Pink Aster

Awalnya, Namjoon benar-benar tidak menyadarinya.

Terdapat beberapa hal tentang Kim Seokjin yang akan selalu Namjoon tanam dalam ingatannya, bukan karena ia melakukannya secara sadar, namun lebih ke arah menghafalnya karena terlalu sering memperhatikan; seperti bagaimana lelaki itu alergi terhadap bawang namun masa bodoh dengan rasa gatal yang menyerang, atau bagaimana terlepas dari sifat tidak enakan yang sulit untuk diabaikan, Seokjin tidak pernah takut menyuarakan pendapat tentang hal-hal yang tak ia suka.

Namjoon juga tidak akan melupakan fakta bahwa dari sedikit hal yang dapat menyinggung Seokjin (“Hidup sudah cukup rumit tanpa kau harus bersikap sensitif,” ucap Seokjin suatu hari ketika ia bertanya mengapa lelaki itu tidak menanggapi sindiran salah satu teman sekelas mereka), penyakit hanahaki adalah salah satu pembahasan yang dapat membuat ekspresinya berubah drastis. Senyum manis di wajahnya akan memudar kurang dari tiga detik, diikuti gestur tak nyaman seolah ingin secepatnya menjauh pergi.

Continue reading “Pink Aster”

Broken

Min Yoongi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, mendapati sentuhan warna putih yang seharusnya memanjakan mata, namun justru terasa dingin dan menimbulkan rasa tak nyaman. Suhu ruangan yang cukup rendah membuatnya secara refleks mengusap sebelah lengan, entah dikarenakan temperatur atau aura kurang menyenangkan.

Duduk di depannya dengan sebuah meja membatasi, seorang pria berkacamata tengah sibuk mencoret kertas tanpa mengindahkan kehadirannya. Ia telah menunggu lima belas menit dan berusaha bersikap sopan, menahan protes di ujung tenggorokan susah payah. Namun kesabarannya kini telah di ambang batas.

“Jadi, Yoongi-ssi,” akhirnya sosok itu menaruh perhatian pada dirinya. Yoongi dengan cepat memberikan seluruh atensi yang dimilikinya. “Sudah berapa lama kalian saling mengenal?”

Continue reading “Broken”

Way for Love

Jam menunjukkan tepat pukul setengah satu siang.

Keadaan kafe sedang ramai ketika Seokjin tiba dan melangkah masuk ke bagian dalam, bersyukur dalam hati karena telah melakukan reservasi sebelumnya. Ia disambut oleh salah satu pelayan, mengikuti arahan menuju sebuah meja dikhususkan untuk empat orang pada salah satu sudut ruangan.

Sepasang matanya tengah sibuk mengamati deretan menu ketika seseorang memeluk tubuhnya dari belakang, menyebabkannya mendongakkan kepala untuk melihat pelaku gestur intim yang ia dapatkan.

Senyum di wajahnya mengembang begitu mendapati wajah yang begitu ia rindukan. “Donghee!”

Pemilik nama yang diserukan, Kim Donghee, mengeratkan pelukannya selama beberapa saat. Ia membiarkan Seokjin bangkit untuk membalas pelukannya, tertawa bersama dan menanyakan kabar masing-masing sebelum duduk berseberangan.

Continue reading?

Never Will

“Ah, selamat datang kembali. Bagaimana kabarmu?”

Seokjin meletakkan tas duffle yang sebelumnya menggantung pada pundaknya di atas lantai. Ia meregangkan tubuh untuk menghilangkan pegal akibat perjalanan jauh menuju camp musim panas di mana ia berada saat ini. Senyum tipis di wajahnya tersungging seraya menjawab, “Cukup baik. Kau sendiri?”

Berdiri di satu sisi tempat tidur dan tampak sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya, Kim Namjoon mengangkat bahu ringan. “Seperti yang kau lihat, masih hidup dan bernapas,” canda teman sekamarnya tanpa beban.

Tahun ini adalah tahun keempat ia menghadiri camp musim panas yang sama—orang tuanya selalu mengatakan bahwa camp musim panas adalah jawaban tepat untuk melatih kemandirian juga mendapat lebih banyak teman. Seokjin tidak akan pernah memberi tahu bahwa selama ini ia tidak pernah bertukar nomor telepon dan menjalin pertemanan di luar camp dengan siapa pun yang berkenalan dengannya di sana.

Continue reading?