwa ia adalah mahasiswa semester satu dalam rangka menjawab pertanyaan yang lebih tua akan tahun angkatannya. Ia tidak tahu apa yang salah.
Di lubuk hatinya, Jungkook tahu Seokjin menganggapnya terlalu muda. Tapi alasan klise itu tidak akan ia terima hingga kapan pun juga. Baginya, perbedaan umur tidak berarti besar apabila kedua orang dalam satu hubungan dapat mengatasinya dengan bijak.
Pada hari ke sepuluh sejak komunikasi terakhir mereka, Jungkook tidak sengaja melihat Seokjin sedang berjalan di halaman fakultas. Ia hendak menghampiri yang lebih tua ketika melihat seseorang setengah berlari mendahuluinya, menyapa Seokjin dan berhasil menciptakan tawa di wajah tampan sang mahasiswa pascasarjana.
Jungkook tahu ia harus bersiap akan kemungkinan memiliki banyak saingan di saat memutuskan untuk mendekati Seokjin. Ia tidak bisa menyalahkan keadaan—bagaimanapun, manusia cenderung tertarik pada keindahan. Eksistensi Seokjin layaknya gravitasi khusus yang menarik semua perhatian untuk tertuju padanya seorang.
Tapi hari itu, ketika ia melihat Seokjin tertawa lepas bersama sosok asing sedangkan dirinya susah payah berusaha menepis kehadiran lelaki itu dalam benaknya tiap hari, Jungkook merasa dongkol bukan main.
Ia menghampiri Seokjin dengan langkah pasti, kemudian menarik lengan sang Kim hingga terhuyung menabrak tubuhnya sendiri. Jungkook melingkarkan lengannya pada leher Seokjin, menatap lurus si lelaki asing yang tampak bingung akan situasi mereka saat ini.
“Dia punyaku,” nadanya tegas tanpa niat untuk bersikap ramah. Siapa yang peduli jika lelaki itu adalah kakak tingkatnya.
Seokjin berusaha melepaskan diri, namun tentu saja gagal kecuali ia tega bersikap beringas dan menyikut rusuk Jungkook. “Apa yang kau lakukan, Jeon Jungkook? Lepaskan aku!”
Sosok yang sebelumnya tengah berbincang dengan Seokjin itu tersenyum ramah, entah mengapa membuat Jungkook semakin muak. “Kurasa lebih baik kita mengobrol di lain waktu.”
“Sepertinya begitu. Maaf, Namjoon. Aku harus mengurus anak ini terlebih dahulu,” ungkap Seokjin seraya mengabaikan protes Jungkook yang berbunyi, “Apa maksudmu anak ini?!”
Pemilik nama Namjoon itu membuka mulut, namun Jungkook memotongnya dengan, “Jangan pernah bersikap terlalu ramah dengan Seokjin di depanku.”
“Hei! Panggil aku kak! Aku lima tahun lebih tua darimu!”
Seruan Seokjin dengan sengaja ia abaikan, perhatian sepenuhnya berada pada Namjoon yang masih mempertahankan senyuman. Namjoon mengangkat kedua tangan dan Jungkook menganggapnya sebagai ejekan. “Oke, aku tidak akan bersikap terlalu ramah dengan Seokjin,” lalu membalikkan tubuh dan melambaikan tangan. “Di depanmu.”
Jungkook nyaris mengumpat, untungnya Seokjin mendahului dengan menendang kakinya sekuat tenaga. Ia berteriak tertahan dan melepaskan rangkulannya pada leher Seokjin, mengeluh sakit hanya untuk mendapati kepalanya dipukul oleh sang Kim.
“Apa-apaan? Kenapa kau melakukan itu?!”
“Kenapa aku tidak boleh melakukannya?”
“Kau membuatku malu! Sejak kapan aku milikmu?!”
Menghela napas kasar, Jungkook semaksimal mungkin berusaha untuk meminimalisir volume suaranya. “Kalau kau membalas pesanku mungkin sekarang aku sudah tahu sejak kapan kau menjadi milikku!”
Dua pasang mata saling memandang tajam. Baik Jungkook maupun Seokjin terlalu keras kepala untuk mengalah.
Angin yang berhembus dan mengacak surai mereka seolah menjadi kode bagi Jungkook untuk bersikap lebih tenang dan berusaha menunjukkan bahwa ia jugalah orang dewasa. Seokjin mungkin lebih tua, namun bukan berarti ia tidak bisa bersikap lebih bijak.
“Katanya Virgo dan Sagitarius adalah pasangan yang aneh,” ia berusaha mencairkan suasana. “Tapi ketika pasangan dua zodiak itu berhasil membuat hubungan mereka bekerja, Virgo dan Sagitarius akan menjadi pasangan yang sangat kuat.”
Seokjin melipat kedua tangannya di depan dada. “Sejak kapan kau percaya zodiak?”
“Aku memang percaya ramalan zodiak,” ucap Jungkook dengan wajah serius hingga menyebabkan Seokjin ilfeel di tempat. “Tapi hanya ramalan yang mengatakan kita cocok saja.”
Mendengar gombalan itu, Seokjin kehabisan kata-kata untuk membalas.
+++
Tentu banyak bagian dari kisah itu yang sengaja dihilangkan ketika mereka bercerita—Seokjin berusaha menyelamatkan imej Jungkook di depan adiknya, ia tidak mungkin membiarkan kekasihnya menanggung malu dan menjadi bahan candaan Donghee hingga beberapa bulan ke depan.
Jemari dari tangan Jungkook yang bersandar pada kepala kursi di mana ia duduk menyentuh pundaknya dan memberi belaian ringan. Seokjin tersenyum kecil, bertanya-tanya bagaimana gestur minim dari sosok di sampingnya selalu berhasil membuatnya merasa lebih nyaman.
“Kalian pacaran setelah itu?”
“Begitulah,” Seokjin kembali menyuapkan skillet ke dalam mulut. “Kami menjalin hubungan sambil mengenal satu sama lain lebih dalam. Ternyata Jungkook tidak semenyebalkan perkiraanku.”
“Kakakmu semenyebalkan perkiraanku, tapi dia satu-satunya orang yang tahan menghabiskan waktu bersamaku jadi aku tidak dapat memprotes lebih jauh.”
Jungkook tertawa mendapati Seokjin mendelikkan mata ke arahnya, menggumamkan kata bercanda sambil menyandarkan dahinya pada kepala yang lebih tua. Donghee ikut tersenyum ketika melihat kakaknya salah tingkah.
“Pertanyaan terakhir,” mengerjap lugu, Donghee memiringkan kepala. “Apakah kalian sering bertengkar? Bagaimana dengan pertengkaran pertama kalian?”
“Kenapa pertanyaanmu detail sekali,” keluh Seokjin yang mulai merasa lelah dengan sesi tanya-jawab adiknya. “Tentu saja kami sering bertengkar. Aku dan Jungkook bukan pasangan yang dapat dikategorikan menggemaskan,” pernyataannya menyebabkan Jungkook merengut tanpa memiliki kesempatan untuk membantah. “Tapi kebanyakan adalah pertengkaran kecil sewajarnya.”
Seokjin terdiam setelahnya, berusaha mengingat pertengkaran besar pertama yang menimpa mereka di awal masa menjalin hubungan. “Sedangkan untuk pertengkaran pertama…”
+++
Sekitar tujuh bulan setelah mereka resmi menyandang status pacaran, waktu yang mereka habiskan bersama dari hari ke hari terus berkurang—entah itu dalam bentuk komunikasi bahkan pertemuan tatap muka.
Adalah hal wajar bagi seorang mahasiswa tahun pertama untuk menghabiskan banyak waktu bersenang-senang, mengeksplorasi lingkungan baru beserta kehidupan bebas yang tidak didapatkan semasa sekolah. Jungkook lebih sering terlihat di tongkrongan kampus atau klub malam bersama teman-temannya.
Sedangkan sebagai seseorang yang baru saja masuk ke dunia kerja, Seokjin cenderung menginginkan waktu untuk sendiri karena beban akan beradaptasi dengan lembar baru kehidupannya. Bekerja memenuhi working hour kantor menyebabkannya terus merasa lelah dan enggan berkencan di akhir pekan.
Pada saat mereka menyadarinya, isi pertukaran pesan mereka terasa begitu monoton dan membosankan. Ucapan selamat pagi dan selamat malam, saling mengingatkan makan, dan kabar bahwa masing-masing sudah sampai di rumah.
Tiga minggu meneruskan hubungan yang tampak setengah hati itu, Jungkook memutuskan untuk melakukan sesuatu agar dapat menyelamatkan hubungan mereka. Seokjin terlalu penting untuk dikalahkan rasa jenuh sesaat.
Ia menawarkan untuk menjemput Seokjin sepulang kantornya di suatu Jumat malam, menurut ketika yang lebih tua menolak untuk singgah di restoran dan makan malam bersama. Keduanya berakhir membeli makanan takeaway dan langsung pulang.
Jungkook bersikeras untuk turun dan mampir meski Seokjin mengatakan bahwa ia ingin langsung terlelap. Tiga minggu merupakan waktu tidak bertemu yang cukup lama bagi sepasang kekasih yang tinggal di satu kota sama, dan Jungkook tidak memungkiri bahwa ia merindukan Seokjin terlepas dari kegiatan kampusnya yang padat.
Duduk bersebelahan di sofa kamar setelah menghabiskan makan malam, Jungkook memutuskan untuk bertanya, “Apakah kau sadar sudah berapa lama kita tidak menghabiskan waktu bersama?”
Seokjin menoleh ke arahnya—rambutnya masih basah dengan sebuah handuk melingkar di lehernya. “Dua minggu? Tiga? Aku tidak memiliki tenaga untuk mengingatnya.”
Perasaan kecewa berusaha Jungkook pendam mati-matian. “Kau tidak merindukanku?”
Menghela napas, Seokjin menggeser tubuhnya mendekati yang lebih muda. Ia menyentuh lengan Jungkook dan berusaha memberi pengertian. “Beradaptasi dengan dunia kerja berbanding terbalik dengan beradaptasi ke masa kuliah. Energiku terkuras habis beberapa minggu belakangan, mengertilah.”
Bukannya Jungkook tidak berusaha untuk mengerti. Hanya saja Seokjin tidak banyak membantunya untuk menerima perubahan dalam hubungan mereka yang tiba-tiba menjadi dingin. Sang Kim bahkan enggan mengalah dengan meluangkan sedikit waktu sepulang kerja untuk mereka bercengkrama selama beberapa menit.
“Apakah kita harus mengakhiri ini?” Pertanyaan Seokjin menyebabkan Jungkook menegang di tempatnya. “Aku tidak ingin terus-menerus membuatmu berada di posisi sulit.”
Untuk pertama kalinya, Jungkook merasa marah pada sang kekasih. Ia tidak menyangka Seokjin akan mengambil putus sebagai jalan keluar dengan semudah ini. “Aku berusaha memaklumi semua alasanmu dan kau malah menyarankan untuk mengkhiri segalanya?” Ia menepis tangan Seokjin dan beranjak untuk berdiri. “Kenapa aku merasa seperti hanya aku yang selalu berjuang di sini?”
Seokjin mengikuti tindakannya dengan segera bangkit, berdiri di depan Jungkook dan berusaha menenangkan emosi si pemilik iris gelap. “Bukan begitu maksudku—”
“Lalu apa?” Daripada amarah, Seokjin lebih mudah menangkap kecewa di balik suara Jungkook. “Aku selalu menahan diri untuk tidak mengeluh karena tidak ingin membebanimu. Aku tidak mau kau melihatku sebagai kekasih yang manja karena terus meminta waktumu. Tapi kenapa,” suara Jungkook terdengar lemah. “Kenapa kau terpikir untuk melepaskanku semudah itu?”
Dalam satu gerakan, Seokjin memeluk Jungkook tanpa menyisakan celah di antara mereka. Ia menggumamkan seribu maaf, terima kasih, juga janji tidak akan mengulangi keegoisan yang sama. Tubuhnya akhirnya dapat merasa rileks ketika emosi Jungkook mereda, membalas pelukannya dan ikut membisikkan maaf.
“Aku merindukanmu,” ucap Jungkook seraya mengangkat tubuh Seokjin ke atas pangkuannya di atas sofa. Keduanya masih menolak untuk melepaskan sentuhan yang lama tidak didapatkan.
Mata Seokjin terasa panas akibat haru, bersyukur memiliki Jungkook dan menyesal telah bersikap lebih kekanakkan di saat ia seharunya menjadi pihak yang lebih dewasa. “Aku juga, Jungkook. Aku juga merindukanmu.”
+++
“Bayangkan saja. Kakakmu menolak bertemu denganku hampir selama sebulan, lalu ketika akhirnya bertemu dia justru mengusulkan putus,” Jungkook tampak kembali keki mengingat pertengkaran mereka hari itu. “Siapa yang tidak emosi?”
Donghee menggelengkan kepala prihatin. “Kak, kau benar-benar payah.”
Mereka telah sampai di parkiran kafe, hendak berpisah karena Donghee membawa mobilnya sendiri. Seokjin yang sejak awal tidak membawa kendaraan karena berniat untuk pulang bersama Jungkook hanya merangkul adiknya dan memberikan jitakan penuh kasih.
“Terima kasih untuk hari ini, Jungkook,” ungkap Donghee sambil menepuk pundak kekasih kakaknya. Ia memiliki firasat bahwa mereka dapat menjadi teman akrab dalam waktu dekat. “Kapan-kapan datanglah ke rumah.”
Menyanggupi ajakan Donghee, Jungkook mencolek lengan Seokjin dan bercanda, “Dengan senang hati. Semoga kakakmu segera mengundangku untuk mampir.”
Dua lelaki seumuran itu tertawa, sedangkan Seokjin memutar bola matanya jengah. Ia menyembunyikan senyumnya yang mengancam untuk mengembang dikarenakan rasa bahagia melihat dua orang paling berharga dalam hidupnya dapat mengakrabkan diri dengan mudah.
Dalam perjalanan pulang, Jungkook meraih tangan Seokjin dan menatap yang lebih tua. Satu tangannya yang lain fokus pada kemudi, mempertahankan laju kendaraan dengan stabil. “Aku tidak menyangka bertemu dengan adikmu menimbulkan banyak nostalgia.”
Seokjin tertawa, menyamankan punggungnya pada sandaran kursi. “Aku sudah memperkirakan itu sebelumnya,” ia memejamkan mata dan menghela napas lega. “Donghee tampak menyukaimu. Sekarang kau tinggal berpikir bagaimana caranya agar orang tuaku juga menyukaimu.”
Menarik tangan Seokjin menuju bibirnya, Jungkook mengecup punggung tangan sang Kim dan menghirup aroma manis yang menempel di sana. “Akan kupikirkan.”
Alunan lagu pop mainstream melalui radio menjadi teman pengisi keheningan di sepanjang perjalanan. Seokjin melirik tangannya yang masih berada dalam genggaman Jungkook, tersenyum senang lalu mengeratkan tautan jemari mereka.
“Menginap di tempatku malam ini?”
Undangan itu tentu tidak akan Jungkook sia-siakan.