Pink Aster

Awalnya, Namjoon benar-benar tidak menyadarinya.

Terdapat beberapa hal tentang Kim Seokjin yang akan selalu Namjoon tanam dalam ingatannya, bukan karena ia melakukannya secara sadar, namun lebih ke arah menghafalnya karena terlalu sering memperhatikan; seperti bagaimana lelaki itu alergi terhadap bawang namun masa bodoh dengan rasa gatal yang menyerang, atau bagaimana terlepas dari sifat tidak enakan yang sulit untuk diabaikan, Seokjin tidak pernah takut menyuarakan pendapat tentang hal-hal yang tak ia suka.

Namjoon juga tidak akan melupakan fakta bahwa dari sedikit hal yang dapat menyinggung Seokjin (“Hidup sudah cukup rumit tanpa kau harus bersikap sensitif,” ucap Seokjin suatu hari ketika ia bertanya mengapa lelaki itu tidak menanggapi sindiran salah satu teman sekelas mereka), penyakit hanahaki adalah salah satu pembahasan yang dapat membuat ekspresinya berubah drastis. Senyum manis di wajahnya akan memudar kurang dari tiga detik, diikuti gestur tak nyaman seolah ingin secepatnya menjauh pergi.

Bukan rahasia bahwa keluarga di mana Seokjin tumbuh menjadi dirinya saat ini tidak dapat disebut harmonis. Kegagalan rumah tangga, khususnya pasangan yang telah terikat janji suci, dapat berupa berbagai bentuk yang sulit dipahami bagi orang-orang yang belum menjalani. Dalam kasus Seokjin, ketidakharmonisan terjadi akibat alasan paling umum yang merupakan akar dari tiap masalah besar di antara dua orang dalam satu hubungan kasih.

Cinta. Jawabannya selalu melibatkan hati dan perasaan.

Pada akhirnya, jawaban dari pertanyaan mengapa penyakit hanahaki adalah topik sensitif bagi sang Kim, tidak lain dikarenakan ibunya yang meninggal dunia akibat cinta tak berbalas dari suami sendiri.

“Kalau begitu…” Pernah satu kali—benar-benar hanya sekali, keajaiban itu takkan terulang lagi—Namjoon berhasil mengambil predikat pemenang ketika ia dan Seokjin memutuskan untuk minum sepulang dari kelas pada hari Senin. Seokjin yang biasanya selalu menjadi pihak yang membantunya memuntahkan isi perut dan mengantar pulang, kala itu justru berakhir mabuk dengan kesadaran melayang tinggi. “Apakah kau tidak akan pernah jatuh cinta?”

Pertanyaan itu terucap begitu saja ketika ia tak lagi sanggup mendengar ocehan Seokjin tentang betapa tidak masuk akal, egois, juga konyolnya perasaan bertajuk lima huruf tersebut. Seokjin tidak menangis di saat ia menceritakan ibunya yang harus pergi dikarenakan masalah hati yang tidak dapat dikompromi. Dengan sepasang kelopak mata yang nyaris mengatup, sorot tajam penuh benci masih tercermin jelas pada iris cokelatnya yang selalu Namjoon kagumi.

“Aku akan jatuh cinta ketika aku jatuh cinta,” jawaban Seokjin malam itu terdengar sendu dan Namjoon menemukan rasa takut terselubung di baliknya. “Hanahaki adalah bedebah, tapi aku cukup waras untuk menyadari bahwa cinta bukanlah pilihan.”

Kalimat yang Seokjin ucapkan selanjutnya adalah awal mula Namjoon menyadari perasaannya yang terpendam lama—sering kali dikesampingkan meski cukup sering dijadikan bahan candaan oleh teman-temannya.

“Aku tidak ingin memiliki takdir yang sama dengan ibuku.”

Terlepas dari dorongan alkohol yang terus menggoda, mati-matian Namjoon menahan mulutnya untuk tak bersuara, “Kau bercanda? Orang yang kau cintai akan menjadi orang yang membuatku iri setengah mati karena dia resmi menjadi sosok paling beruntung di dunia.”

Alih-alih mengungkapkan frustasinya akan pernyataan pesimis Seokjin, ia justru mengatakan, “Tidak ada orang yang akan berhasil tidak mencintaimu setelah mengenalmu. Percaya padaku.”

Seperti aku. Namjoon menelan ludah bersamaan dengan pengakuan yang (mungkin) selamanya akan ia kubur sebagai rahasia hingga ajal. Layaknya terdapat bunyi jentikan jari dalam otaknya, saat itulah ia sepenuhnya tersadar.

 Ini gawat. Aku mencintainya.

Kelopak bunga pertama keluar dari mulutnya dua hari kemudian.

Seminggu setelahnya ia memuntahkan segenggam penuh dan harus meminta izin membatalkan bimbingan, dengan sengaja melewati sebuah toko tumbuhan di perjalanan pulang untuk mengidentifikasi jenis kembang yang kelak akan menjadi alasannya kehilangan nyawa.

Aster. Bunga aster berwarna merah muda.

Di saat cinta seharusnya menjadi apa yang orang-orang sebut anugerah, Namjoon justru merasa telah melakukan sebuah pengkhianatan besar.

Mati akibat penyakit yang menciptakan memori buruk bagi sosok yang dicinta terdengar lebih buruk daripada fakta bahwa ia tak lagi memiliki banyak waktu di dunia.

“Aku? Mengadopsi anjing peliharaanmu? Kenapa?”

Namjoon tidak pernah menjadi pembohong handal. Ketika ia secara tiba-tiba meminta Seokjin untuk mengadopsi anjing peliharaan yang telah menemaninya selama tiga tahun belakangan, ia tahu ia harus mempersiapkan satu kebohongan besar sebagai alasan. Bukan salahnya lidahnya mendadak kelu dan berkhianat.

Tatapan Seokjin disinggahi cemas, juga tuntutan akan sebuah jawaban. “Kau tidak sanggup lagi merawatnya? Atau kau mau pindah ke apartemen yang tidak diizinkan membawa peliharaan?”

Tubuhnya menegang di atas kursi hidrolik perpustakaan. Keringat dingin membasahi tubuhnya di saat kata mati singgah dalam benaknya. Bagaimana cara memberitahu temanmu bahwa umurmu tak lagi panjang?

“Keuanganku agak ketat belakangan ini,” dustanya setengah fakta. Ia tahu Seokjin mengerti kondisi finansialnya sebagai mahasiswa rantau yang menolak untuk terlalu dimanja orang tua. “Setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan tetap, kau bisa mengembalikan Rapmon padaku.”

“Binatang bukan barang yang bisa kau singkirkan dan gunakan kembali berdasarkan kebutuhan,” Seokjin menghela napas, tak lagi menaruh perhatian pada dirinya karena kembali fokus pada layar laptop di atas meja. “Kalau aku mengadopsinya kau tidak boleh mengambilnya kembali.”

Tidak seperti aku memiliki kesempatan untuk melakukannya, ia tersenyum sendu teringat akan wajah menggemaskan satu-satunya peliharaan yang pernah ia miliki seumur hidup. “Kalau begitu artinya aku menyerahkan Rapmon ke tangan yang tepat. Aku tahu kalian akan menjadi teman akrab dalam waktu cepat.”

Seokjin mendengus, kemudian menggumamkan sesuatu yang tak dapat ia tangkap dikarenakan sesak menyerang dalam sekejap. Ia dapat merasakan sesuatu menumpuk dalam dadanya—bagaimana kelopak bunga berusaha untuk memenuhi paru-paru dan mencegahnya untuk menarik napas.

“Hei, Namjoon, kau tidak apa-apa?”

Di sudut perpustakaan universitas yang minim pengunjung akibat akhir pekan, Namjoon dapat melihat Seokjin berdiri dari kursinya, menghampirinya dengan cemas dan berusaha meraih pundaknya untuk memastikan.

Layaknya hidup memiliki selera humor buruk, belum cukup ia tersiksa dengan sakit di dalam dada—baik secara literal maupun tidak—akibat cinta bertepuk sebelah tangan, hanya butuh dua bulan hingga Namjoon menemukan dirinya tertangkap basah memuntahkan kelopak bunga.

Oleh Seokjin, di atas semua orang.

Mereka tidak lantas membicarakannya. Seokjin paham saat di mana seseorang membutuhkan waktu untuk memendam masalah seorang diri sebelum meledak dan berkeluh kesah, juga paham bagaimana perihal sensitif bukanlah sesuatu yang sopan untuk didesak agar segera dibicarakan.

Begitu pun, Namjoon tidak melewati bagaimana lirikan khawatir teman seperbimibingannya itu kerap ia dapatkan pada banyak kesempatan. Seokjin tidak akan mengalihkan pandangan ketika tertangkap basah, justru menunjukkan wajah konyol yang disengaja sebagai bahan hiburan.

Namjoon tidak pernah bertanya-tanya apa yang membuatnya jatuh cinta pada Seokjin dan bukan sosok lain yang lebih banyak berkontribusi dalam perkembangan hidupnya. Seokjin memiliki gayanya sendiri terlepas dari visual ataupun otak cerdas. Cara Seokjin memperhatikan dan menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya, Namjoon mengaguminya.

Cara Seokjin berpura-pura tidak menyadari sesuatu namun menjadi orang pertama yang menawarkan tangan sebagai bantuan, Namjoon selalu takjub dibuatnya.

Seokjin bukan teman pertamanya di kuliah, bukan pula teman yang pertama dicarinya ketika memiliki waktu luang. Laki-laki itu hanyalah teman lain yang ia kenal secara tidak sengaja, yang entah bagaimana selalu ada di tiap sudut Namjoon mengedarkan pandangan. Eksistensi Seokjin menarik perhatiannya seutuhnya; mungkin benar apa yang orang-orang katakan, cinta tidak selalu mengetok pintu sebagai peringatan, justru sering kali datang mendadak; cinta, pada hakikatnya, tidak selalu dilatarbelakangi alasan rasional.

Namun jika seseorang bertanya akan alasannya menaruh hati pada yang beberapa senti lebih pendek, Namjoon dapat memberikan lima puluh alasan dan bahkan lebih. Ia dapat menghabiskan berjam-jam hanya untuk memuji, bersikap bangga layaknya meninggikan diri sendiri dan bukannya orang lain.

Jadi ketika Seokjin mampir ke apartemennya untuk berdiskusi bersama mengenai penelitian untuk skripsi yang mereka kerjakan, masing-masing kaki bersila di atas lantai dengan meja lipat sebagai perantara, Namjoon mengambil kesempatan untuk bertanya, “Apa kau membenciku?”

Tangan Seokjin tidak berhenti mencoret kertas revisi, tidak pula kepalanya terangkat untuk menatap manik lawan bicaranya yang resah menanti jawaban. “Apakah aku memiliki alasan untuk membencimu?”

Banyak. Namjoon ingin menjawab, banyak. Seperti ia yang memiliki banyak alasan akan mengapa ia mencinta, ia dapat memberikan setumpuk alasan akan mengapa Seokjin harus membenci kehadirannya.

Seokjin mengolok eksistensi cinta. Seokjin mengatai hanahaki adalah bedebah. Seokjin mempercayakan Namjoon tentang kisah pahit orang tuanya. Seokjin tidak ingin berada dalam radius lima meter dengan topik pembahasan yang melibatkan penyakitnya.

“Penyakitku membawa kenangan buruk, ‘kan?”

Di luar dugaannya, Seokjin mendengus seolah meremehkan.

“Setauku penyakitmu tidak mengubah fakta bahwa kau adalah Kim Namjoon, salah satu temanku yang paling cerdas dan partnerku dalam penelitian untuk mendapat gelar sarjana,” kali ini ia mengalihkan pandangan dari apapun yang ia tekuni sebelumnya. “Hanahaki memang membawa kenangan buruk untukku, tapi kau tidak.”

Sialan, Namjoon ingin mengumpat. Kenapa kau harus mengatakannya sehangat itu dan membuat semua ini lebih sulit untukku?

“Pada siapa kau jatuh cinta?”

Di saat pertanyaan itu datang, Namjoon tidak tahu apa yang mendorongnya untuk tertawa. Mungkin bentuk prihatin terhadap diri sendiri. Mungkin pula dikarenakan orang yang bertanya membuatnya merasa miris. “Memangnya apa yang akan kau lakukan jika kau tahu siapa orangnya?”

Ia pikir Seokjin akan terdiam, atau setidaknya melontarkan candaan untuk mencairkan suasana yang mulai tak nyaman akibat kekhawatiran dalam. Tapi Seokjin bergeming di tempatnya, memiringkan kepala sebagai gestur bertanya, apa maksudmu? Jawabannya ‘kan sudah jelas?

Lalu layaknya menyatakan hal kasual seperti makanan yang disantap kemarin siang, tidak ada ragu ketika Seokjin memberi jawaban dengan tenang. Terlalu ringan, di saat bersamaan terlalu berbahaya untuk kestabilan jantung Namjoon yang selalu lemah jika berhubungan dengan lelaki di depannya.

“Aku akan meminta orang itu untuk belajar mencintaimu,” katanya tegas tanpa setitik pun isyarat jenaka.

Lama ia terdiam mempertimbangkan keputusan untuk menyimpan rahasia ini lebih lama; tidak ingin menimbulkan luka dan rasa bersalah, takut mendapati ekspresi tak percaya atau malah ditinggalkan karena merasa terbeban. Namjoon adalah juara dalam memendam dan hal terakhir yang ingin ia lakukan di sisa masa hidupnya, tentu melibatkan berbagi rasa sakit pada orang yang dicinta.

Namun tatapan Seokjin terlihat begitu tulus—lurus menabrak iris hitam miliknya dengan sorot peduli yang didukung dorongan lembut. Tidak apa-apa, kau bisa menceritakannya padaku. Aku akan membantumu, kita akan mencari jalan keluar bersama.

Dalam masalah hidup (yang menyangkut mati) Namjoon sekarang, Seokjin adalah jalan keluar. Satu-satunya dan tidak dapat ditawar atau digantikan. Kejam adalah bagaimana penyakit yang ia derita seharusnya meneriakkan ketulusan, namun justru menjeritkan tuntutan.

Jika saja Seokjin lebih peka terhadap perasaan orang-orang di dekatnya, lelaki itu resmi akan mendapatkan titel sempurna. Sayang pada akhirnya manusia takkan pernah luput dari kekurangan, menyebabkan mereka berada di kondisi seperti sekarang. Satu orang terpaksa menyatakan cinta, disandingkan dengan satu orang lain yang terlalu buta akan sekitar.

Meraih tangan Seokjin dan meletakkan telapak tangannya tanpa bermaksud apapun selain menguatkan tekad, Namjoon menahan napas. Jika memang ini satu-satunya kesempatan yang ia punya, jika toh ia akan tetap berakhir meninggalkan dunia, apakah sedikit egois akan membawa masalah?

“Kalau kau serius dengan ucapanmu, tolong belajar mencintaiku.”

Tidak ada yang Seokjin katakan—ekspresi di wajahnya telah menunjukkan semua perasaannya layaknya buku yang terbuka lebar. Seokjin tidak membalas genggaman tangannya, tidak pula menangis dan meminta maaf. Keterkejutan menguasainya dengan telak.

Malam itu Namjoon kembali memuntahkan kelopak bunga. Seokjin menemaninya dengan sabar, membersihkan tiap helai kelopak merah muda tanpa sepatah kata, menggigit bibir sebagai bentuk rasa bersalah ketika menemukan darah.

Namjoon jatuh terlelap akibat lelah bercampur lemas yang menguasai tubuhnya. Pada saat ia membuka mata, Seokjin telah menghilang dari sisinya.

“Lucu,” nada sinis Seokjin menyebabkan Namjoon menolehkan kepala, memperhatikan bagaimana lelaki itu masih berkutat dengan pisau dan buah apel di tangannya. “Bunga aster adalah bunga favoritku.”

Kamar rumah sakit yang dihuninya harusnya berpenghuni dua orang. Di malam keduanya beberapa hari lalu, teman sekamarnya telah dibebaskan untuk pulang dan menyisakannya bersama kesendirian. Seokjin selalu mengunjunginya setiap hari sejak kondisinya semakin parah dan diharuskan untuk menjalani rawat inap—bahkan sejak hari di mana ia secara implisit menyatakan perasaannya, tidak sehari pun pemilik marga sama dengannya itu absen menemani harinya.

Tidak ada kepastian berupa, “Aku akan belajar mencintaimu.” Namjoon tahu Seokjin bukanlah seseorang yang gemar mengumbar janji, melainkan lebih memilih untuk menunjukkan aksi. Tapi Namjoon juga mengerti bahwa seperti apa yang pernah Seokjin katakan, cinta bukanlah suatu hal yang dapat dengan mudah dipilih untuk dilakukan begitu saja.

“Apanya yang lucu?” Ia mengambil sepotong apel yang telah dikupas dengan ceroboh—Namjoon cukup menghargai niat baik di baliknya. “Karena kenyataan bahwa bunga favoritmulah yang akan menjadi alasan napasku berhenti berhembus?”

Kerutan pada dahi Seokjin menunjukkan bahwa ia tidak menyukai bagaimana cara Namjoon mengutarakan pikirannya. Yang lebih tinggi hanya mengangkat bahu ringan, tahu lebih baik dari siapa pun bahwa manusia tidak dapat selalu menyenangkan hati semua orang.

“Kenapa aster?”

Setelah selesai memotong beberapa buah apel dan meletakkan pisau di atas meja, Seokjin kembali duduk di atas kursi pada sebelah ranjang, tersenyum puas menemukan Namjoon mengunyah hasil jerih payahnya setengah jam belakangan.

“Dalam bahasa Latin, aster artinya bintang,” tangan Seokjin meraih satu potong apel dan ikut mengecap rasa manis dari sari buah di dalamnya. “Kurasa aku hanya menyukai filosofi di mana tiap orang harus menjadi bintang dalam kehidupannya sendiri.”

Namjoon tampak berpikir sejenak. “Tidak juga, aku punya argumen untuk itu,” ucapnya sebelum terbatuk akibat nyeri menyerang dada. Kondisinya berangsur memburuk dalam waktu tergolong cepat. Dari segi medis, katanya itu berartikan hanahaki yang ia derita sebenarnya telah menjadi parasit dalam tubuhnya sejak lama—hanya saja baru terpicu belakangan.

Bagi Namjoon, ia merasa bahwa memburuknya kondisinya dipengaruhi oleh cinta yang terus berkembang menggebu menyedihkan tiap hari tanpa dapat dicegah.

Okay, genius boy, simpan argumenmu untuk lain hari. Kurasa sudah waktunya istirahat,” Seokjin mengambil piring berisikan potongan apel yang ia letakkan di atas kasur, lalu menurunkan sandaran agar Namjoon dapat berbaring nyaman. Ia menarikkan selimut dan meminta sang lawan bicara untuk memejamkan mata.

Suara senandung Seokjin yang terdengar di saat lelaki itu membersihkan kekacauan kulit buah-buahan menjadi lullaby bagi Namjoon untuk terlelap. Keringat dingin terasa menjengkelkan di tubuhnya, untung saja keberadaan Seokjin selalu berhasil membuatnya melupakan segala ketidaknyamanan yang mendera.

Bintang dalam hidupku adalah kau,

—argumen itu terlupakan dan tidak pernah sempat ia lontarkan.

Setelah genap enam hari, ia diperbolehkan untuk pulang meski disertai dengan setumpuk obat juga nasihat, “Kau memiliki pilihan. Operasi adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan.”

Seokjin menemani segala prosesnya. Namjoon tidak akan terkejut apabila sesampainya mereka di apartemen nanti, Seokjin akan langsung membahas hal sama. Ia sudah memiliki jawabannya. Ia juga tahu Seokjin telah mengetahui jawabannya tanpa perlu bertanya.

Dalam perjalanan pulang, di kursi belakang taksi yang dipenuhi alunan musik pelan melalui radio lokal, Namjoon kembali berusaha memuaskan rasa penasaran. “Kau bisa meninggalkanku. Kau bisa memilih untuk tidak merepotkan diri. Apa yang membuatmu berada di sini?”

Memandangi jalanan ramai yang untungnya tidak sampai pada tahap menghambat lalu lintas, sebelah sisi wajah Seokjin tampak lebih rupawan berkat bantuan sinar sore matahari yang mampir menghiasi wajahnya. Namjoon mengambil jeda untuk mengagum sesaat, merasakan perih menyadari sesuatu yang berada dalam jangkauan pun tidak selalu dapat dikuasai dalam genggaman.

“Aku peduli padamu. Meski cinta yang kurasakan bukan seperti yang kau rasakan, tapi aku juga mencintaimu,” pernyataan itu seharusnya terdengar melegakan, sayangnya Namjoon justru merasakan matanya memanas. “Aku tidak menyukai ini.”

“Tidak menyukai apa?”

“Kenapa hanahaki hanya menerima bentuk cinta yang merupakan afeksi romansa, bukannya segala bentuk afeksi yang bertajuk kasih sayang? Bukankah pada akhirnya cinta adalah cinta?” Pertanyaan retorik Seokjin tidak membutuhkan jawaban—lebih tepat jika disebut tidak memilikinya. “Benar-benar penyakit yang pilih kasih.”

Namjoon mengambil waktu untuk mengamati sisi rapuh Seokjin yang jarang terpampang jelas, kemudian menghela napas panjang berusaha menghapus rasa bersalah. “Kau sudah hidup cukup lama untuk mengerti bahwa tidak semua hal di dunia ini harus masuk akal.”

Hanahaki. Cinta. Kehidupan. Takdir. Kematian.

Bagian mana yang dapat dimengerti nalar?

“Jangan meminta maaf,” Seokjin berkata seolah dapat merasakan rasa bersalah yang sama; nyatanya mereka selalu berbagi penyesalan juga andai yang setara besarnya, hanya saja dalam kondisi berbeda. Jauh di lubuk hati, keduanya benar-benar paham.

Nyatanya hanahaki tidak hanya melukai satu pihak. Derita dibagi imbang, baik bagi yang mencinta juga bagi yang dicinta. Orang-orang yang tidak memiliki ide bahwa mereka adalah alasan dari direnggutnya nyawa seseorang adalah orang-orang beruntung, atau justru orang-orang yang tidak memiliki perasaan.

“Teh? Atau kopi?” tawar Namjoon sesampainya mereka di tempat ia tinggal selama menjalani masa kuliah. Ia meminta Seokjin untuk duduk alih-alih membantu di dapur, beralasan bahwa ia tidak memiliki kondisi yang membuatnya sulit untuk beraktivitas. Satu-satunya kondisi yang ia miliki adalah bermekarannya bunga di dalam dada.

“Namjoon, boleh aku bertanya?”

“Kau tetap akan bertanya jika aku mengatakan tidak.”

Pernyataan itu tidak benar, namun Namjoon dapat mendengar Seokjin mencibir tanpa berusaha untuk mendebat. “Kenapa kau tidak melakukan operasi?”

Sesuai dugaan. Pertanyaan itu akhirnya datang.

“Risikonya tinggi,” ia mulai menjawab dengan fakta pertama. “Dengan kondisiku, dokter bilang kemungkinan selamat adalah 50:50. Lagipula operasinya mahal.”

Namjoon tahu orang tuanya akan membantu tanpa pikir panjang jika mengetahui kondisinya. Namjoon juga tahu Seokjin tidak akan menanyakan pertanyaan tersebut karena tidak ingin menengar alasan yang sengaja dibuat-buat.

Mereka sama-sama tahu bahwa operasi bukanlah pilihan yang pada akhirnya akan Namjoon pilih sebagai penentu kehidupannya.

Tapi tetap, Seokjin tidak berhenti berusaha untuk meyakinkan. “Aku akan membiayai operasimu.”

Mencuri pandang ke arah Seokjin yang duduk di atas lantai dengan punggung bersandar pada penyanggah tempat tidur, Namjoon tersenyum sendu. “Kenapa? Kau merasa bertanggung jawab karena aku jatuh cinta padamu?”

Tepat sasaran. Hanya kenyataan lain yang sebenarnya tidak perlu disuarakan.

“Lupakan. Aku tahu kau tidak pernah menyukai ide meminta uang dari ayahmu.”

Dengan frustasi kentara, Seokjin mendecak tak terima. “Tapi—”

“Seokjin, aku mencintaimu,” kata-kata itu keluar dengan mudah dari mulutnya. Ia berjalan mendekati Seokjin yang tampak menahan napas, tidak siap mendengar pernyataan yang begitu tiba-tiba. Ia mendudukkan diri di depan si pemilik surai cokelat gelap. “Dan aku mau terus mencintaimu.”

Ketika sepasang mata mereka bertemu dan mencerminkan keras kepala yang tidak akan dimenangkan oleh salah satu pihak, Namjoon harus menahan diri untuk tidak mencium Seokjin saat itu juga—menunjukkan apa yang ia rasakan adalah tulus dan apabila penyesalan beberapa kali mampir dalam benaknya, tidak sekali pun penyesalan itu berupa jatuh cinta pada yang bersangkutan.

Seokjin mengangkat tubuhnya perlahan, lalu mencondongkan wajahnya pada Namjoon yang selama beberapa saat kehilangan kuasa untuk mengontrol sel dalam otaknya. Bahkan jarinya tidak dapat ia gerakkan ketika Seokjin mendaratkan satu kecupan di salah satu pipinya; menjadikan momen dua detik tersebut sebagai pencapaian terbesar yang pernah hidup tawarkan.

“Seharusnya tidak dengan taruhan nyawa,” suara Seokjin terdengar lemah. Apakah berlebihan jika ia menarik lelaki itu ke dalam sebuah pelukan?

“Keberuntunganku tidak terlalu buruk,” ucapnya setelah berhasil mengambil alih kontrol diri yang sempat hilang. Ia meraba bekas kecupan Seokjin pada pipinya dan tersenyum lebar. “God, it’s nice to get a kiss from a handsome guy.”

Gelengan kepala beserta tawa kecil yang sosok itu tawarkan lebih dari cukup untuk membuat Namjoon merasa bahwa ia akan baik-baik saja. “Now I don’t know what to do anymore. You’re helpless.”

“Kenapa para dokter tidak melakukan penelitian untuk menemukan cara bagaimana membuat seseorang jatuh cinta?”

Namjoon mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar pertanyaan itu. “Kau baik-baik saja?”

“Tidak, aku tidak baik-baik saja,” Seokjin menjawab tegas. Wajah lelaki itu tampak lelah, kesal, juga kehabisan akal. “Bukankah itu pekerjaan mereka? Menemukan obat untuk tiap penyakit di dunia?”

Berjalan kaki beriringan di trotoar menuju universitas, Namjoon benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun tahu Seokjin tidak benar-benar bertanya; hanya saja rasa frustasi yang menguasainya tengah mengambil alih akibat putus asa.

“Jatuh cinta tidak bisa diracik di laboratorium,” ia memutuskan untuk mengikuti arah pembicaraan absurd Seokjin dengan harapan dapat membuat sosok di sisinya merasa lebih tenang. Semoga saja jawabannya tidak memperkeruh suasana.

Seokjin menyipitkan mata. “Kau benar.”

Lalu dengan semudah itu, aura buruk di sekitar Seokjin perlahan memudar. Namjoon tersenyum dan kembali terpesona akan kemahiran Seokjin mengontrol diri agar tidak mempengaruhi mood orang sekitar.

“Apakah sesulit itu jatuh cinta padaku?”

Dalam sekejap menghentikan langkah, Namjoon mendapati Seokjin mengamatinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Seharusnya tidak,” respon yang ia dapat menyebabkan bunga-bunga bermekaran dalam dadanya—kali ini konotasi, bukan dalam makna literal. “Aku pun tidak mengerti apa yang membuatku tidak langsung jatuh cinta tepat setelah argumen pertama kita di kelas filsafat.”

Tertawa teringat kejadian itu, Namjoon mendesah ringan. “Ah, berarti kesan yang kutinggalkan padamu saat itu belum cukup membekas. Padahal saat itu kau berhasil membuatku ingin melemparkan buku Sofies verden ke wajahmu.”

Memberi reaksi berlebihan dengan terkesiap kaget, Seokjin menunjukkan jari telunjuk pada diri sendiri seraya berpura-pura tampak terluka. “Ke wajahku? Kim Namjoon, kau nyaris merusak salah satu keajaiban dunia.”

Lelucon Seokjin menyebabkannya terbahak. Mereka kembali berjalan tak lama kemudian, sesekali masih berdebat kecil seputar hal sama. Seokjin selalu handal dalam menghidupkan pembicaraan sederhana.

“Bagaimana denganku?” tanya si pemilik surai cokelat tua setelah bangunan fakultas mereka telah berada di depan mata. “Apakah semudah itu jatuh cinta padaku?”

Namjoon menghela napas, lalu menepuk puncak kepala Seokjin yang langsung merengut akibat tindakannya. Tendensinya untuk menjawab pertanyaan dengan pertanyaan sama sekali tidak dapat dianggap canda semata. “Sampai kapan kita harus terus saling menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya?”

Jika ia adalah cenayang, ia akan mengetahui bahwa hati Seokjin meneriakkan, “Selama yang dibutuhkan jika itu berarti kau tidak akan pernah meninggalkanku sendirian!”

Tapi nyatanya, Namjoon hanyalah seorang lelaki yang tengah jatuh cinta. Ia tidak pernah memahami jalan pikiran Seokjin seutuhnya, tidak pula berharap tinggi akan apapun kecuali kebahagiaan tambatan hatinya.

Hari itu adalah terakhir kali ia menginjakkan kaki di dalam ruang bimbingan.

Memiliki Seokjin terus berada di sisinya terasa layaknya mimpi di tengah siang—hanya sesaat, dipenuhi khawatir akan usainya bunga tidur secara mendadak; yang berbeda hanyalah ia menjalani kehidupan nyata alih-alih pengalaman alam bawah sadar.

“Kau lebih sering menghabiskan waktu di apartemenku belakangan ini,” ia mengganti channel televisi tanpa mengindahkan protes Seokjin yang tengah menonton sebuah serial drama. “Bagaimana kabar Rapmon? Kenapa tidak membawanya ke tempatku saja tiap kali kau mampir?”

Seokjin merebut remote dari tangannya, lalu menjulurkan lidah sebelum pindah menjauh ke atas sofa. “Aku mau dia membiasakan diri dengan tempat tinggal barunya. Kau pikir mudah membuat nyaman peliharaan yang telah menetap lama di satu tempat? Dia sempat menolak untuk makan selama beberapa hari, asal kau tahu.”

Kembali membaringkan tubuh di atas tempat tidur, Namjoon menggumamkan sepatah maaf. Tubuhnya terasa begitu lemas akibat sulit menerima asupan makanan, juga jam tidur yang berkurang drastis karena batuk tiada hentinya. Tidak peduli sesering apa Seokjin menyapu tiap sudut apartemennya, kelopak bunga baru akan terus bermunculan berkat kondisinya yang semakin gawat.

Sudah seminggu ia tidak melanjutkan penelitian untuk skripsinya, mengurung diri di apartemen karena Seokjin mengatainya mirip vampir di film Barat—kulitnya pucat, penurunan berat badannya terlihat jelas. Seokjin tidak berlebihan ketika mengatakan besar kemungkinan ia akan pingsan jika memaksakan diri untuk pergi keluar.

“Aku…” tiba-tiba Seokjin bersuara, membalikkan badan hingga kini menghadap ke arah di mana ia bertelentang. “Aku belum pernah mengatakan ini, tapi aku—aku minta maaf, Namjoon. Maaf. Maafkan aku.”

Tidak memiliki tenaga untuk protes, Namjoon memejamkan mata. “Bukankah kita sepakat untuk tidak pernah mengucapkan maaf?”

Ia tidak menunjukkan bahwa ia menyadari getar di balik suara si lawan bicara. “Aku takut menyesal jika aku tidak sempat mengatakannya,” bunyi ceret yang mendidih menyebabkan Seokjin bangkit, pun menyelesaikan percakapan tidak menyenangkan yang menimbulkan desakan tangis. “Juga, terima kasih.”

Namjoon tidak bertanya untuk apa Seokjin berterima kasih di saat lelaki itu seharusnya memaki. Tidak seharusnya Seokjin ikut terjebak dalam rasa bersalah yang sama dengan dirinya, tidak seharusnya satu pun di antara mereka merasa bersalah. Semua ini di luar kehendak. Ia telah menerimanya sejak lama.

“Ah, tehnya habis,” ia dapat mendengar Seokjin bergegas menuju pintu, lalu menciptakan bunyi gesekan sendal pada lantai vinyl sebelum menyahut, “Aku akan turun sebentar untuk membeli teh di supermarket.”

Tepat di saat pintu tertutup rapat, Namjoon beranjak tergopoh menuju kamar mandi. Ia memuntahkan sejumlah kelopak aster yang ditahan sedemikian rupa agar tidak meningkatkan khawatir Seokjin, memenuhi wastafel juga menyebabkan lantai putih tak lagi bersih.

Seokjin pasti akan memarahinya nanti—bukan karena kembali mengotori kamar mandi, namun karena lelaki itu sadar bahwa ia menahan diri sedari tadi. Namjoon tidak pernah mengerti bagaimana Seokjin selalu tahu, bagaimana Seokjin memahami tiap tindakannya dengan mudah seolah mereka berbagi satu sel otak yang sama.

Membayangkan wajah panik si lelaki pujaan, Namjoon menarik sudut bibir yang disebabkan rasa terhibur puas. Raut ekspresif Seokjin selalu berhasil membuat hari-harinya terhindar dari kata memuakkan.

Aku harus membersihkannya sebelum dia kembali, pikir Namjoon sebelum beranjak mencari sapu juga kain lap yang biasa Seokjin gunakan untuk membantunya. Di saat ia baru mengambil satu langkah, desakan untuk mengeluarkan isi perut kembali datang.

Kali ini tidak banyak kelopak bunga yang ia muntahkan; tidak jika dibandingkan dengan jumlah cairan merah yang keluar.

Bau anyir darah tak lagi terasa asing. Namjoon justru cenderung menyukainya.

Lalu perlahan gelap.

Oksigen menolak masuk memenuhi paru-parunya.

Ia tidak bisa bernapas, kedua kakinya menolak untuk menahan beban tubuhnya. Bunyi hantaman pada lantai keramik tidak dapat telinganya tangkap, begitu pula rasa sakit yang seharusnya menjalar.

Semakin gelap.

Wajah Seokjin adalah hal terakhir yang dapat benaknya tawarkan.

Suara tawa, perkenalan pertama, perdebatan di dalam kelas, agenda tidak mengikuti seminar bersama, pengumuman dosen pembimbing yang sama sekali tidak dijanjikan sebelumnya, pemilihan kelompok penelitian, hangout sesekali pada tiap akhir bulan. Tidak berurutan, tapi semuanya terekam dengan jelas.

Sebuah senyum terulas; ia sama sekali tidak menyimpan dendam.

.

.

Untuk ke sekian kali, Seokjin datang mengunjungi mausoleum di mana abu kremasi Namjoon disemayamkan. Setengah tahun telah berlalu, namun hampa yang menggerogoti hatinya tidak pernah berkurang, apalagi menghilang sempurna.

Orang bilang waktu akan menyembuhkan setiap luka. Seokjin tidak mengalaminya—hari-hari yang ia jalani terasa kosong dan begitu salah. Ada duka yang tidak dapat ia singkirkan. Ada rasa bersalah karena tidak berhasil menjadi penyelamat bagi orang yang berharga dalam hidupnya.

Pada akhirnya, ia tidak memiliki perbedaan dengan sang ayah. Mereka sama-sama telah menjadi pembunuh melalui sebuah penyakit kejam yang melibatkan perasaan.

Pigura foto Namjoon di balik kaca, tepat di sebelah guci yang menyimpan sisa keberadaan lelaki itu di dunia, masih menjadi satu-satunya cara untuk Seokjin agar dapat merasakan setitik bahagia. Senyum Namjoon selalu berhasil meredakan perih yang terus mendera.

“Hai, seperti yang kau lihat, aku menggunakan toga,” ucapnya berusaha terdengar ceria. “Kau membuatku harus menyelesaikan penelitian kita seorang diri. Untung saja aku tetap bisa lulus tepat waktu.”

Ia menghela napas, mengeluarkan handphone dari saku celana dan membuka galeri untuk menunjukkan foto terbaru Rapmon pada pigura Namjoon. “Rapmon baik. Seperti yang kau duga, kami cepat menjadi teman akrab,” senyum di wajahnya tidak bertahan lama. “Tapi aku… aku masih belum merasa baik. Aku tidak tahu apakah aku akan merasa lebih baik suatu hari.”

Menelan ludah susah payah, Seokjin berusaha mengendalikan diri agar tidak menangis di sana. Air matanya sudah terkuras untuk satu tahun ke depan pada hari di mana ia menemukan Namjoon tergeletak di lantai kamar mandi, ditemani ratusan kelopak bunga yang tak lagi ia anggap sebagai favorit.

“Namjoon, aku tahu ini terlambat,” tangannya menyentuh kotak kaca di depannya, memberi usapan lembut dan berusaha mencari kehangatan yang tidak akan pernah lagi ia dapatkan. Ia tidak tahu kesalahan apa yang ia perbuat di kehidupan sebelumnya hingga dunia memberinya takdir paling kejam yang pernah ada.

“Aku akan jatuh cinta ketika aku jatuh cinta,” ia ingat pernah berkata.

Betapa naif dirinya saat itu.

“Tidak ada orang yang akan berhasil tidak mencintaimu setelah mengenalmu. Percaya padaku.”

Betapa naif Namjoon saat itu.

“Kau benar, aku berhasil mencintai seseorang yang juga mencintaiku,” suaranya terdengar getir, di saat bersamaan berusaha untuk tidak menyeringai karena mengasihani diri sendiri. “Sayangnya orang itu sudah tidak berada di dunia yang sama denganku sekarang.”

Seokjin terbatuk ketika merasakan tenggorokannya kering, menggunakan sebelah tangan untuk menutup mulut hingga telah merasa lebih baik. Terdapat sesak dalam dadanya, juga perih luar biasa yang tanpa ampun menguasai kerongkongan.

“Aku mencintaimu,” pernyataan itu sama sekali tidak membuatnya merasa lebih baik. “Sayangnya sekarang kau tidak lagi di sini untuk membalas perasaanku.”

Kepalanya menunduk menatap tangannya yang terkepal kuat, kemudian menahan napas seraya perlahan membuka genggaman tangan. Seokjin menatap nanar dua buah kelopak bunga yang berhasil keluar dari dalam mulutnya.

Bunga aster merah muda.

Leave a comment