❋
We fight, we get high holding on to love
We came down ’cause there was nothing holding us
Is it wrong that I still wonder where you are?
Is it wrong that I still don’t know my heart?
❋
❋
Orang bilang, rasa cinta bisa kedaluwarsa.
Taehyung tidak percaya. Seokjin berbeda.
Sebenarnya Seokjin tidak pernah mengatakan bahwa lelaki itu percaya bahwa cinta memiliki tenggat dan akan menguap pada satu titik tertentu, seperti bom waktu. Mereka tidak pernah membicarakan tentang ini sebelumnya; terlalu bahagia, terlalu menikmati momen kebersamaan yang begitu hangat, terlalu jatuh cinta.
Maka ketika hari itu benar-benar datang, ketika akhirnya bom milik Seokjin meledak lebih dulu, Taehyung merasa ditampar telak. Semua terjadi cepat, hubungan indah selama lima tahun seolah hanya imajinasi yang berjalan jauh di bawah alam sadar. Ketika Taehyung menyadarinya, ia tahu ia bukan terlambat—tidak di saat menghindari realita adalah hal yang mustahil untuk dilakukan.
Kenyataannya, lima tahun adalah waktu yang lama. Jenuh adalah hal yang wajar, tapi pasangan sejati pasti menemukan jalan keluar untuk mengakalinya. Taehyung selalu berpikir bahwa Seokjin adalah orang itu; pasangan sejati tempatnya bersanding hingga mereka tua kelak, hidup di rumah kecil jauh dari hiruk-pikuk kota besar, mengadopsi tiga atau empat anak anjing berbagai ras, lalu menunggu ajal datang sambil menyeruput teh hangat dan tertawa mengenang masa muda.
Semua orang selalu mengaku cemburu melihat harmonisnya hubungan mereka. Mereka melengkapi satu sama lain dengan tepat, baik dari visual bahkan hingga sifat. Tidak ada rahasia, protektif sewajarnya, saling mendukung juga pengertian. Teman Seokjin juga menjadi temannya, begitu pula sebaliknya. Taehyung tidak tahu apa yang salah kecuali mereka terlalu menggebu-gebu sejak awal, menunjukkan cinta layaknya hari esok takkan datang.
Tapi apakah itu (menggebu-gebu, mencinta layaknya esok kiamat datang) adalah hal yang salah untuk dilakukan? Bukankah memang seperti itu hubungan yang sehat berjalan?
Tidak ada yang salah. Taehyung memiliki terlalu banyak cinta, sedangkan Seokjin juga demikian—sama besarnya, hanya saja tidak sebanyak yang Taehyung punya. Setelah lima tahun, Taehyung masih memiliki begitu banyak yang ingin ia tunjukkan, namun Seokjin telah kehabisan alasan untuk bertahan. Tidak ada lagi cinta yang tersisa, semua telah lenyap seiring waktu menciptakan jurang.
Berbaring di atas tempat tidurnya, Taehyung meraba sisi kanan ranjang yang telah tak berpenghuni satu tahun lamanya. Bantal di sana pasti sudah berdebu jika ia tidak rutin mengganti sarungnya. Seprainya terasa dingin, terlalu rapi hingga membuatnya merasa sepi. Boneka favorit milik Seokjin masih berada di atas nakas, bersandar pada lampu duduk dan tersenyum ramah.
“Tuanmu bahkan tidak ikut membawamu pergi,” ia berbisik lemah. “Apakah kau ditinggalkan supaya aku tidak merasa sendiri?”
Konyol, benaknya memaki bengis. Boneka itu ditinggalkan agar dia dapat menghapus eksistensimu sepenuhnya, tanpa satu pun benda yang dapat memicu nostalgia.
Taehyung benci alkohol. Ia benci semua yang terasa pahit di lidahnya, tapi malam ini ia berbaring dengan satu tangan menggenggam botol soju yang kelima. Di hari-hari tertentu, terutama ketika tengah seorang diri tanpa kawan menemani, Taehyung merasa begitu sendiri. Dan rindu setengah mati.
Bahkan alkohol tidak dapat berpengaruh banyak; satu-satunya alasan ia tetap menegak minuman itu adalah agar dapat merasakan rasa sakit semakin menjadi, sesak dua kali lipat lebih menguasai. Ia tidak bisa lupa.
Sekeras apapun usahanya untuk menghapus kehadiran Seokjin dalam benaknya, laki-laki itu menolak untuk pergi dan selalu membayangi tanpa henti. Jadi Taehyung menyerah—pada hari-hari di mana ia merasa begitu terpuruk, ia akan membiarkan dirinya direngkuh kenangan alih-alih kabur dan berusaha memalsukannya dengan bersenang-senang.
Seokjin sudah memutuskan pergi dan menegaskan tidak akan mencarinya untuk kembali. Taehyung menerima fakta itu, namun bukan berarti ia sanggup. Lebih dari sering ia akan membuka galeri dan memandangi foto-foto lama di mana mereka terlihat begitu bahagia, sesekali ia akan menggunakan sweter couple yang mereka beli bersama agar dapat tidur dengan tenang. Taehyung merasa dirinya hancur dan kepingannya takkan pernah kembali utuh.
Lalu pada malam tertentu, ia akan mabuk dan menangis hingga tertidur. Menyalahkan diri sendiri, menyesal, berandai jika, kalau saja, bagaimana apabila—
Cinta tidak pernah cukup, tapi hubungan mereka selalu lebih dari itu. Seokjin jugalah sahabatnya, seorang kakak, idola, suporter nomor satu, teman merumpi bahkan berdebat. Seokjin adalah satu sosok yang berperan ganda dalam hidupnya dan ia terpaksa kehilangan semua itu dalam satu malam. Taehyung tidak akan pernah siap meski ia telah melihat bahwa hari itu, hari di mana mereka benar-benar akan berpisah dan mengambil jalan masing-masing, cepat atau lambat akan segera datang.
Lampu kamarnya telah dimatikan sejak ia meninggalkan ruang tengah dan menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Jejak air mata di wajahnya telah kering, kembali basah, lalu kering, kemudian basah lagi. Sudah dua belas bulan ia merasa begitu berantakan dan jalan keluar tidak kunjung menunjukkan batang hidung di depannya.
Taehyung masih dan mungkin akan selalu membayangkan wajah Seokjin ketika matanya terpejam, bahkan pada siang terik ketika harinya berjalan sibuk dan penuh tuntutan. Tidak adil bagaimana ia menjadi pihak yang ditinggalkan dan masih harus menderita lebih lama.
Apa yang sedang kau lakukan sekarang?
Seokjin melirik Taehyung yang tengah memainkan nasi di mangkuknya, terlihat terganggu dan tidak nafsu makan. Ia juga merasakan hal yang sama, namun berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap natural agar suasana tidak menjadi lebih canggung daripada sekarang. Sudah dua minggu sejak ia merasakan ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Ada yang hilang dan Seokjin tahu dengan pasti apa yang perlahan beranjak dari dalam hatinya.
Hubungan mereka berjalan normal. Normal adalah hal yang luar biasa, Seokjin tidak akan menyebutnya membosankan. Tapi ia mulai merasakan samarnya antusias menyambut Taehyung pulang, hampanya pelukan ketika Taehyung merengkuhnya dan mengucapkan “selamat datang kembali”, hangatnya sentuhan yang dahulu selalu membuatnya sulit untuk melepaskan diri. Semua datang begitu mendadak, terburu-buru dan sayangnya tidak dapat dicegah. Seokjin telah melakukan segala hal yang ia bisa untuk menepisnya.
Tatapan Taehyung tidak lagi membuatnya merasa seperti orang paling beruntung di dunia, senyum Taehyung tidak lagi menular, komunikasi mereka terasa layaknya formalitas. Seokjin tahu Taehyung menyadarinya dan juga berusaha keras, bersikap lebih perhatian hingga meluangkan waktu lebih banyak. Tapi penyakit ini kronis dan tidak dapat dihindari—semakin berusaha justru semakin cepat menguasai.
Ketika Seokjin sadar, ia lebih memilih menghabiskan malam sendiri atau bersama teman-temannya daripada berada di dalam rengkuhan kekasihnya. Ia merasa lega ketika Taehyung tidak menghubunginya, bahkan kadang terganggu tiap teringat harus mengabari Taehyung agar tidak menimbulkan khawatir juga curiga. Tiba-tiba segala hal tentang Taehyung membuatnya merasa tidak nyaman. Taehyung masih kekasihnya, sosok yang ia sayangi sepenuh hati dan ia doakan tiap hari kebahagiaannya—tapi semua sudah berbeda.
Perasaannya telah berubah.
“Kau bosan? Jenuh? Tertarik dengan orang baru?” tanya Taehyung seraya menatapnya lurus, sendu dan terlihat begitu hancur. Seokjin ingin berdiri dan mendekapnya namun ia tahu hal itu akan membuat semua ini lebih rumit. Otaknya bekerja keras untuk mencari tahu apa yang harus ia lakukan, mereka lakukan, bagaimana cara mengembalikan segalanya pada sedia kala.
Jika Seokjin dapat memilih, ia ingin mencintai Taehyung selamanya. Ia tidak dapat membayangkan adanya seseorang yang lebih luar biasa daripada Taehyung; tidak mungkin ada orang yang dapat mengerti dirinya lebih baik daripada lelaki itu. Sayangnya hatinya menolak dan tidak memberi ampun.
Ia menggelengkan kepala, lalu kembali menegaskan dengan berkata, “Tidak.”
“Lalu apa?”
Kejujuran adalah kunci dari keberhasilan sebuah hubungan. Mereka memiliki paham yang sama untuk masalah ini. Seokjin berdeham, menahan sesak di dalam dada dan menyiapkan diri untuk melihat reaksi Taehyung yang dipastikan akan menyebabkannya merasa begitu bersalah. Kebohongan hanya akan berakibat fatal, ia berusaha mengingatkan diri sendiri.
“Aku hanya… tidak lagi mencintaimu, kurasa.”
Taehyung menghembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan ketika menunggu jawaban. Seluruh tubuhnya terasa lemas, matanya begitu panas dan dipastikan memerah menahan jatuhnya air mata. Ia merasa begitu sulit menemukan suaranya.
Sebagian dari diri Seokjin remuk melihat Taehyung begitu rapuh. Ia memaki diri sendiri tanpa henti; tidak pernah sekali pun terbayang dalam benaknya akan muncul hari di mana ia akan menjadi alasan di balik kesedihan Taehyung. Sorot mata adalah yang paling jujur dan di depannya, ia dapat melihat mata Taehyung menyiratkan permohonan, harapan, juga tekad yang kuat.
“Tapi kau akan bertahan?”
Menggigit bagian dalam bibirnya, Seokjin membalas tatapan Taehyung dengan harapan kekasihnya mengerti bahwa ia juga tidak menginginkan ini terjadi. Jika perasaan adalah sesuatu yang dapat diatur atau dimodifikasi, ia pasti akan memilih Taehyung berkali-kali. Sayangnya cinta adalah reaksi dan Seokjin tidak memiliki kuasa untuk mengambil alih.
“Untuk sekarang,” jawabnya lemah. Tangisnya pecah sejurus kemudian, diikuti Taehyung yang dengan besar hati menghampirinya. Mengecup puncak kepalanya dan berbisik berusaha menenangkan. Seokjin tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ketika sebuah hubungan mulai retak, bukan hanya yang masih mencinta yang merasakan duka.
Sebuah hubungan terjalin dengan kehadiran dan usaha dari dua orang. Wajar jika yang merasakan luka adalah keduanya, bukan hanya salah satunya.
❋
Are you all dressed up but with nowhere to go?
Are your tears falling down when the lights are low?
Do you hate the weekend ’cause nobody’s calling?
I’ve still got so much love hidden beneath this skin
❋
Taehyung telah siap dengan kemejanya ketika Jimin membatalkan janji hang out mereka dikarenakan pekerjaan mendadak. Ia tidak ambil hati, pekerjaan adalah nomor satu bagi orang-orang metropolis seperti mereka. Setelah mengetik pesan singkat berisi balasan yang mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan mengundur janji ke minggu depan, ia melempar handphone ke atas sofa.
Pakaian rapi yang ia gunakan kini menjadi percuma. Dulu Seokjin selalu ada untuk menampungnya tiap ia merasa bosan atau batal keluar dengan teman-temannya, tapi sekarang ia tidak lagi memiliki sosok yang akan menyambutnya dengan kedua tangan terbuka lebar. Taehyung melepaskan dua kancing teratas kemejanya, lalu menghempaskan tubuh ke atas sofa dan menyalakan televisi untuk mencari hiburan.
Dan tentu saja. Tentu saja hal pertama yang layar televisi tunjukkan adalah wajah Seokjin pada sebuah iklan produk minuman yang tengah naik daun di kalangan remaja hingga dewasa muda. Taehyung menekan tombol apapun di remote untuk mengganti saluran, lalu menyesalinya dan kembali pada saluran sebelumnya karena satu-satunya cara untuk melihat Seokjin sekarang hanyalah melalui televisi atau media sosial.
Seokjin terlihat setampan ketika mereka dulu bersama, bahkan lebih. Senyumnya manis dan matanya menyipit menggemaskan ketika tertawa. Taehyung dapat merasakan sesuatu meremas jantungnya kuat. Ia bahkan tidak dapat berkedip setelah iklan yang menampilkan Seokjin berlalu begitu saja.
Setidaknya Seokjin terlihat bahagia—meski itu mungkin dikarenakan tuntutan iklan, bukan dari dasar hatinya. Seokjin bukanlah seseorang yang mudah ditebak, Taehyung bahkan membutuhkan beberapa tahun untuk dapat memahami isi hati Seokjin dan menyadari gestur terselubungnya. Sekarang ia kembali pada fase lama di mana ekspresi Seokjin adalah enigma yang tidak dapat ia pecahkan.
Satu tahun terasa sangat lama, bagaimana bisa lima tahun berjalan begitu cepat?
Rasanya baru kemarin Seokjin berlalu-lalang di dapurnya, meminta bantuannya untuk memilih tawaran iklan, bertengkar dikarenakan mendukung tim sepak bola yang berbeda. Satu hari mereka bergulung di balik selimut yang sama, berdekapan dan mencari kehangatan dari satu sama lain sambil mencuri satu-dua ciuman singkat. Satu hari lain Seokjin merapikan seluruh barangnya yang tersebar di penjuru apartemen Taehyung, menyisakan boneka yang mereka dapatkan dari game arcade setelah menghabiskan uang lebih banyak daripada jika langsung membelinya ke toko boneka.
Taehyung ingat hari di mana Seokjin berkata jujur bahwa mantan kekasinya itu tidak lagi merasa sama. Perasaan berbunga-bunga dalam hatinya perlahan hilang dan menyisakan hampa. Cinta yang tersisa bukanlah sebagai pasangan, melainkan sebagai bentuk peduli akan teman lama. Taehyung ingat Seokjin meminta maaf, mengatakan bahwa ia telah berusaha agar segalanya kembali seperti bagaimana mereka pertama jumpa. Cengiran jahil dan mata yang tidak dapat beralih dari satu sama lainnya.
Kesibukan tidak pernah menjadi masalah di antara mereka. Seokjin selalu memastikan jadwalnya tidak padat di akhir pekan dan Taehyung selalu menyelesaikan pekerjaannya sebelum deadline agar tidak mengganggu jadwal kencan. Sampai sekarang pun ia tidak tahu di mana letak kesalahan mereka.
Seokjin tidak bersalah karena ia tidak memilih untuk membohongi diri sendiri dan Taehyung tidak bersalah karena memiliki terlalu banyak cinta untuk seseorang yang memiliki masa kedaluwarsa lebih awal. Namun kadang Taehyung tidak dapat menahan diri untuk menyesal.
Menyesali apa, ia tidak benar-benar tahu jawabannya. Mereka melewati masa-masa indah yang selamanya tidak dapat tergantikan. Mereka juga berusaha memperbaiki hubungan yang sudah retak walau berakhir gagal. Seharusnya tidak ada penyesalan. Tidak ada andai dan apabila. Mereka telah memberikan segalanya untuk satu sama lain, bersih dan tanpa sisa.
Seandainya Seokjin memiliki sedikit saja lebih banyak cinta. Seandainya Taehyung menyadari lebih cepat saat di mana Seokjin mulai kehilangan tempat untuk berpijak di hubungan mereka.
Ia meraih handphone dan membuka kontak, mencari nama Seokjin dan memandanginya dalam diam. Mereka berjanji untuk tidak menghubungi satu sama lain, memberikan ruang untuk berbenah diri hingga pulih. Tidak pernah sekali pun salah satu dari mereka melanggar janji itu; sejujurnya, Taehyung merasa begitu tersiksa. Seribu kali ia memandangi nomor Seokjin dan berharap memiliki keberanian menghubunginya untuk sekedar bertanya apa kabar. Ia hanya tidak ingin Seokjin merasa kecewa karena ia melanggar janji mereka.
Pada akhir pekan seperti sekarang, Taehyung selalu merasa membutuhkan Seokjin daripada hari-hari lainnya. Akhir pekan adalah waktu mereka. Dulu, akhir pekan adalah hari-hari di mana mereka dapat menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan. Dulu, Jumat malam adalah waktu di mana Seokjin menghubunginya dan bertanya di apartemen siapa mereka akan mengurung diri berdua.
Di hari-hari kerja, mereka akan bertukar pesan dan memberi kabar tentang keseharian satu sama lain. Kadang mengeluh, menggosipi teman di waktu istirahat makan siang, bertelepon singkat untuk bercanda hangat. Belahan jiwa tidak terdengar norak bagi Taehyung karena ia merasakannya—Seokjin adalah separuh dirinya dan kini ia kehilangan bagian itu di saat Seokjin menutup pintu apartemennya rapat, tidak sekali pun menolehkan kepala.
Apa yang terjadi jika ia bersikap egois dan tidak mengizinkan Seokjin meninggalkannya? Apakah mereka akan kembali bahagia? Apakah cinta dapat kembali tumbuh di dalam hati Seokjin? Karena Taehyung tidak dapat memikirkan kemungkinan yang lebih buruk dari apa yang ia rasakan sekarang.
Ia tidak akan pernah bisa membenci Seokjin, tapi Taehyung terlalu lelah untuk terus mencinta seorang diri. Orang bilang hanya terdapat garis tipis di antara cinta dan benci, tapi kenapa ia tidak pernah berhasil melewati garis itu dan mengobati hatinya di balik kata benci?
Apakah kau bahagia tanpaku? Taehyung tersenyum miris. Omong-omong, aku sama sekali tidak. Aku masih dan akan selalu berantakan.
“Apakah kau tidak lelah?”
Taehyung tidak terlihat terkejut dengan pertanyaan itu, tidak pula berpura-pura lugu dengan sok tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Seokjin dapat melihat kekasihnya tersenyum sedih, menolak untuk menatap matanya seraya berbisik, “Aku lelah.”
Mereka kembali duduk berhadapan di meja makan, piring kotor terabaikan di atas meja tanpa ada niat untuk segera memindahkannya ke dalam dapur. Seokjin tidak tahu bagaimana cara untuk bertanya ringan, ia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan dari percakapan mereka. Tenggorokannya tercekat dan jantungnya berdetak begitu lambat, berusaha menyiksanya lebih kejam seolah ia pantas mendapatkannya.
Seokjin ingin membela diri bahwa ia tidak seharusnya merasa bersalah atau mendapatkan hukuman. Ia tidak menginginkan ini. Ia jugalah korban karena tidak memiliki pilihan yang berujung pada kebahagiaan dua pihak. Demi Tuhan ia ingin mereka terus bersama, tapi Seokjin tidak sanggup harus berpura-pura—terutama di depan Taehyung, orang yang selalu menjadi pendukung nomor satu akan seluruh pilihan hidupnya.
Taehyung pantas mendapatkan yang lebih baik daripada kasih sayang palsu dan kebohongan manis. Seokjin tidak mau berakting dengan berdalih bahwa ia melakukannya dengan maksud baik. Kebohongan adalah kebohongan. Tidak pernah ada yang berujung pada kebaikan dari satu hal yang salah untuk dilakukan.
“Lalu kenapa?”
Kenapa kau tidak meninggalkanku? Kenapa kau tidak menyudahi hubungan ini lebih dulu? Kenapa kau masih menemuiku?
“Lebih daripada lelah,” tangan Taehyung bergerak menumpuk piring dan mangkuk di atas meja. Ia tidak beranjak pergi setelahnya, hanya memandangi tumpukan yang ia ciptakan dan sedikit bergetar di tempat duduknya ketika melanjutkan, “Aku jauh lebih takut tidak lagi bersamamu.”
Ucapan Taehyung terdengar penuh rasa takut dan putus asa. Seokjin hanya dapat menelan rasa sakit yang mendera tanpa ampun, kecewa pada diri sendiri karena menjadi alasan utama dari gagalnya sebuah hubungan yang seharusnya dapat disebut sempurna.
Ia memang tidak dapat mengontrol perasaannya sendiri, namun bukan berarti ia adalah protagonis dalam kehidupan Taehyung. Ia tidak lagi bisa menjadi alasan Taehyung tertawa, malah kini menjadi latar belakang Taehyung terlihat begitu pucat juga bermata sembab.
“Aku akan melakukan apapun. Tapi tolong jangan pergi.”
Seokjin tidak sanggup mengiyakan.
“Tae, kita tidak bisa—sudah tidak bisa. Aku tidak mau menyakitimu lebih banyak.”
Suara Taehyung terdengar menuduh. “Menyakitiku,” matanya menyiratkan luka dan mendorong Seokjin membuang wajah. “Atau menyakiti dirimu sendiri?”
Tidak adil. Seokjin ingin berseru bahwa ia tidak butuh Taehyung menyudutkannya seperti ini. Semua orang melihatnya sebagai penjahat. Semua orang menganggapnya salah di saat ia bingung dan kehilangan arah. Seokjin tahu Taehyung sedikit-banyak lebih menderita, namun ia tidak berada dalam posisi lebih baik bahkan terpuruk sama dalamnya.
“Aku jelas-jelas mengatakan lebih baik bersamamu meskipun hubungan kita seperti ini,” Taehyung melanjutkan sebelum mengangkat piring ke bak wastafel yang masih berada dalam jangkauan pandang kekasihnya. Calon mantan kekasihnya.
Seokjin memberanikan diri menjawab, mengabaikan perasaan kompleks yang kini merundunginya tanpa lelah. “Menyakiti kita.”
“Jangan sebut kita ketika dalam kamusmu sekarang hanya ada kau dan aku.”
Ketika malam itu Taehyung menemukan Seokjin berdiri di beranda apartemennya, sebuah selimut tipis merengkuh kedua pundak, ia memeluk sosok satu senti lebih tinggi itu dari belakang. Tubuh Seokjin melompat kecil karena tidak menyadari kehadirannya lebih cepat, namun sepersekian detik kemudian menyamankan punggungnya pada dada bidang Taehyung dan menghela napas.
Taehyung berpura-pura tidak menyadari bahwa sebelumnya Seokjin tengah menangis dalam diam—bukan tangis sesenggukan, melainkan tangis di mana air mata jatuh sesekali dengan jeda lama di antaranya, tubuh sedikit bergetar dan tangan enggan mengusap wajah. Ia menarik selimut yang Seokjin sampirkan pada pundak, membiarkan kain lembut itu jatuh ke atas lantai tanpa niat untuk mengambil dan meletakkan di atas meja. Wajahnya ia benamkan pada perpotongan leher kekasihnya, lalu menghirup napas dalam di sana, menyadari tindakannya menyebabkan bulu tengkuk Seokjin meremang.
“Aku minta maaf,” bisiknya seraya memberi kecupan lembab berulang kali, rengkuhan posesif kedua tangannya yang melingkar pada pinggang Seokjin semakin mengerat pasti. “Aku tidak bermaksud membuatmu sedih.”
Seokjin menggelengkan kepala kecil, memejamkan mata dan membalas, “Jangan minta maaf,” suaranya terdengar terlampau serak hingga Taehyung merasa hatinya ditusuk oleh benda tumpul sekuat tenaga. “Aku yang minta maaf, Tae. Aku tidak—“
Percakapan ini tidak akan berdampak apapun kecuali rasa sakit bagi kedua pihak. Taehyung menyadarinya, memutuskan untuk memotong kalimat Seokjin dengan memutar tubuh yang lebih tua, menyatukan bibir mereka dan memaksa Seokjin untuk menelan apapun yang hendak laki-laki itu katakan. Satu tangannya menahan bagian belakang kepala Seokjin, tangan lainnya masih melingkar pada pinggang ramping yang selalu ia puja.
Bibir Seokjin terasa dingin, mungkin dikarenakan terlalu lama berdiri di balkon hanya menggunakan piyama dan selimut tipis. Taehyung tetap menyukainya; ia telah sejak lama memutuskan jatuh cinta pada seluruh yang Seokjin miliki. Ciuman mereka bergerak lambat, seolah berusaha mengecap seluruh yang tersisa pada satu sama lain. Seolah mereka tahu ini adalah terakhir.
Kaos yang Taehyung gunakan menjadi alat di mana Seokjin bertumpu, mencengkramnya tegas namun tidak terlampau kuat. Bibir mereka menari di atas mulut satu sama lain, mata terpejam, bunyi khas kecupan mengudara layaknya melodi. Tangan Taehyung turun untuk meraba punggung kekasihnya, memberi usapan yang perlahan berubah menjadi belaian. Ia dapat merasakan Seokjin menarik napas tertahan, memanfaatkan momen itu sebagai isyarat untuk menuntun mereka masuk ke dalam ruangan.
Taehyung berjalan mundur, tubuh masih tidak menyisakan celah, bibir saling melumat tanpa niat melepaskan—kakinya berusaha mencari tempat berpijak untuk melangkah menuju tempat tidur. Satu tangannya yang bebas ia gunakan untuk membuka kenop pintu kamar, mendorong pelan tubuh Seokjin hingga jatuh berbaring di atas ranjang. Tidak ada desakan urgensi, nafsu menggebu, ataupun tatapan lapar. Ia menyentuh seluruh bagian tubuh Seokjin seolah takut sosok yang berada di hadapannya adalah imajinasi belaka.
Bertumpu dengan kedua tangan di atas tubuh Seokjin, Taehyung melepaskan pagutan mereka dan mengecup telinga yang telah memerah di bawahnya. “Seokjin,” panggilnya lemah. “Aku cinta kau.”
Piyama satin yang Seokjin gunakan kini tak lagi terkancing rapat, memamerkan kulit putih dan lekuk tubuhnya secara transparan. Taehyung memberi kecupan sepanjang leher Seokjin, pada pundak, tulang selangka, terus turun hingga dada dan berhenti pada perut rata. Ia mengangkat wajah ketika Seokjin menggenggam pergelangan tangannya, mendapati sepasang mata memandanginya penuh kasih sayang, juga kesedihan di saat bersamaan.
Tapi bukan lagi cinta yang sama, Taehyung tidak dapat menahan pikirannya. Bukan lagi kasih seperti yang kurasakan.
“Taehyung, kita tidak seharusnya melakukan—“
Sekali lagi, ia tidak membiarkan Seokjin menggunakan mulutnya untuk bersuara selain menyebut namanya. Taehyung kembali menabrakkan bibirnya dengan milik yang lebih tua, kali ini membiarkan lidah ikut bekerja. Jemari Seokjin meremas surainya pelan, terdapat rasa asin di sela ciuman mereka. Seokjin kembali menangis dan Taehyung tidak dapat benar-benar melakukan apapun selain menelan pedih bersama.
Ia mengecup kedua kelopak mata Seokjin, berusaha menghentikan air mata yang menolak berhenti mengalir. Seokjin memanggil namanya dan Taehyung mengambil isyarat itu sebagai bentuk izin. Jarinya perlahan masuk ke dalam tubuh Seokjin, mengambil waktu hingga lelaki di bawahnya merasa nyaman, menambah jumlah dan bergerak menyerupai gunting sambil sesekali menekan dalam.
Bibirnya menyentuh seluruh tubuh Seokjin bergantian, mengungkapkan perasaan di dalam dada yang tidak cukup jika ditafsirkan hanya melalui kata-kata. Desahan Seokjin menjadi lagu yang menemani kegiatan mereka, suara kasur mulai mengikuti setelah Taehyung berhasil melesakkan miliknya ke dalam. Ia kembali menemukan bibir Seokjin sebelum bergerak berirama—tidak cepat, tidak cukup kuat dan tidak pula cukup dalam. Taehyung ingin menunjukkan bahwa ia tengah mencinta, bahwa Seokjin adalah sosok yang selalu ia jaga dan bukan ia gunakan.
Perbedaan dari seks dan bercinta bagi Taehyung adalah pikiran yang tidak berkabut tebal, hati mengalahkan gairah, nyaman diutamakan alih-alih kenikmatan sesaat; ia tidak terlalu mengerti bagaimana cara menjelaskannya, tapi Taehyung mendapati Seokjin terlihat begitu indah di bawah jemarinya, sudut mata basah, mulut terus menyebut namanya layaknya doa. Seks yang mereka lakukan kali ini jauh lebih intim dari semua pengalaman ranjang yang pernah mereka lalui bersama, dan Taehyung hanya dapat memikirkan seberapa besar ia mencinta walau gagal menemukan jawaban.
“Taehyung, Taehyung, Tae—“
Ia menggeram pelan, mengecup dahi Seokjin dan membisikkan nama kekasihnya sambil melesakkan tubuh lebih dalam. Seokjin mencengkram pundaknya, setengah matanya terbuka untuk menatap Taehyung yang langsung menghujani dengan kecupan. “Seokjin,” suaranya terdengar rendah. “Seokjin…”
Seokjin mendorong tubuhnya ikut bergerak agar dapat menyesuaikan, keringat mengalir pada pelipis wajah, kedua pipi merona hebat. Taehyung ingin merekamnya di dalam pikiran, tidak pernah bosan walau ia telah kehabisan jari untuk menghitung berapa kali mereka berada di situasi yang sama.
Walau kali ini, hanya satu orang di antara dua yang melakukannya atas dasar perasaan.
Telapak tangannya yang lebar menangkup satu sisi wajah kekasihnya, tindakan yang menyebabkan Seokjin memejamkan mata bersama dengan napas yang semakin tak beraturan. Seokjin tidak pernah berhenti menangis meski air mata tidak lagi terlihat di wajahnya—menyadarkan Taehyung bahwa mungkin di antara mereka memang hanya satu yang masih mencinta, namun bukan berarti ketulusan telah hilang dari laki-laki di hadapannya.
Suara hujan yang menyusul di luar jendela tidak berhasil meredam ragam emosi yang keduanya rasakan, tapi Taehyung memutuskan untuk pasrah dan membiarkan Seokjin kembali menyatukan bibir mereka.
❋
When the lights come up and there’s no shadows dancing
I look around as my heart is collapsing
‘Cause you’re the only one I need
❋
Ketika hubungan mereka masih berumur satu-dua tahun, Taehyung dan Seokjin memiliki waktu lebih banyak dan kebebasan untuk berjalan di tengah kota tanpa gangguan. Tawaran iklan Seokjin belum cukup banyak pada saat itu, wajahnya belum tersebar di seluruh billboard negara. Taehyung juga belum menjadi orang penting di kantornya—masa-masa itu adalah yang paling membekas.
Memesan take out adalah pilihan terakhir ketika mereka kehabisan opsi dan hanya ingin bermalas-malasan. Menjelajahi tiap café dan restoran selalu menjadi pilihan utama, berseteru tentang selera makanan yang berbeda lalu saling meminta maaf dengan makanan manis sebagai unjuk damai perang kekanakkan. Taehyung akan memilih rasa stroberi kebanggaannya, Seokjin akan memilih cokelat. Kemudian mereka akan kembali berdebat tentang preferensi yang berbeda.
Taehyung pikir lucu bagaimana mereka sering kali mengatai satu sama lain tapi tidak pernah ambil hati, tangan tetap bertautan dan senyum konyol menghiasi wajah. Kecupan lugu dan rangkulan posesif karena ingin memerkan kebersamaan.
Meski selera makan cenderung berbeda, untung saja tempat makan favorit mereka masih sama. Restoran berjarak cukup dekat dari apartemen Seokjin selalu menjadi pilihan mereka ketika sudah bingung ingin mencoba café baru mana yang sedang beken di kalangan anak muda.
Hari ini Taehyung mendatangi restoran itu seorang diri, duduk di dekat kaca jendela dan memesan makanan yang sama dengan yang selalu ia pesan ketika datang bersama Seokjin. Ini pertama kali ia kembali ke sana, belakangan ini perasaannya untuk Seokjin membuncah tanpa satu pun distraksi dapat menenangkan. Ia memilih pasrah dan menerima kenyataan bahwa tidak seharusnya ia menghindar. Menghindar hanya akan membawanya semakin nelangsa.
Rasa makanan yang ia pesan masih selezat dulu dan Taehyung kembali ingin menangis teringat betapa banyak hal yang tetap berjalan sama. Betapa banyak hal yang stagnan dan tidak berubah, sedangkan ia harus menderita karena perubahan mendadak yang tidak pernah memberinya waktu untuk menyiapkan diri agar tidak merasa terlalu tak berdaya. Jalanan kota sibuk seperti biasa, parfum ruangan restoran masih berbau kayu manis bercampur almond, bahkan penataan meja sama sekali tidak berpindah.
Kenapa harus hidupnya yang berubah?
Kursi di seberangnya kini tak berpenghuni. Tidak lagi ada suara tawa unik milik Seokjin, tidak ada sayur yang dipindahkan ke atas piringnya, tidak ada tangan yang saling meraih milik satu sama lain di atas meja. Taehyung menyesal mendatangi tempat ini dengan dalih menolak untuk menghindar—ia melindungi diri, ia menjaga perasaan sendiri. Apanya yang menghindar? Ia sengaja datang ke sini dan berharap akan merasa sakit yang lebih. Apapun untuk menyamarkan hampa yang menggerogoti.
Bentuk terburuk patah hati adalah perasaan kosong, bukan perih itu sendiri. Taehyung lebih takut mati rasa, merasa salah tempat karena entah bagaimana semua hanya tidak terasa tepat. Rasa sakit adalah bukti bahwa ia masih hidup, masih menjalani hari meski tanpa Seokjin dan mungkin selamanya harus terbiasa bertahan sendiri. Ia tidak ingin membiarkan dirinya merasa hampa seperti kursi kosong di seberang meja.
Menelepon temannya dan menyampaikan bahwa ia ingin mampir, Taehyung memanggil pelayan untuk meminta bill dan langsung membayar cepat. Ia memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal di atas meja, terburu bangkit lalu menuju pintu utama.
Ketika tengah berjalan tergesa, ia mendadak berhenti melangkah mendapati Seokjin memasuki restoran bersama seseorang. Wajahnya dihiasi senyuman, rambutnya kini berwarna pirang, tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali mereka berjumpa.
Tapi Seokjin terlihat bahagia. Sorot matanya menyiratkan antusias, terutama ketika lelaki di sisinya menepuk kepalanya ringan.
Taehyung tidak tahu harus melakukan apa jika mata mereka berjumpa.
“Taehyung, kau akan selalu spesial bagiku.”
Seokjin berdiri dengan satu tangan mencengkram lengannya sendiri. Ia ingin memeluk Taehyung untuk terakhir kali namun tak sampai hati, terutama mendapati mantan kekasihnya memandanginya dengan tatapan yang meneriakkan jangan pergi.
Tapi Taehyung tidak menahannya. Taehyung tidak mencegahnya, hanya menyentuh lembut wajahnya dan mengecup pipinya cukup lama. Air mata Seokjin jatuh dan ia membiarkan Taehyung menyekanya. Sentuhan terakhir itu pasti akan ia rindukan.
Perpisahan ini benar-benar terjadi.
“Dan kau akan selalu menjadi segalanya, bukan sekedar spesial.”
Seharusnya pertemuan mereka setelah lebih setahun tidak bertegur sapa tidak berjalan seperti ini. Tidak di sebuah restoran yang dulu kerap mereka kunjungi bersama. Tidak dengan kenyataan Taehyung datang seorang diri, sedangkan Seokjin berada dalam rangkulan orang asing.
Taehyung dapat mendengar suara hatinya yang runtuh. Susah payah ia berusaha menenangkan diri, memaksa kakinya untuk tetap tegar dan menopang beban tubuh agar tidak terjatuh memalukan dikarenakan lemas. Ia berusaha mengabaikan segalanya—tubuh bergemetar, rasa sakit, desakan ingin berlari pergi.
Telinganya mendadak tidak dapat mendengar apapun selain detak jantungnya sendiri. Suasana ramai restoran seolah bergerak slow motion di saat Seokjin melangkah menuju di mana ia berdiri.
Menggunakan tangannya yang menganggur, ia mencubit pahanya dan berusaha untuk beranjak pergi. Langkahnya terasa berat, terutama ketika Seokjin semakin dekat. Ia dapat melihat Seokjin menaruh perhatian pada dirinya, sedangkan Taehyung menolak untuk membalasnya dan menatap lurus ke arah pintu keluar. Ia ingin secepatnya kembali ke dalam mobil dan menghapus ingatan hari ini.
Tidak bertemu dengan Seokjin jauh lebih baik daripada melihatnya bersama orang lain.
Ketika mereka berpapasan, Taehyung dapat merasakan tangan mereka bersentuhan. Ia menunduk cepat, lalu menemukan Seokjin menangkap tangannya dan menggenggam erat sebelum melepaskannya begitu saja. Tidak menoleh ke belakang, tidak menyapa atau berbasa-basi bertanya apa kabar.
Sentuhan Seokjin di tangannya menimbulkan rasa kebas. Keringat dingin menyapa tubuhnya dan Taehyung benar-benar merasa membutuhkan bantuan untuk bernapas. Ia meninggalkan restoran dan menuju parkiran, kesulitan mencari tombol pada kunci mobil lalu berakhir duduk bersandar di atas lantai jalanan.
Untuk ke sekian kalinya, Taehyung merana dikarenakan satu orang yang sama. Ia tertawa mengasihani diri sendiri, mencengkram kerah baju, menangis sesenggukan tanpa mengindahkan tatapan prihatin orang berlalu lalang. Takdir bertindak terlalu kejam padanya. Mungkin di kehidupan sebelumnya ia adalah penjahat dengan dosa begitu besar.
Setidaknya salah satu di antara kita bahagia.
❋
You’re the only one I need
Put your love on me
❋
“Aku akan selalu di sini kalau kau berubah pikiran dan ingin kembali.”
“Jangan buang waktumu untuk menungguku,” Seokjin membuka pintu apartemen Taehyung, menolehkan kepala untuk terakhir kali menatap sosok yang menghiasi hidupnya lima tahun belakangan. Ia tidak ingin bersikap egois dengan memberi harapan yang tidak dapat ia janjikan kepastiannya. Taehyung harus terus berjalan maju, entah itu bersama dengan dirinya atau mengambil jalan lain yang berbeda arah.
Menegarkan dirinya, Seokjin berjalan keluar dari ruangan. Lima tahun mereka adalah waktu berharga yang akan terus memiliki tempat khusus di dalam hatinya, takkan tergantikan dan tidak dapat terlupakan—sayangnya tiap perjalanan memiliki akhir yang tidak terelakkan. Ini adalah akhir mereka. Bukan hanya Taehyung, tapi juga Seokjin harus belajar menerima.
“Aku tidak akan kembali.”
Pada saat itu sama sekali tidak terpintas dalam benak Seokjin bahwa Taehyung lah yang tidak akan pernah kembali selamanya; bahkan meski ia berlutut dan memohon, berdoa pada Tuhan agar diberikan satu kesempatan untuk membenarkan segalanya.
Remote televisi yang berada dalam genggaman tangan Seokjin jatuh tepat di atas kakinya, meredam bunyi benturan pada lantai dan menyisakan suara pembawa acara siaran berita memenuhi keheningan ruangan di mana ia berada. Seokjin menatap nanar telapak tangannya yang belum enam jam lalu menyentuh kulit Taehyung setelah sekian lama tak berjumpa; bertanya-tanya mengapa bentuk paling kejam dari perpisahan memutuskan untuk datang di hari yang sama.
Mengabaikan bunyi dering handphone, ia tergopoh meraih kunci mobil dan melesat menuju parkiran.
Tolong jangan. Jangan ini. Aku akan melakukan apapun tapi jangan biarkan ini terjadi.
“Kecelakaan beruntun di pusat kota siang ini menyebabkan kemacetan pada sepanjang jalan akibat banyaknya kendaraan yang terlibat. Beberapa korban mendapatkan luka parah, sedangkan sebagian lain tidak dapat terselamatkan. Korban-korban yang meninggal di tempat teridentifikasi berinisial CJS, KTH—”