Broken

Min Yoongi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, mendapati sentuhan warna putih yang seharusnya memanjakan mata, namun justru terasa dingin dan menimbulkan rasa tak nyaman. Suhu ruangan yang cukup rendah membuatnya secara refleks mengusap sebelah lengan, entah dikarenakan temperatur atau aura kurang menyenangkan.

Duduk di depannya dengan sebuah meja membatasi, seorang pria berkacamata tengah sibuk mencoret kertas tanpa mengindahkan kehadirannya. Ia telah menunggu lima belas menit dan berusaha bersikap sopan, menahan protes di ujung tenggorokan susah payah. Namun kesabarannya kini telah di ambang batas.

“Jadi, Yoongi-ssi,” akhirnya sosok itu menaruh perhatian pada dirinya. Yoongi dengan cepat memberikan seluruh atensi yang dimilikinya. “Sudah berapa lama kalian saling mengenal?”

Continue reading “Broken”

Just One Day

Seokjin hanya pernah bertemu Yoongi satu kali.

Mereka tidak dapat dikatakan sebagai dua orang asing karena pernah saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. Seokjin ingat itu terjadi sekitar empat bulan lalu di apartemen Namjoon ketika ia berkunjung untuk mendiskusikan sebuah kasus pengadilan yang dijadikan materi kuis minggu selanjutnya. Di apartemen dua kilometer dari kampus itu, Seokjin berkenalan dengan Min Yoongi.

Unit apartemen Namjoon berada di lantai tiga belas. Seokjin rasa apartemen itu adalah satu-satunya yang berani menggunakan angka sial alih-alih melompati ke angka selanjutnya. Ia juga tidak terlalu nyaman dengan fakta Namjoon tinggal di tingkatan lantai yang biasanya diabaikan di kebanyakan bangunan tinggi lain. Namjoon memang tidak percaya mitos, sedangkan Seokjin tidak mungkin sampai hati menyuarakan paranoid yang mendera.

Lantai tiga belas, unit nomor empat. Seokjin mulai berpikir Namjoon sengaja.

Continue reading?

Professionalism? Next!

Di umurnya yang mendekati kepala tiga, Kim Seokjin sama sekali belum mempertimbangkan komitmen akan hubungan romansa.

Sesekali pikiran untuk menjalani hubungan dengan seseorang (entah itu serius atau sekedar percobaan) memang mampir di benaknya, namun ia memiliki terlalu banyak to-do-list di tangannya untuk mengutamakan kehidupan pribadi dalam waktu dekat. Memiliki pasangan yang dapat diajak menonton film animasi di malam Minggu terdengar menyenangkan, namun untuk sekarang ia merasa puas menghabiskan waktu luang tanpa seseorang menanti kehadirannya.

Rekan kerjanya, Park Jimin, sering mengatainya kaku dan terlalu serius untuk seseorang yang dilahirkan dalam kategori sempurna. Kehidupan sempurna sayangnya adalah hal yang ambigu bagi Seokjin karena jika dilahirkan di keluarga kaya, memiliki otak cerdas, dan wajah tampan adalah apa yang orang-orang katakan sebagai kesempurnaan, maka bagi Seokjin sempurna adalah hidup tanpa ekspektasi dan bayang-bayang.

Continue more?

One of These Magical Days – Drabble #1

Seokjin baru saja mengenakan jubahnya ketika berjalan memasuki aula besar, menoleh ke meja Hufflepuff dan melambaikan tangan pada Junghwan yang membatu di tengah pergerakannya untuk mengangkat tangan.

Seolah terdapat sebuah isyarat untuk berhenti berbicara, tiba-tiba semua orang terdiam dan untuk pertama kalinya, Seokjin melihat aula dalam keadaan penuh namun tanpa kebisingan. Ralat—penuh, hening, dan menatapnya.

Continue reading?