Seokjin hanya pernah bertemu Yoongi satu kali.
Mereka tidak dapat dikatakan sebagai dua orang asing karena pernah saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. Seokjin ingat itu terjadi sekitar empat bulan lalu di apartemen Namjoon ketika ia berkunjung untuk mendiskusikan sebuah kasus pengadilan yang dijadikan materi kuis minggu selanjutnya. Di apartemen dua kilometer dari kampus itu, Seokjin berkenalan dengan Min Yoongi.
Unit apartemen Namjoon berada di lantai tiga belas. Seokjin rasa apartemen itu adalah satu-satunya yang berani menggunakan angka sial alih-alih melompati ke angka selanjutnya. Ia juga tidak terlalu nyaman dengan fakta Namjoon tinggal di tingkatan lantai yang biasanya diabaikan di kebanyakan bangunan tinggi lain. Namjoon memang tidak percaya mitos, sedangkan Seokjin tidak mungkin sampai hati menyuarakan paranoid yang mendera.
Lantai tiga belas, unit nomor empat. Seokjin mulai berpikir Namjoon sengaja.
Banyak orang-orang yang tidak mempercayai mitos dan hal gaib, berakhir tinggi hati dan menantang apa yang kebanyakan orang-orang takuti. Seokjin tahu meski ia tidak pernah menonton Youtube berkonten dunia mistis, tapi orang angkuh memang selalu ada di muka Bumi. Ia sendiri memilih untuk mengikuti mayoritas, toh tidak ada salahnya berjaga-jaga.
Tapi Namjoon—temannya yang satu ini adalah lelaki cerdas nan realistis. Namjoon percaya pada argumen dengan bukti valid, bukan omong kosong yang tidak dapat dibuktikan oleh panca indra dan akal sehat. Namun meski begitu, Seokjin tahu Namjoon bukan orang yang gemar menantang makhluk halus sebagai metode pembuktian logika.
Seolah membaca pikirannya, temannya itu membuka kunci pintu dan berkata, “Harga unitnya lebih murah karena memiliki nomor yang ditakuti banyak orang,” ia tertawa kecil sebelum menambahkan, “Dan berada di lantai bernomor urut yang sering dikatakan membawa sial.”
Lihat? Namjoon hanya ekonomis. Tapi Seokjin tetap merinding.
Ia mempersilakan diri sendiri untuk masuk setelah tuan rumah mendahului, membuka dan meletakkan sepatu di atas rak dengan rapi. Apartemen kecil Namjoon cukup berantakan, memiliki satu dapur kecil dan satu ruang tengah tanpa pembatas ruangan. Terdapat empat pintu yang dipastikan menuju kamar, kamar mandi, dan terakhir adalah balkon yang berguna sebagai pengingat masih ada pilihan lain jika sudah muak menjalani hidup di dunia.
Sekali waktu Namjoon pernah bercerita bahwa ia tidak tinggal sendirian, melainkan memiliki roommate yang menuntut ilmu di universitas yang sama dengan mereka. Di tahun ketiga ini, jadwal kuliah roommate-nya teramat padat hingga jarang terlihat eksistensinya di apartemen. Karena itulah Namjoon mengajaknya ke sana alih-alih mengunjungi café buku yang biasa mereka datangi bersama.
“Maaf berantakan, kau tahu aku,” ucap Kim yang lebih tinggi dengan cengiran penuh lesung pipinya. “Aku akan mengganti baju lebih dulu. Jangan sungkan melakukan apapun yang kau inginkan.”
Dengan izin tuan rumah, Seokjin memasuki dapur dan mulai memanaskan air untuk menyeduh teh panas. Penghujung musim gugur tahun ini benar-benar kelewatan, ia tidak dapat membayangkan sedingin apa musim dingin nantinya. Untuk orang yang tidak terlalu kuat dengan udara dingin seperti dirinya, liburan nanti pasti dipenuhi dengan bermalas-malasan bersama penghangat ruangan.
Seokjin bersenandung ringan, membuka kabinet dapur dan menemukan teh jasmine yang nyaris kadaluarsa. Ia hendak mencari saringan di rak cuci piring ketika membalikkan tubuh, lalu mendapati seseorang berdiri di belakangnya dengan poni yang cukup panjang hingga menutupi mata.
Kalau ia mengambil lebih banyak waktu untuk memerhatikan, ia akan menyadari bahwa kain hitam yang menyangkut pada pundak sosok di depannya adalah selimut alih-alih jubah pengikut setan di kebanyakan film horor juga supernatural. Tapi Seokjin yang sejak awal sudah tidak menyukai nomor lantai dan unit apartemen Namjoon hanya dapat melihat sosok pucat dengan pakaian serba hitam.
Maka dengan segenap tenaga, ia berteriak.
Di luar dugaan, sosok itu membalas dengan teriakan sama kencangnya.
Meski tidak tahu apa yang terjadi, Namjoon tergopoh keluar dari kamar sambil ikut bersuara lantang.
Mereka berakhir ditegur oleh satpam apartemen setengah jam setelahnya.
Sore itu adalah salah satu sore paling canggung yang pernah Seokjin lewati dalam hidupnya. Setelah masing-masing dapat mengontrol diri akan keterkejutan berbagai alasan; Seokjin melihat sosok yang ia kira makhluk halus, si makhluk halus (yang bukan makhluk halus) tidak tahu siapa sosok asing dengan pakaian serba putih yang menghuni dapurnya, dan Namjoon yang bingung karena teriakan bersahutan seolah kiamat datang, akhirnya mereka duduk di ruang tengah dengan tiga cangkir teh terabaikan.
“Itu memalukan,” si lelaki yang menggulung diri di balik selimut hitam menghela napas, akhirnya menyerah mempertahankan keheningan lebih lama. “Aku rasa aku terlalu lelah sampai mengira kau malaikat pencabut nyawa atau sejenisnya.”
Seokjin ingin membenarkan bahwa ia menggunakan pakaian serba putih, sedangkan imej malaikat pencabut nyawa adalah serba hitam. Tapi ia menahan argumennya di ujung lidah karena tidak ingin mendengar Namjoon menanggapi dengan, memangnya kau sudah pernah bertemu malaikat pencabut nyawa? Dari mana kau tahu mereka menggunakan warna hitam bukannya putih?
Kepalanya sudah cukup pening karena menahan malu. Ia tidak mau menambahi dengan perdebatan konyol yang tidak akan keluar di ujian akhir semester. “Aku juga minta maaf. Reaksiku sedikit berlebihan,” tidak sedikit, hatinya berteriak tak terima. Kebohongan kecil untuk menyelamatkan harga diri tidak akan menjadi masalah.
Lelaki yang ternyata adalah roommate Namjoon itu meringis, tampaknya tidak menyetujui bahwa reaksi Seokjin hanya sedikit berlebihan. Ia memilih tidak berkomentar dan mengulurkan tangan.
“Min Yoongi,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Kim Seokjin.”
Tangan Yoongi terasa dingin meski tak lepas sedetik pun dari selimutnya. Seokjin sedikit merasa khawatir melihat kondisi mengerikan yang begitu kasat mata setelah ia kini berani menaruh perhatian lebih lama. Kulit Yoongi masih sepucat yang ia lihat ketika mereka saling berteriak di dalam dapur, kantung mata gelap, suara serak, juga raut letih seolah baru saja bekerja paksa.
Baru menyadari ia menggenggam tangan Yoongi terlalu lama, Seokjin menarik tangannya kikuk dan membuang muka. Ada sesuatu dari eksistensi lelaki layaknya pekerja romusa di depannya, ia tidak benar-benar mengerti apa. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat karena salah tingkah.
“Kalau begitu… uh, aku akan kembali ke kamarku,” pemilik surai hitam itu berdiri dan meraih salah satu cangkir yang tadi Seokjin buatkan untuk kabur dari rasa malu selama sesaat. “Senang berkenalan denganmu.”
Bagi Seokjin, itu sama sekali bukan cara berkenalan yang menyenangkan. Bahkan mungkin berada di barisan paling atas cara berkenalan paling memalukan dalam hidupnya.
Setelah hari itu, mereka tak lagi pernah bertemu. Seokjin ingat Namjoon memberitahu bahwa Yoongi adalah mahasiswa Fakultas Teknik, yang mana gedung fakultasnya berada di arah berlawanan dengan gedung fakultas mereka. Lingkaran pertemanan yang otomatis berbeda tidak menyisakan ruang untuk agenda kebetulan menghadiri acara atau kegiatan yang sama. Seokjin bahkan hampir melupakan keberadaan Yoongi jika saja hari ini iris mereka tidak bertubrukan tanpa sengaja.
Sejujurnya, Seokjin sama sekali tidak hampir melupakan Yoongi. Ia bahkan masih dapat mengingat suhu dingin tangan Yoongi ketika kulit mereka bersentuhan. Ada perasaan tidak tenang yang membuatnya terus gelisah tiap teringat eksistensi teman dari temannya itu. Seperti penasaran, tapi jauh lebih buruk.
“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu,” ujar Yoongi dua langkah di depannya. Seokjin terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tidak menyadari bahwa Yoongi tidak lantas pergi dan bersikap layaknya mereka tidak saling mengenal, justru menghampirinya dan mengajak berbicara. “Setidaknya tidak di sini.”
Di sini yang dimaksud adalah halaman rumah bobrok di bagian paling ujung komplek perumahan sepi, pada tengah malam dengan cahaya di bawah minim. Seokjin sendiri sebenarnya ingin secepatnya pergi dari sana seandainya ia tidak benar-benar membutuhkan orang yang membuat janji untuk bertemu di tempat ini.
“Begitu pun aku,” responnya setelah menemukan suara yang untuk sesaat hilang. Sepasang matanya melebar ketika menyadari bahwa Yoongi tidak seharusnya berada di sana. Sial, bahkan dia pun seharusnya tidak berada di sana. Keberadaan Yoongi hanya berartikan dua hal.
“Jangan bilang kau dealer baruku?”
Tawa dari lawan bicaranya menyebabkan Seokjin sedikit merasa lega. Entah mengapa ia tidak menyukai ide bahwa diam-diam Min Yoongi adalah seorang dealer narkoba; walaupun sebenarnya bukan berarti keberadaan Yoongi untuk alasan yang satu lagi lebih menenangkan.
“Bukan, tenang saja,” Yoongi mengusap hidungnya yang memerah karena dinginnya angin malam. “Aku juga pembeli.”
Ia menyandarkan punggung pada kaca mobilnya, merapatkan kardigan rajut tebal yang ia gunakan. Kedua tangannya kini melipat di depan dada, bersembunyi di balik outer dan berharap dealer mereka segera datang. Seokjin benar-benar payah menghadapi suhu rendah.
Mungkin sebaiknya ia mengajak Yoongi berbicara. Ia melihat lelaki di depannya mulai dari ujung kaki—sepatu semi boots berwarna hitam, celana jeans berwarna senada, sweter hijau gelap yang nyaris tertutup oleh jaket kulit yang lagi-lagi berwarna hitam, dan terakhir benie abu tua menutupi sebagian besar kepala.
“Kau benar-benar suka warna hitam, ya?” sembur Seokjin tanpa dapat menahan diri, otaknya mungkin sudah beku hingga tak lagi tahu bagaimana cara tepat berbasa-basi.
Yoongi mendengus mendengar pertanyaannya, tidak membuang waktu untuk menjawab. “Bukankah bertemu di tempat seperti ini lebih mencurigakan daripada di tempat umum?”
Menyetujui pertanyaan itu, Seokjin menganggukkan kepala. “Dia orang baru, sepertinya belum cukup berpengalaman. Aku akan menasihatinya nanti,” katanya sebelum menggigil kentara akibat angin berhembus kencang. Ia menimbang sesaat lalu bertanya, “Jangan bilang ini pertama kalimu?”
Bukan sepenuhnya pertanyaan. Yoongi hanya mengedikkan bahu dan ikut bersandar pada mobil Seokjin, menciptakan jarak personal satu langkah. Ia berdeham pelan. “Apa yang membuatmu memakai barang seperti ini?”
“Coping mechanism,” jawab Seokjin singkat. Tidak seperti ia memiliki alasan yang lebih matang, plus topik ini sama sekali tidak bermanfaat. Melirik Yoongi di sisinya, dalam jarak yang lebih dekat seperti sekarang, ia kembali merasa tidak nyaman.
Atau salah tingkah?
Tidak bermanfaat, otaknya mengingatkan. Namun Seokjin tetap berakhir bertanya, “Apa alasanmu?”
Suara sepeda motor mengagetkan keduanya, otomatis mendorong mereka melompat kecil dan berdiri tegak untuk mengecek siapa yang datang. Seorang laki-laki menggunakan helm menghampiri mereka, mengenalkan diri sebagai dealer pengganti untuk beberapa minggu ke depan.
“Lain kali pilih tempat yang lebih masuk akal,” nasihat Seokjin seraya menyerahkan uang tunai dan mengambil barang di tangan si pengendara motor yang terlihat malu karena ketahuan tidak berpengalaman. Yoongi melakukan hal yang sama, hanya saja tidak ikut memberi saran.
Seokjin baru akan membuka pintu mobilnya dan mengucapkan selamat tinggal ketika mendengar suara rendah Yoongi memanggilnya. “Kau… uh. Apa kau mau menggunakannya malam ini?”
Dari pertanyaan itu, Seokjin tahu tebakannya tepat sasaran. Ini pertama kali Yoongi membeli barang ilegal dan kemungkinan besar tidak benar-benar mengerti cara penggunaannya. “Mungkin,” ia mempelajari ekspresi Yoongi sesaat, lalu menghela napas. “Aku tahu ini bukan porsiku. Tapi apapun masalahmu, coba pikir dua kali apakah kau benar-benar ingin melakukannya.”
Ia tidak melihat garis tersinggung di wajah lelaki itu, sedikit-banyak bersyukur karena tidak mengatakan sesuatu yang melampui batas. Toh pada akhirnya mereka bukan benar-benar teman, sekedar dua orang saling mengenal yang kebetulan memiliki satu teman dekat yang sama. Seokjin tidak mau dikatai sok tahu dan disalahpahami mencampuri urusan orang.
Melihat Yoongi bergeming di tempatnya, setengah menunduk dan tengah bimbang mengambil jalan mana yang harus ia tempuh selanjutnya, Seokjin tak sampai hati untuk meninggalkan. Ia beranjak dari sisi mobilnya, mendekati Yoongi dan mengabaikan desiran aneh di dalam dada.
“Aku akan membantumu memilih,” insting Seokjin mengatakan bahwa ia tengah melakukan hal bodoh dengan mengurusi orang labil di saat dirinya sendiri tidak dalam kondisi lebih baik. Mengikuti keinginan tubuhnya, ia mengulurkan telapak tangan. “Kau bisa pulang sekarang dan menggunakan barang itu, aku akan mengajarimu jika kau tidak tahu caranya. Atau kau bisa berikan barang itu padaku, lalu besok aku akan menjadi temanmu selama satu hari penuh.”
Yoongi mengernyitkan dahi, mengabaikan tangan Seokjin yang menggantung di udara dan memandang wajah yang beberapa senti lebih tinggi. “Kau menyuruhku untuk membayarmu menjadi temanku selama satu hari dengan ganja?”
Tentu itu terdengar salah. Seokjin mengaku ia tidak berpikir panjang. Ingat otaknya sudah beku sejak setengah jam lalu? Ia mendecak sebal dengan sedikit penyesalan karena telah bertindak impulsif dan mengabaikan akal. “Tidak seburuk kedengarannya,” ia berusaha mencari kalimat yang dapat menggambarkan niatnya lebih jelas. “Itu hanya simbolis. Maksud awalku adalah kalau barang itu di tanganku, kau tidak akan jadi memakainya.
“Sebagai gantinya, karena bagaimanapun kau sudah membayar barang itu, aku akan membelinya darimu dengan cara menghabiskan waktu seharian sebagai temanmu. Kita bisa menonton film, duduk di café, memancing, apapun—mungkin kau bisa bercerita tentang masalahmu dan mendengar saranku. Aku yang akan membayar semuanya.”
Dalam detik kelima, Seokjin dapat melihat Yoongi membuka mulutnya, namun tidak mengeluarkan sedikit pun suara. Ia kembali dirundungi penyesalan dan rasa malu, menyalahkan semuanya pada udara dingin atas tingkahnya yang terlalu terburu-buru.
Tangannya yang diabaikan ia tarik untuk kembali bersembunyi di balik kardigan, benar-benar tidak menginginkan apapun selain untuk segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan penghangat, pergi dari sini dan tidak bertemu Min Yoongi selamanya. Setelah ini ia akan memastikan untuk bertemu hanya berdua dengan dealer-nya tiap melakukan transaksi di masa mendatang.
Di luar dugaannya, sudut bibir Yoongi terangkat membentuk satu senyum miring yang membuat wajahnya hangat. “Seperti kencan?”
Sepasang mata Seokjin terbelalak mendengarnya, sama sekali tidak berpikir ke arah sana barang sedetik pun sejak awal ia menawarkan bantuan untuk mengambil keputusan. Yoongi terlihat puas dengan reaksi yang ia dapatkan, tertawa pelan dan merogoh saku jaketnya untuk mengambil bungkusan yang baru saja berpindah ke tangannya beberapa menit sebelumnya.
Mengulurkan bungkusan itu pada Seokjin, ia memiringkan kepala. “Deal?”
Perasaan tidak nyaman itu kembali datang; bukan berarti sempat benar-benar hilang. Seokjin menatap mata sipit Yoongi, mencari kilat jenaka atau maksud bercanda di baliknya. Ia tidak tahu harus merasa senang atau kecewa ketika menemukan sorot penuh kesungguhan.
Tidak memiliki pilihan lain (karena ia sendiri yang mengusulkan ide ini), Seokjin mengambil bungkusan di tangan Yoongi, mengabaikan setruman imajinatif yang terasa ketika jari mereka tidak sengaja bersentuhan. Tubuhnya benar-benar memiliki reaksi ekstra untuk pemuda di hadapannya.
“Deal.”
Usai bertukar nomor telepon, Yoongi beranjak menuju di mana mobilnya diparkirkan.
❋
Seokjin menyadari perasaan aneh yang menyusup masuk ke dalam dirinya tiap terbesit akan eksistensi Min Yoongi tak ayal adalah rasa suka yang berusaha hatinya tentang mati-matian. Kesimpulannya diperkuat setelah mereka bertemu untuk menghabiskan nyaris dua puluh empat jam bersama esok harinya.
Hari itu ia menggunakan sweter tebal berwarna putih yang dilapisi oleh blazer hitam, celana kain dan sepatu apapun yang paling hangat. Perjalanan menuju apartemen Yoongi (dan Namjoon) hanya membutuhkan waktu dua puluh menit berkat lalu lintas bersahabat.
Jantungnya nyaris melompat keluar dari tenggorokannya ketika ia sampai di depan lobi, menemukan Yoongi yang telah menunggu dengan kedua tangan di dalam saku celana langsung berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu tanpa dipersilakan. Hal pertama yang Seokjin sadari adalah warna rambut lelaki itu tidak lagi hitam seperti beberapa bulan lalu, melainkan sejenis perak. Mereka bertukar pandang selama sesaat sebelum Seokjin berdeham dan memindahkan tuas porsneling dari netral.
Ketika ia menginjak gas, Yoongi bersuara, “Apakah ini hari kebalikan?”
“Aku terkejut kau memiliki baju berwarna,” balas Seokjin berusaha bersikap tenang, terang-terangan melirik Yoongi melalui sudut mata. Mereka sama-sama menggunakan baju dalam berwarna putih, hanya saja lelaki di sebelahnya menggunakan turtle-neck dengan mantel marun beserta sepatu Docmart berwarna senada.
“Kau tidak bisa menilai pakaianku hanya berdasarkan dua pertemuan,” gerutu Yoongi setengah bercanda. Ia memangku wajahnya menggunakan tangan yang bersandar pada pegangan pintu, memandangi jalanan lembab yang siap menyambut musim semi. Hawa musim dingin masih jauh lebih kental dan dominan di pagi hari.
Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Sebenarnya Seokjin tidak serius ketika ia mengatakan seharian penuh, namun tampaknya Yoongi memiliki ide lain ketika mengirimnya pesan dan berjanji siap pada pukul sembilan. Kebetulan pula hari itu keduanya tidak memiliki jadwal kelas.
“Ada makanan yang kau inginkan untuk sarapan?”
“Tradisional?”
“Berarti Kennington Lane,” Seokjin memilih salah satu restoran favoritnya. Ia memutar setir untuk mengambil jalan menuju Vauxhall Bridge, satu tangannya menekan layar radio mobil untuk memecah keheningan yang tidak akan dapat dihindari selamanya.
Suhu Kota London hari itu adalah 6°C dengan awan mendung dan minim cahaya matahari. Udara segar menyambut Seokjin tepat setelah ia membuka pintu mobil, membuatnya menikmati momen untuk menarik napas panjang dan menghembuskannya puas. Tanpa menolehkan kepala, ia dapat merasa Yoongi tengah tersenyum terhibur melihat tindakannya.
Suara kerincing bel menari di udara tepat di saat Seokjin mendorong pintu. Harum khas pancake menutupi aroma bacon dan roti panggang yang tak kalah menggiurkan. Suasana di sana cukup ramai, namun untungnya tidak padat. Mereka memilih meja yang merapat pada dinding dengan dua kursi saling berhadapan.
Seperti yang diinginkanya, Yoongi memesan Traditional English Breakfast dan secangkir kopi hitam panas. Seokjin tidak mengikutinya, memilih blueberry bagel dan sandwich tuna ekstra mayo. Cokelat Cadburys panas juga lebih cocok untuk lidahnya yang menyukai rasa manis untuk mengawali hari.
Otaknya mulai berpikir keras, menyusun agenda-agenda yang berkemungkinan untuk mereka lakukan seharian di London sebenarnya bukanlah hal yang berat. Tapi ia sadar ia tidak memegang kendali karena hari ini adalah hari milik Yoongi, kecuali jika laki-laki itu memutuskan untuk menyerahkan destinasi kencan padanya.
Teringat akan kata kencan secara refleks menyebabkan Seokjin mendengus menahan tawa.
“Apa yang lucu?” tanya Yoongi di depannya. Beberapa helai poninya jatuh menutupi mata—tidak separah di pertemuan pertama mereka ketika Seokjin nyaris tidak dapat melihat sepasang iris Yoongi, tapi cukup untuk mengundang nostalgia.
Menggelengkan kepala, Seokjin melemparkan pertanyaan lain untuk mengalihkan pembicaraan. Satu, ia tidak mungkin jujur dan mengatakan bahwa kata kencan mampir di otaknya dan menimbulkan kombinasi geli juga antusias. Dua, tampaknya saling mengabaikan pertanyaan satu sama lain dan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan adalah kode etik pertemanan mereka.
Seokjin jadi bertanya-tanya apakah hubungan mereka sudah dapat disebut sebagai pertemanan sekarang.
“Kau ada ide ke mana kita harus pergi setelah sarapan?”
Pembicaraan mereka terpotong oleh pelayan yang datang menyajikan pesanan. Setelah berterimakasih, ia kembali memusatkan perhatian pada Yoongi yang sudah siap dengan alat makan di kedua tangan.
“Kita bisa memarkir mobilmu di sini dan jalan ke Kennington Park,” jawab Yoongi, kemudian mulai memotong sosis di piringnya menjadi beberapa bagian. “Dengan porsi besar seperti ini kurasa kita butuh sedikit jalan kaki untuk menurunkan makanan.”
Menyetujui dalam diam, Seokjin juga mulai menyantap sarapannya setelah melihat Yoongi tidak lagi tertarik untuk melanjutkan obrolan. Piring besar berisikan ragam makanan khas sarapan di atas meja tampaknya jauh lebih menarik daripada kehadiran Seokjin sekarang. Ia sama sekali tidak ambil hati, terutama ketika mendengar perutnya berbunyi akibat mencium aroma bagel-nya.
Dikarenakan porsi yang lebih sedikit dan terbiasa menghabiskan makanan dengan cepat, Seokjin selesai lebih dulu, menunggu Yoongi seraya menyeruput cokelat panas favoritnya. Pagi ini berjalan lebih lancar daripada yang ia perkirakan, tidak terlalu canggung meski kadang perasaan-perasaan aneh masih berusaha menyelundup masuk.
“Alasanku membeli itu,” Yoongi menekankan ujung kalimatnya, volume suaranya lebih kecil karena takut didengar oleh meja sebelah. Sarapannya bersisa seperempat namun perutnya tidak lagi sanggup menerima asupan. Seokjin berusaha menahan senyum yang mengancam untuk merekah melihat Yoongi yang sangat waspada.
“Di hari pertemuan pertama kita di apartemenku, sebenarnya aku baru saja putus dari kekasihku.”
Seokjin membiarkan ingatan membawanya kembali pada hari itu, teriakan bersahutan dan pertemuan pertama yang paling memalukan. Di samping momen itu, ia ingat bagaimana penampilan Yoongi terlihat sangat mengerikan. Sekedar tumpukan projek tidak akan membuat seseorang terlihat seringkih itu, tapi tentu beda halnya jika itu dikarenakan tumpukan projek dan patah hati di saat bersamaan.
Meski ia mengakui bahwa hari itu Yoongi terlihat kacau dengan rambut berantakan, wajah tiga kali lipat lebih pucat, dan kantung mata menyaingi Perdana Menteri, Seokjin pun tetap merasakan desiran yang sama—untuk pertama kalinya dan bertahan hingga sekarang.
“Kita sebut saja aku tidak menerimanya dengan baik,” lanjut lelaki bersurai perak yang Seokjin yakini seratus persen hasil produk rambut. Kecuali Yoongi tiba-tiba memiliki kondisi dengan pigmennya. “Empat bulan ini benar-benar seperti neraka.”
Denyut perih dalam dada Seokjin muncul bukan dikarenakan pengakuan Yoongi, melainkan tepat ketika ia mendapati ekspresi kecewa mendalam di wajah lawan bicaranya. Sorot mata Yoongi berubah sendu, seratus persen masih terperangkap di masa lalu. Ada kecewa, sakit hati, amarah, namun juga rindu.
Patah hati, bagi Seokjin, adalah pelajaran wajib bagi semua orang. Seokjin belajar banyak dari kegagalan kisah romansanya, merasa jauh lebih dewasa dan berkembang tiap berhasil melewati fase yang ia akui terasa memilukan. Tapi melihat Yoongi terlihat begitu sedih di depannya, Seokjin sama sekali tidak mengerti mengapa lidahnya kelu dan kesedihan menyergap layaknya air bah.
“Jadi kupikir aku butuh distraksi, karenanya aku berada di tempat itu kemarin,” Yoongi tersenyum menatap Seokjin yang masih bergeming, terlihat lebih sulit mengontrol emosi dari pihak yang seharusnya berada di kondisi prihatin (dan pihak itu tentu saja bukan dirinya).
“Sampai aku mencegahmu.”
“Sampai kau mencegahku.”
Kalau orang bilang bertindak gegabah akibat patah hati adalah bukti nyata ketololan, maka orang itu belum pernah benar-benar merasakan patah hati. Atau melihat betapa dinamisnya manusia, tentu saja tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama besar dalam menangani rasa sakit. Tidak pernah ada kebenaran dalam memukul rata tiap situasi semirip apapun kondisinya; individu cerdas pasti memahami dan menghargai perbedaan.
Tidak semua orang pula menyadari betapa pentingnya coping mechanism yang tepat untuk diri sendiri. Seokjin tentu tidak merasa bahwa ia termasuk orang yang memilih coping mechanism tepat dan ia tidak menyalahkan siapa pun, termasuk teman yang mengenalkannya pada barang ilegal. Tapi semua orang memiliki kesempatan untuk memilih dan tentu saja, untuk berubah.
“Pernah dengar cara terbaik mengatasi patah hati adalah jatuh hati pada orang lain?” Pertanyaan itu retoris dan tidak menunggu jawaban. Seokjin tiba-tiba merasa resah akan arah pembicaraan yang melenceng jauh dari bayangannya. Tubuhnya mendadak kaku dan mentalnya dalam sekejap kalut.
“Kim Seokjin, sebagai teman kencanku hari ini, tugasmu adalah membuatku jatuh hati padamu.”
Orang ini sudah gila, pikir Seokjin ngeri. Bagaimana bisa dia mengatakannya seenteng itu?
Telinganya terasa panas, merambat cepat hingga menulari wajah juga lehernya. Seokjin dapat memastikan ia terlihat seperti kepiting rebus, atau apel, atau mungkin orang tersedak makanan hingga kekurangan oksigen, yang mana pun itu memiliki satu definisi sama: kegugupannya dipastikan terlihat transparan.
“Tapi tidak ada beban, tentu saja,” Yoongi memajukan tubuhnya melewati setengah meja, menyeringai tipis seolah mempermainkan jantung Seokjin yang sudah protes karena bosan memompa darah dan ingin menikmati dunia luar. “Kalau kau gagal, kau harus menjadi temanku selamanya. Bukan hanya satu hari.”
Dalam situasi ini, sebenarnya banyak yang dapat Seokjin lakukan. Pertama, ia dapat menyentil dahi Yoongi dan bertanya, “Apakah kau tahu peribahasa dikasih hati minta jantung?”
(Sebelum itu, Seokjin harus memastikan jantungnya masih berada di balik tulang rusuknya terlebih dahulu. Bukan berarti ia akan mempertimbangkan untuk memberi jantungnya pada Yoongi, sama sekali tidak. Ha ha.)
Niat baiknya berujung menjadi permainan yang dibuat oleh orang gundah karena patah hati. Lagipula Seokjin memiliki alasan tersendiri dengan syarat satu hari itu; ia tidak ingin menyiksa diri dengan perasaan tidak nyaman yang terus mengganggunya jika itu berhubungan dengan Yoongi. Sekarang laki-laki itu malah ingin berteman dengannya selamanya?
Kedua, ia juga bisa mencebik dan memaki, “Kau sudah gila?” Lalu menasihati Yoongi tentang hati, juga perasaan; di mana dua hal itu sama sekali tidak boleh diucapkan dengan ringan layaknya sebuah permainan satu ronde hanya untuk menentukan siapa berada di tim siapa.
Ketiga, ia dapat mempersilakan diri untuk meninggalkan Kennington Lane dan menelantarkan Yoongi, memblok nomor handphone-nya dan menghilang tanpa jejak.
Keempat dan seterusnya, biarkan ide itu tersimpan di dalam otak Seokjin karena dari sekian ide cemerlang akan tindakan yang harus ia lakukan, tentu saja Kim Seokjin memilih yang paling tidak masuk akal, berada di baris paling bawah, dan ditulis dengan font ukuran minus tiga dalam otaknya.
Satu kerlingan mata. Jangan sok keren. “Kau tidak bisa jatuh hati pada seseorang dalam waktu satu hari.”
Itu kebohongan. Seokjin adalah bukti hidup nyata.
Yoongi mengernyitkan dahi, kembali duduk tegak di atas kursinya yang mana Seokjin syukuri setengah mati. “Aku baru tahu kau tipe orang yang skeptis.”
❋
Berjalan di Kennington Park menyenangkan, terutama setelah baru saja mengalami shock berat akibat teman yang bukan benar-benar teman karena orang itu adalah teman dari teman. Seokjin tidak tahu kenapa ia memaksakan otaknya untuk berpikir rumit di tengah krisis besar.
Secara mengejutkan, kegiatan menyusuri taman yang bertujuan untuk menghilangkan kekenyangan itu berakhir dengan banyak informasi baru tentang satu sama lain. Mereka tidak berbincang tanpa henti, namun sesekali membuka obrolan kecil yang berujung pada beberapa fun fact seperti, “Aku juga suka sashimi.” dan “Oke, kau menang. Delapan puluh persen isi klosetku memang pakaian berwarna hitam.”
Pembicaraan di café sebelumnya tidak pernah kembali dibahas, seolah tidak pernah terjadi dan semua hanyalah imajinasinya belaka. Yoongi bersikap tak acuh, sama sekali tidak tampak seperti lelaki yang baru saja mengeluarkan salah satu permintaan (perintah? Pernyataan?) paling konyol yang pernah ia dengar.
Bukan berarti Seokjin ingin mengutarakan protes. Ia sudah cukup sulit mengontrol diri untuk bersikap senatural mungkin sejak kejadian di Kennington Lane tadi, sedikit banyak takjub akan sebesar apa Yoongi dapat memengaruhi hati dan tingkah lakunya. Tidak kemarin malam ketika ia mengusulkan untuk menghabiskan satu hari bersama, tidak pula hari ini ketika usulannya menjadi kenyataan.
“Apa yang kau lakukan selama libur musim dingin kemarin?” Seokjin berbasa-basi, mengabaikan rasa penasaran yang sebenarnya jauh lebih mendominasi. Mereka telah mengelilingi taman hampir satu jam sekarang.
“Aku patah hati, apa yang kau harapkan?” jawab Yoongi, lalu berjongkok ketika seekor anjing menghampiri dan meminta perhatiannya. Seokjin dapat melihat Yoongi tersenyum lebar, memberikan afeksi pada anjing peliharaan entah milik siapa yang kini berusaha menjilat wajah lelaki itu karena puas mendapat elusan.
“Tidak ada yang spesial,” Yoongi melanjutkan. “Aku bahkan tidak pulang ke rumah orang tuaku. Bergulung dalam selimut dan mendengar ratusan lagu ballad dan diss track.”
Seokjin terbahak. “Diss track?”
Kedua tangan Yoongi masih sibuk menangkup gemas wajah anjing yang menghampirinya untuk mencegah mendapati air liur di wajahnya. Ia mendongak pada Seokjin, mengerutkan hidung dan bercemberut. “Keseimbangan itu perlu.”
Tidak sanggup memandangi ekspresi menggemaskan itu terlalu lama, Seokjin berjalan lebih dulu dengan langkah yang sengaja diperlambat, memberikan waktu untuk Yoongi menyusulnya setelah puas bermain dengan peliharaan orang. Tidak butuh waktu lama hingga Yoongi kembali hadir di sampingnya.
“Bagaimana denganmu?”
Pertanyaan itu menyebabkan Seokjin sedikit berpikir sebelum menjawab. “Aku juga tidak pulang. Bermain ski sesekali, sisanya hanya mengurung diri di kamar.”
Yoongi bergumam tak kentara sebagai tanggapan. “Setelah ini mau ke mana?”
Sebenarnya Seokjin bisa melemparkan pertanyaan yang sama, namun ia tidak ingin mereka ulang adegan komedi romansa di mana sepasang kekasih saling menolak untuk memilih tempat tujuan. Lagipula mereka bukan sepasang kekasih, hal itu hanya akan berujung pada kecanggungan.
“Apakah kau suka bunga?”
“Bunga? Kau mau mengunjungi taman bunga?” tanya Yoongi penasaran. Tangan mereka tak sengaja bersentuhan sejurus kemudian, menyebabkan Seokjin mendadak kaku dan sesak napas. Ia memaksakan diri untuk tetap berjalan, menolak untuk menolehkan kepala.
“Tanganmu dingin sekali,” Yoongi berkomentar, kemudian mengambil satu langkah besar untuk berdiri di depan Seokjin dan menutupi jalan. “Kau baik-baik saja?”
Tidak, ia ingin berkata. Bagaimana bisa sentuhan kecil seseorang yang tidak terlalu ia kenal dapat membuatnya begitu resah? Seokjin hanya sanggup menggeleng kecil, terpaksa bergeming di tempatnya. Ia terkejut ketika melihat Yoongi menawarkan sebelah tangan.
“Apa maksudnya itu?”
“Kau tidak terlalu kuat dingin, ‘kan? Aku ingat kau menyeduh teh panas ketika mampir ke apartemenku waktu itu,” ujar Yoongi seraya menggerakkan tangannya yang diulur sengaja. “Pegang tanganku.”
Sepasang matanya membulat setengah tak percaya. “Aku bukan pacarmu. Kenapa aku harus bergenggaman tangan di tengah taman kota denganmu?”
Tanpa meminta izinnya, Yoongi meraih salah satu tangannya dan menyematkan jarinya di antara celah jari tangan Seokjin. “Memang bukan. Tapi hari ini kau teman kencanku,” tandasnya ringan.
Seokjin ingin menghentakkan tangannya, melepas tautan tangan mereka yang perlahan tapi pasti membuat wajahnya terasa panas. Ia tengah menimbang apakah sikapnya akan disebut kasar apabila ia menghempaskan tangan Yoongi di sana, namun lawan bicaranya lebih dulu menariknya untuk kembali menyusuri taman.
Ia melirik tangan mereka yang saling bersandingan, bergerak seirama seiring dengan kaki yang melangkah. Tangan Yoongi tidak terasa dingin seperti beberapa bulan lalu, kali ini terasa hangat dan begitu cocok menetralkan suhu tubuhnya. Jemarinya ramping, sedangkan genggamannya tidak terlalu erat namun pasti.
Menghela napas, Seokjin memberanikan diri menatap Yoongi yang terlihat begitu tenang dan menikmati waktunya. “Kau serius soal kencan itu?”
“Apa yang membuatmu berpikir aku tidak serius?”
“Orang patah hati memiliki tendensi tinggi melakukan hal konyol tanpa pikir panjang,” ucapnya seraya kembali menghembuskan napas cukup kuat, sengaja agar Yoongi menyadari kekhawatirannya. “Aku tidak mau kau menyesalinya.”
Kali ini Yoongi menolehkan kepala, menatapnya lurus dan bertanya, “Apakah orang patah hati tidak boleh tertarik dengan orang baru?”
Napas Seokjin mendadak tercekat, seolah baru saja divonis bersalah melakukan tindak kriminal di pengadilan. Ia menemukan mata Yoongi menyiratkan luka, membuatnya merasa tak enak hati terutama ketika tangan Yoongi hendak melepaskan genggaman.
Dengan kesadaran penuh, Seokjin menahan tangan Yoongi dan mengaitkan tangan mereka dalam diam. Panik yang mendera menyebabkannya tidak sempat memerhatikan pipi Yoongi yang bersemu samar. Seokjin mengeratkan genggamannya, sebisa mungkin bersikap tenang meski dalam hati berteriak.
“Aku tidak bilang begitu,” gumamnya pelan, mencuri pandang ke arah Yoongi dan batal menyesali tindakannya ketika melihat senyum tipis di wajah si lelaki berkulit pucat. Seokjin baru tahu melihat orang tersenyum dapat menimbulkan bunga bermekaran di dalam dada.
Konotasi, tentu saja.
Mereka berjalan menuju di mana mobil Seokjin diparkirkan, tangan saling menggenggam, semburat merah muda di masing-masing wajah, juga senyum yang sulit untuk dihapuskan. Seokjin mulai teringat bagaimana rasanya kasmaran.
Ketika sampai di parkiran Kennington Lane, tangan keduanya otomatis berpisah karena menuju pintu mobil yang berbeda. Sedikit canggung, namun Seokjin berusaha mencairkan suasana dengan menyalakan radio dan bercanda kecil sambil menunggu mobil dipanaskan.
Tangannya kembali terasa dingin, namun kali ini bukan dikarenakan temperatur udara, melainkan rasa kehilangan akan sesuatu yang bukan miliknya—pun menimbulkan nyaman yang tidak dapat dijabarkan.
“Memangnya ada taman bunga yang buka?” tanya Yoongi di saat Seokjin memundurkan mobil dan mulai berkendara.
“Bukan taman bunga, tapi toko bunga,” Seokjin membenarkan. “Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke Columbia Road tapi kita sama-sama tahu toko-toko di sana hanya beroperasi di hari Minggu.”
Yoongi mengangguk membenarkan. Meski bukan penggemar tumbuhan, dia tahu toko-toko bunga di Columbia Road sering menjadi destinasi wisata karena variasi bunga yang lengkap dan berbagai macam toko yang unik untuk dihampiri. Karena kebanyakan toko hanya beroperasi di hari Minggu, keadaan di sana hampir selalu ramai pada akhir pekan dan Yoongi bukanlah seseorang yang gemar berdesak-desakkan. Ia juga tidak pernah membayangkan dirinya mampir ke toko bunga.
“Kau ingin membeli bunga? Untuk siapa?”
Jalan tol yang kosong memberikan kemudahan untuk Seokjin menatap Yoongi sesaat, tersenyum setengah meringis sebelum menjawab, “Besok kakak sepupuku akan bertunangan.”
Ada sesuatu dari kalimat itu, juga ekspresi Seokjin yang membuat Yoongi merasa harus bertanya, “Dengan siapa?”
“Mantan pacarku.”
Seokjin tidak dapat melihat bagaimana wajah Yoongi sekarang, tapi ia dapat menebak laki-laki itu menyesal telah bertanya. Ia tertawa santai, mengangkat pundak ringan karena kenyataan itu sama sekali bukan masalah besar. “Sebelum kau bertanya, jawabannya tidak. Aku tidak patah hati atau berada dalam kondisi menyedihkan. Aku ikut senang untuk mereka.”
Tampaknya Yoongi masih merasa bersalah, karena itu Seokjin berusaha menenangkannya dengan mengubah topik pembicaraan. “Kau tahu bahasa bunga?”
Ia dapat melihat Yoongi menggelengkan kepala dari ekor matanya. “Semua jenis bunga memiliki pesan masing-masing, bahkan jenis yang sama dengan warna berbeda pun memiliki arti yang berbeda pula.”
“Seperti mawar merah untuk mengungkapkan cinta?”
“Benar. Sebenarnya banyak perbedaan dalam penafsiran bahasa bunga, seperti sebagian orang menganggap mawar kuning menggambarkan rasa cemburu, sedangkan sebagian lain menganggapnya identik untuk hubungan persahabatan erat.”
“Jangan bilang pekerjaan sambilanmu menjadi florist,” tandas Yoongi dengan nada jenaka.
Seokjin tertawa. “Kuharap. Tapi tidak, kebetulan salah satu pegawai toko bunga langgananku sedikit banyak bicara dan sering mengajariku banyak tentang bahasa bunga.”
Setelah berpikir sejenak, Yoongi memilih untuk bercanda, “Lalu kau mau memberikan bunga seperti apa? Fuck you bouquet?”
“Sudah kubilang aku merasa senang untuk mereka,” Seokjin tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum lebar mendengar lelucon itu. Ia dapat membayangkan buket bunga berisikan anyelir kuning (kau mengecewakanku) dan geranium (dasar bodoh), mungkin ia harus melakukannya sebagai candaan.
Mereka sampai di toko bunga tepat pada pukul dua belas siang. Tidak ada pengunjung lain selain seorang remaja yang sedang membayar di kasir, sedangkan hanya ada satu orang pegawai yang berjaga di tengah toko.
Memastikan Yoongi mengikuti di belakangnya, Seokjin menyapa pegawai yang telah ia kenal setahun belakangan. “Hoseok, apa kabar?”
Lelaki yang menggunakan celemek kuning cerah itu menyambutnya dengan pelukan. “Aku merindukanmu! Kau sama sekali tidak mampir selama musim dingin.”
Tertawa menanggapi, Seokjin menunjuk ke arah Yoongi setelah pelukan Hoseok lepas dari tubuhnya. “Ini… temanku. Yoongi, ini Hoseok. Dia anak Fakultas Sastra yang bekerja sambilan di sini.”
Yoongi meraih jabatan tangan Hoseok, mengulang kembali namanya dan sedikit takjub melihat energi pemuda itu. “Senang mengenalmu,” ia berbasa-basi. Yoongi tidak mengerti kenapa ia merasa sedikit risih.
“Hose, aku butuh buket bunga untuk diberikan pada pasangan yang bertunangan.”
Selama beberapa saat, Seokjin berdiskusi dan berbincang dengan Hoseok di pinggir ruangan. Ia telah meminta Yoongi untuk berkeliling dan menunggunya, berdiskusi tentang bunga akan memakan waktu lama karena antusiasme Hoseok terhadap pekerjaannya.
“Aku butuh satu buket bunga lagi,” bisik Seokjin setelah memastikan Yoongi berada di sudut ruangan berbeda. “Yang kecil juga cukup. Aku ingin daffodil, poppy, heather putih… dan mawar oranye. Bagaimana menurutmu?”
“Itu berantakan,” ungkap Hoseok jujur. “Tapi kurasa aku bisa mengakalinya.”
“Bagus,” Seokjin tersenyum puas.
“Biar kutebak. Untuk temanmu yang di sana? Dia sedang patah hati?”
Toko bunga yang telah menjadi langganan Seokjin untuk mengisi vas di apartemennya ini telah beroperasi lebih dari tiga tahun. Seokjin tidak sengaja menemukannya di tahun pertama kuliah; pemiliknya ramah, bunga yang dijual cukup lengkap, dan Hoseok adalah teman yang menyenangkan. Ia sering mampir hanya untuk bercengkrama, kadang ikut membantu ketika toko cukup ramai seperti di akhir musim semi.
Hoseok adalah teman yang baik, tapi intuisinya kadang cukup untuk membuat Seokjin merinding ngeri.
Mereka kembali berbincang seraya menunggu buket bunga milik Seokjin yang sedang disiapkan. Hampir setengah jam kemudian, Seokjin memeluk Hoseok dan berjanji akan segera kembali mampir di waktu luang.
“Kau terlihat akrab sekali dengannya,” ucap Yoongi sesampainya mereka di dalam mobil. Seokjin dengan cekatan meletakkan buket bunga di lantai mobil tepat di belakang kursinya, hanya berdengung singkat sebagai tanggapan.
Buket bunga kecil yang ia siapkan untuk Yoongi masih berada dalam pangkuannya. Seketika ia merasa ragu, terutama melihat Yoongi yang tiba-tiba sibuk memandangi kaca jendela seolah ia tidak baru saja berada di luar sana.
Ini tidak berlebihan, ‘kan? Lagipula bunga yang ia pilih memiliki maksud spesifik, bukan gombal mengejar cinta.
“Untukmu.”
Seokjin berusaha meneliti ekspresi di wajah Yoongi yang tersentak sebelum mengerutkan dahi melihat sebuah buket bunga dijajalkan di depan wajahnya. Ia mendecak, lalu memaksa Yoongi untuk menerimanya.
“Untukku? Kenapa…?”
“Kau sendiri yang bilang ini kencan,” Seokjin berpura-pura sebal, menyalakan mobil dan kembali memfokuskan diri pada Yoongi yang terlihat kehabisan kata di bangkunya. “Aku tidak akan memberi tahu arti bunga-bunga itu, lho. Kau harus berusaha sendiri.”
Beberapa saat kemudian, Yoongi tersenyum lebar—membisikkan terima kasih dan terburu membuka handphone-nya (Seokjin tebak laki-laki itu akan meng-google arti dari bunga-bunga yang ia berikan).
Melihat senyum Yoongi, detik itu Seokjin sadar ia jatuh cinta; pada orang yang tidak terlalu ia kenal dan hanya dalam frekuensi dua kali berjumpa.
❋
Ketika masuk ke dalam toko bunga, Yoongi dapat mencium harum manis bunga yang bercampur dengan tanah lembab. Banyaknya ventilasi di sana cukup membantu hingga wewangian di dalam toko tidak terlalu menyengat.
Aneka ragam bunga yang bergelimpangan dengan berbagai warna untuk sesaat membuat matanya berdenyut akibat tak terbiasa. Indah, tapi bukan sesuatu yang sering netranya temukan di hari-hari lainnya. Yoongi tahu beberapa jenis bunga standar seperti tulip dan mawar, itu pun ia sama sekali tidak memahami bahasa bunga.
Ia dapat melihat seorang lelaki yang langsung berlari ke arah Seokjin begitu mereka sampai di tengah ruangan—senyumnya begitu cerah, terutama ketika Seokjin membalas pelukannya. Setelah berkenalan, Yoongi tahu namanya adalah Hoseok, mahasiswa di kampus yang sama dengan kampus di mana ia dan Seokjin menuntut ilmu beberapa tahun belakangan.
Yoongi tidak terlalu mengenal Seokjin, ia tidak tahu apakah sikap kikuk lelaki itu adalah sifat asli atau sekedar sifat yang bertahan di depan orang yang tidak terlalu laki-laki itu kenal. Namun melihat bagaimana sudut bibir Seokjin tidak kunjung turun selama berbincang dengan Hoseok, Yoongi dapat menebak bahwa Seokjin masih banyak menahan diri dalam menunjukkan ekspresi di depannya.
“Aku tinggal sebentar, tidak apa-apa?”
Mana mungkin Yoongi mengatakan bahwa ia ingin ikut memilih bunga bersama Seokjin dan memisahkan tangan Hoseok di pinggang teman kencannya itu?
Untungnya, toko bunga itu dengan murah hati melabeli tiap keranjang dengan nama bunga di dalamnya untuk sedikit mengalihkan perhatiannya. Yoongi berusaha menepis apapun yang otaknya tawarkan, seperti melirik Seokjin dan Hoseok yang berdiri berhadapan terlalu dekat. Ia membaca satu persatu nama bunga yang ia lewati, tapi tawa dua orang di seberang ruangan terus-menerus mengganggu konsentrasinya.
Sebut dirinya posesif, tapi hari ini Seokjin adalah teman kencannya. Yoongi pikir adalah hal yang sah untuk dirinya merasa dinomor duakan. Seokjin bahkan belum pernah sekali pun tertawa selepas itu di depannya.
Waktu berjalan cukup lama akibat rasa dongkol yang menggangguinya. Sebenarnya Yoongi bisa saja menghampiri Seokjin, namun ia tidak mau menyakitkan mata dan merasa menjadi third-wheeler di antara dua lelaki bersurai cokelat itu. Ia terlalu sibuk dengan pertimbangannya hingga tanpa sadar sudah kembali berada di dalam mobil dan duduk di kursi penumpang.
Buket bunga yang Seokjin beli berukuran cukup besar dengan mayoritas bunga mawar putih. Yoongi juga melihat satu buket kecil lain di pangkuan sang Kim; mungkin akhirnya Seokjin mengikuti sarannya dan membeli fuck you bouquet sebagai candaan (atau serius, entahlah).
Menghela napas, ia melihat ke luar jendela dan merutuki diri sendiri. Yoongi tidak bercanda tentang kencan, tidak pula tentang dirinya yang tertarik pada Seokjin. Tapi ia tidak tahu hanya dalam beberapa jam, Seokjin dapat menarik sisi lain dirinya yang bahkan jarang muncul ketika ia memiliki pacar dulu. Cemburu.
Bahkan Yoongi tidak sekali pun teringat akan mantan kekasihnya hari ini, kecuali di saat ia sengaja membahasnya di Kennington Lane pagi tadi.
“Untukmu,” ia mendengar suara Seokjin dan otomatis mengangkat wajah dari jendela, mendapati buket bunga yang sebelumnya berada di atas pangkuan Seokjin kini diulurkan di depan wajahnya. Ia mengerjap bingung lalu mengambilnya ketika Seokjin mulai terlihat tidak sabar.
Yoongi harap ini bukan fuck you bouquet seperti yang ia perkirakan.
Terdapat empat jenis bunga di sana—buket itu tidak terlihat mewah, cenderung pucat karena didominasi warna putih, kuning dan oranye. Yoongi masih memandangi bunga di tangannya ketika ia tanpa sadar bertanya, “Untukku? Kenapa…?”
“Kau sendiri yang bilang ini kencan,” jawab Seokjin sebelum menyalakan mobilnya. “Aku tidak akan memberi tahu arti bunga-bunga itu, lho. Kau harus berusaha sendiri.”
Setengah jam lalu, Yoongi masih yakin Seokjin tidak mau menyebut hari ini sebagai kencan. Padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan lawan bicaranya itu bahwa ia seratus persen waras, bukannya bereksperimen karena patah hati dan putus asa. Sekarang mendapati Seokjin akhirnya mengakui kencan mereka, ia tidak dapat menahan lengkungan di bibirnya untuk merekah lebar.
“Terima kasih,” gumamnya tanpa sedikit pun menyamarkan rasa senang yang kini menguasainya. Semua perasaan menyebalkan di dalam toko bunga telah lenyap tak bersisa.
Ia merogoh saku dan mengeluarkan handphone, bermaksud untuk mencari tiap nama bunga di buket yang Seokjin berikan beserta tiap artinya. Yoongi hanya mengenal satu di antaranya, yaitu mawar oranye.
They’re known to symbolize feelings of excitement and enthusiasm. Also often to express “I’m proud of you”.
Dadanya terasa hangat.
“Yoongi, ada ide ke mana kita harus pergi?”
Masih sulit mengontrol senyum di wajahnya, Yoongi berdeham dan mengabaikan handphone-nya sesaat. Perutnya masih terasa kenyang untuk menyantap makan siang. “Outdoor cinema?”
Seokjin mulai menjalankan mobilnya, mengerutkan dahi dan memastikan, “Jam segini?”
“Aku tidak keberatan kalau kau ada ide lain.”
Usulannya tidak masuk akal, Yoongi tahu namun ia tidak memiliki ide yang kebetulan lewat. Ia bersyukur Seokjin hanya memicingkan mata dan tidak mendesaknya untuk mencari destinasi yang lebih masuk akal; Yoongi hanya ingin mencari tahu arti dari bunga-bunga ini secepat mungkin.
Dengan search engine secanggih google pun, ia masih kesulitan mencari arti bunga yang sama sekali tidak ia ketahui jenisnya. Ketika ia hendak bertanya, Seokjin baru saja memarkirkan mobil dan membuatnya mengintip ke luar jendela.
“Serpentine? Kau tidak akan kedinginan?”
“Apa bedanya dengan outdoor cinema?” Seokjin keluar dari mobilnya. “Ayo.”
Mereka berakhir duduk di atas perahu kecil, mendayungnya hingga ke tengah danau dan berhenti untuk menikmati udara juga pemandangan. Matahari sudah menampakkan diri, mendukung cuaca sedikit lebih hangat dan juga ramah.
Ia mendapati Seokjin menengadah, membiarkan sinar matahari bermain di wajah tampannya dan menarik senyuman singkat. Yoongi meletakkan pedal di depan tubuhnya, sebisa mungkin berusaha agar tidak terpana.
“Yang berwarna putih dengan ukuran sedang,” ia berkata ambigu. “Itu bunga apa?”
Senyum miring Seokjin membuatnya menyesal telah bertanya. “Apa yang kudapat dengan memberikanmu petunjuk?”
Jika ia harus berkata jujur, maka sikap pasif-agresif Seokjin benar-benar membuatnya frustasi. Seokjin bisa menjadi orang paling kikuk yang sangat mudah untuk digoda, tapi di kesempatan lain ia bersikap layaknya memegang kendali dengan penuh percaya diri.
Bagi Yoongi, Seokjin adalah enigma. Ia merasa begitu tertarik untuk memecahkannya.
“Beri tahu aku, setelah itu aku akan memberikan hadiahnya.”
Seokjin mengangkat sebelah alisnya penasaran, memilih untuk tidak mendesak lebih lama dan memberi jawaban yang Yoongi inginkan. “Poppy.”
Nama bunga itu terdengar familiar. Sial, seharusnya Yoongi menanyakan bunga lain yang lebih asing di matanya. Well, selalu ada kesempatan selanjutnya.
Melambaikan tangannya sebagai gestur memerintahkan Seokjin untuk mendekat, Yoongi tidak berpikir panjang ketika Seokjin menurutinya—ia mengecup hidung Seokjin dalam sekali gerakan.
Secara refleks, Seokjin memundurkan tubuhnya dan menyebabkan perahu yang mereka naiki bergoyang hingga nyaris terbalik dan kehilangan keseimbangan. Keduanya bersumpah serapah, kemudian saling menatap satu sama lain setelah perahu tak lagi bergerak liar. Pertama kalinya hari itu, Yoongi melihat Seokjin tertawa lepas di hadapannya.
Cahaya matahari memperjelas wajah Seokjin yang telah berubah merah, entah dikarenakan kecupan lugu atau geli hampir tercebur. Yang mana pun itu, Yoongi tidak bisa membohongi diri bahwa Seokjin terlihat begitu sempurna dengan wajah bahagia bercampur tersipu. Ia dengan bangga mengklaim pemandangan di depannya sebagai maha karya dari tindakannya.
“Itu bukan hadiah,” gerutu Seokjin berusaha menunjukkan sebal, namun gagal karena cengiran lebar di wajahnya. Yoongi menyadari bagaimana mata Seokjin sebisa mungkin menghindari tatapannya, sibuk memainkan dayung dan berpura-pura mencari ikan.
Ia mengeluarkan handphone dan mengetik cepat, membuka beberapa website yang menjelaskan makna dari bunga poppy lalu kembali memandangi Seokjin yang tengah heboh melihat segerombolan ikan tak jauh dari perahu mereka berada.
“Di sini dibilang bunga poppy sering dikaitkan dengan tidur, kedamaian, dan kematian,” Yoongi menatap Seokjin penuh tuduhan. “Kau mendoakanku cepat mati?”
“Oh, astaga,” Seokjin terlihat menahan tawa. “Aku sudah bilang bahasa bunga itu beragam. Beda kultur dan tradisi akan merubah segalanya,” jelasnya kemudian. “Hoseok hanya memiliki poppy putih tadi. Tapi yang ingin kusampaikan sebenarnya makna garis besar bunga poppy secara keseluruhan, yaitu recovery.
“Yoongi, kuharap hatimu cepat pulih.”
Jantungnya terasa seperti dicengkram, tapi Yoongi sama sekali tidak merasa sesak napas. Alih-alih demikian, ia justru merasa begitu damai dan lega. Ketulusan Seokjin membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.
Kurasa hatiku sudah pulih.
❋
Kebanyakan outdoor cinema beroperasi di musim panas. Seokjin sama sekali tidak memiliki ide mengenai pemutaran film outdoor di musim semi, terutama di siang hari. Jadi ia menyarankan teater sebagai jalan keluar.
Beberapa teater di London menghadirkan pertunjukan siang, misalnya Lyceum Theatre yang kebetulan menayangkan The Lion King musikal hari ini. Mereka sampai di teater tepat sepuluh menit sebelum pertunjukan mulai—ia telah membeli tiket lebih dulu dalam perjalanan.
Sebenarnya Seokjin tidak berekspektasi tinggi. Kegiatan ini hanya mereka lakukan karena tidak memiliki ide lain akan apa yang harus dilakukan di siang hari, terutama ketika perut masih cukup kenyang dan menolak untuk kembali diisi. Tapi ternyata pertunjukan itu berhasil membuat keduanya nyaris tidak dapat mengedipkan mata selama dua setengah jam.
“Berhenti menangis,” ucap Yoongi ketika mereka keluar dari ruangan. Seokjin melemparkan tatapan kesal karena demi Tuhan, ia sudah berhenti menangis sejak sepuluh menit lalu.
“Astaga, tadi benar-benar,” Seokjin menghela napas kehabisan kata. “Luar biasa.”
“Aku baru saja ingin bilang mahal,” tandas Yoongi tanpa perasaan. Ia segera menambahkan dengan, “Tapi kau benar. Aku belum pernah menonton teater musikal sebelumnya dan itu jauh dari dugaanku.”
Seokjin mengangguk setuju; Yoongi tidak tahu lelaki itu menyetujui pernyataan mahal atau jauh dari dugaan. “Kau pasti berpikir akan membosankan, ‘kan?” tanya Seokjin, tersenyum angkuh dan merasa bangga karena pilihannya yang sempat membuat Yoongi berpikir dua kali ternyata berujung mengesankan.
“Itu teater musikal. Dan Lion King. Aku sudah menonton filmnya berkali-kali,” Yoongi membela diri. “Kau sendiri kenapa belum pernah menontonnya?”
Berjalan beriringan menuju parkiran, Seokjin terlihat senang dan melompat-lompat kecil hampir di tiap langkahnya. “Aku sering menonton teater bersama orang tuaku, tapi biasanya genre klasik. Itu baru membosankan.”
Kali ini Yoongi menentukan destinasi mereka selanjutnya, yaitu sebuah restoran yang sering ia kunjungi untuk makan malam karena berada di daerah yang cukup sepi. Ia berusaha memancing Seokjin yang terlihat berada dalam mood puncaknya di hari ini dengan berkata, “Karena kau senang, beri tahu aku tentang bunga kuning ini.”
Tentu Seokjin tidak semudah itu memakan umpannya. Lelaki yang lebih tinggi itu mencibir, masih fokus dengan kemudi dan menimbang dalam diam. Seokjin tahu jika ia tidak memberi petunjuk, mungkin Yoongi baru dapat mengartikan tiap bunga di buketnya minggu depan.
Yang mana sebenarnya tidak masalah. Bunga-bunga itu memiliki arti masing-masing, namun Seokjin tidak merasa Yoongi harus mengetahui semua artinya. Dua bunga sebelumnya sudah cukup untuk menjelaskan inti dari buket yang ia berikan, sebagai penyemangat dan dukungan agar Yoongi dapat merasa setidaknya sedikit lebih senang.
Tapi Seokjin adalah pecundang untuk melihat senyum di wajah Yoongi, maka ia mengalah dan menunjuk bunga-bunga putih kecil yang menghias pinggir buket pemberiannya. “Heather putih,” dan karena ia murah hati, ia melanjutkannya dengan penjelasan, “Semoga beruntung dan keinginanmu tercapai.”
Apapun yang Yoongi harapkan, Seokjin benar-benar berdoa agar Tuhan meluangkan waktu untuk mengabulkannya.
❋
Tidak ada hari yang sempurna. Yoongi pikir hari ini akan menjadi salah satu hari itu, namun nyatanya tidak.
Flour and Grape hari itu tidak ramai, persis seperti hari-hari lainnya. Orang-orang melewatkan berlian tersembunyi ini karena bagian daerah Bermondsey Street sekitar sini cenderung jarang dilewati. Yoongi bersyukur salah satu temannya merekomendasi dan ia menuruti.
Pasta yang dihidangkan luar biasa, begitu pula segelas sparkling wine yang menemani hidangan utama. Tapi di saat Seokjin menatapnya kecewa, Yoongi benar-benar membatu dan otaknya berhenti bekerja selama sesaat.
Permasalahan kecil ini dimulai ketika Seokjin sibuk berbalas pesan di saat menunggu pesanan datang. Yoongi tidak tahu kenapa ia merasa begitu penasaran (ia tahu, semua itu karena senyum konyol di wajah teman kencannya), lalu bertanya tanpa pikir panjang dengan siapa Seokjin tengah menjalin hubungan sekarang.
“Tidak ada,” ia ingat Seokjin menjawab. Yoongi mendorong keberuntungannya dengan bertanya, “Kalau begitu siapa yang sedang kau kirimi pesan?”
Seokjin menepisnya layaknya angin lalu, menjawab klise dengan hanya seorang teman dan kembali fokus pada handphone-nya sebelum meletakkannya di atas meja. Mereka menyantap hidangan dalam diam, menyesap wine tanpa berbincang—dan Yoongi tidak berpikir panjang karena suaranya keluar lebih dulu dari perintah otaknya.
“Kau tidak perlu berbohong padaku kalau kau sudah punya pacar. Tapi seharusnya kau bilang dari awal, aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan orang.”
Itu kesalahan. Yoongi menyesalinya dan ingin meminjam arloji Hermione Granger untuk memutar kembali waktu dan menarik ucapannya.
Tatapan kecewa Seokjin benar-benar membuatnya merasa luar biasa bersalah. Yoongi tidak tahu apa yang membuatnya begitu sensitif melihat Seokjin tersenyum dikarenakan orang lain—entah itu Hoseok di toko bunga tadi siang, atau siapa pun itu yang tengah bertukar pesan dengan lelaki di depannya.
“Masih lebih baik daripada laki-laki yang terang-terangan menjadikan orang lain pelampiasan untuk move on,” kalimat Seokjin terdengar pedas dan tepat sasaran.
Yoongi ingin membela dirinya dengan berkata bahwa ia sama sekali bermaksud membuat Seokjin merasa dijadikan pelampiasan, tapi ia tidak dapat mengelak bahwa dari sudut tertentu, tanpa sengaja ia memang menjadikan Seokjin batu lompatan untuk melupakan mantan kekasihnya. Dalam arti serius, benaknya menambahkan.
Namun ia tidak merasa ada yang salah dengan itu. Yoongi membuat intensinya jelas sejak awal; ia ingin membuktikan apakah benar yang orang-orang katakan tentang cara paling baik mengatasi patah hati adalah jatuh cinta dengan orang lain. Ia juga berkata kalau hari ini tidak berjalan lancar, tidak ada yang perlu ambil hati dan mereka bisa menjadi teman baik ke depannya. Yoongi juga berusaha untuk apa adanya, menunjukkan ketertarikannya agar Seokjin sadar bahwa ia tidak menjadikan kencan ini permainan semata.
Apa yang salah?
“Kau bersikap seolah kau adalah pacarku,” ucap Seokjin seolah membaca pikirannya. “Sedangkan yang kutahu besok kita akan kembali menjadi dua orang sekedar saling kenal yang tidak pernah dihampiri kebetulan untuk saling berpapasan.”
Yoongi seharusnya menyela dan berkata bahwa ia benar-benar serius ingin mencoba mengencani Seokjin ke depannya, hanya saja ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya secara implisit agar tidak terlalu terdengar norak. Ia berakhir terdiam dan fokus dengan pikirannya yang berusaha keras merangkai kata.
“Jangan terlalu hanyut dalam memainkan peranmu sebagai teman kencanku,” Seokjin membuang wajahnya dan memandang kosong meja di seberang ruangan. “Bagaimanapun ini hanya untuk satu hari.”
“Sudah selesai mengomel?” tanya Yoongi mengundang Seokjin mendengus kentara. Ia menghela napas, melirik tangan Seokjin yang menganggur di atas meja dan menahan diri untuk tidak meraihnya. Jantungnya berdebar keras dan untaian kata yang tersusun rapi dalam otaknya melebur dalam sekejap.
Wajahnya terasa panas. Yoongi tidak ingat kapan terakhir kali ia merasa gugup hanya karena ingin berbicara. “Kau bukan pelampiasan,” itu terdengar seperti bualan, aku tahu. “Dan ini bukan hanya untuk satu hari.”
Seokjin kembali memandangnya, tanda tanya imajinatif memenuhi kepalanya dalam sekejap. “Maksudku kalau kau berkenan, tentu saja,” ia merutuk dalam hati karena salah tingkah mendapati sepasang iris Seokjin menatap wajahnya.
“Aku benar-benar tertarik untuk berkencan denganmu. Besok, lusa, setiap hari—sebanyak mungkin,” Yoongi menggigit bibirnya ragu, mengedarkan pandangan dan melanjutkan, “Dan kurasa kau berhasil menjalankan tugasmu hari ini.”
“Tugasku?”
“Tolong jangan membuatku mengulangnya, itu menggelikan.”
Reka ulang adegan di Kennington Lane berputar cepat dalam pikiran Seokjin; Yoongi dapat melihat telinga lelaki itu memerah dalam sekejap. “Kim Seokjin, sebagai teman kencanku hari ini, tugasmu adalah membuatku jatuh hati padamu.”
Kesadaran menyambar Seokjin layaknya kilat. Lelaki itu mengambil handphone-nya, beberapa kali menyentuh layar sebelum menghadapkan layar handphone di depan wajah Yoongi yang langsung menyipitkan mata untuk membaca karena jarak yang terlalu dekat.
“Namjoon. Aku sedang berkirim pesan dengan Namjoon dan berusaha mencari jalan keluar dari krisis hidupku,” Seokjin mengerlingkan mata, terlihat seperti teringat akan satu hal yang membuatnya jengah. “Aku tidak skeptis.”
Memiringkan kepala, Yoongi seolah bertanya, apa maksudnya?
“Aku percaya manusia bisa jatuh hati dalam waktu sekejap, karena aku mengalaminya ketika kita pertama kali bertemu dulu,” suara Seokjin terdengar lembut diiringi dengan senyuman hangat. “Walaupun aku baru menyadarinya beberapa saat lalu sih.”
Yoongi tidak bisa mempercayai pendengarannya. Ia hanya dapat bergeming dengan mulut setengah terbuka. Seokjin memintanya untuk membuka handphone dan mencari bahasa bunga terakhir yang tak lain adalah daffodil.
…It symbolize happiness, optimism, and new beginnings.
Bunga heather putih sepertinya mujarab sebagai pengabul permohonan. Awal baru. Tepat seperti apa yang Yoongi butuhkan saat ini. Ia mendongak untuk melihat Seokjin yang duduk menciut di kursinya, teringat bahwa malam telah datang dan satu hari mereka akan segera selesai apabila ia tidak melakukan suatu hal untuk membatalkan akhir dari sebuah hari spesial setelah sekian lama.
“Aku belum mau pulang,” pinta Yoongi penuh harap. Ia tahu Seokjin tidak bisa menolak permintaannya.
❋
Mereka duduk bersebalahan di salah satu café pada pinggir Sungai Thames, ditemani rasa canggung dan wajah yang masing-masing merona lucu. Keduanya menghadap ke arah permukaan air sungai dan hanyut dalam keheningan untuk waktu yang cukup panjang. Umur memang tidak berpengaruh banyak jika telah menyangkut komplikasi perasaan.
“Kenapa kau menggunakan barang ilegal?” Yoongi bertanya, kali ini terdengar serius dan bukan sekedar penasaran.
Seokjin tahu jawaban coping mechanism tidak akan cukup untuk memuaskan Yoongi, jadi ia berhenti mencari alasan dan memutuskan untuk menjawab apa adanya. “Tekanan dari orang tuaku berujung pada gaya hidup tidak sehat,” ia tahu suaranya masih terdengar enggan untuk mengelaborasi lebih panjang, karena memang itulah yang ia rasakan. “Aku serius tentang bad coping mechanism.”
Ia dapat merasakan Yoongi meraih tangannya, masih menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kini dapat ia definisikan dikarenakan apa. Ia menyukai laki-laki ini; orang yang beradu teriakan dengannya pada pertemuan pertama, orang yang sama dengan yang membuatnya sakit kepala tadi pagi ketika sarapan.
“Aku senang bisa mencegahmu.”
“Apakah kau bisa mencegah dirimu sendiri?”
Tatapan Yoongi tidak menuntut, Seokjin hanya bisa melihat kepercayaan besar di baliknya. Hal itu mendorong Seokjin untuk mengeratkan genggaman di tangannya; sama sekali tidak menduga pertanyaan itu akan datang.
“Aku bisa mencobanya,” suaranya tidak terdengar ragu, namun tidak pula berkeyakinan penuh. Seokjin selalu menganggap dirinya bukanlah pecandu, ia dapat berhenti kapan pun ia mau. Tapi pikirannya mendadak penuh oleh kemungkinan terburuk.
“Aku sangat senang mendengarnya,” gumam Yoongi diikuti oleh senyuman yang langsung menghapuskan semua keresahan yang tengah menerpa, menyelimutinya dengan haru dan kebahagiaan tak masuk akal. Seokjin memandangi senyum Yoongi dalam diam, bertanya-tanya mengapa semua pikiran buruk dan keraguannya mendadak hilang.
Senyum itu jawabannya. Wajah bahagia tanpa dibuat-buat itu jalan keluarnya.
Sejak awal, Seokjin sadar ia tidak berharap banyak. Jika ia boleh memberi komentar dan sedikit menyombongkan diri, hatinya memberi reaksi yang begitu mulia tanpa tuntutan. Ia tidak merasa sedih ketika Yoongi bercerita sulit melangkah maju dari mantan kekasihnya, namun ia justru merasa sedih karena melihat Yoongi menahan perih ketika bercerita.
Seokjin juga sadar bahwa hal-hal yang mereka lakukan hari ini sebenarnya didominasi oleh kegiatan kecil yang dijalani kebanyakan pasangan pada hari-hari normal, tapi ia sama sekali tidak merasa keberatan karena yang paling penting bagi dirinya adalah melihat senyum Yoongi dan matanya yang seolah berbinar karena antusias.
Mereka baru saling mengenal, fakta itu tidak dapat diganggu gugat. Pekerjaan rumah mereka menumpuk di atas meja—Yoongi mungkin yakin sudah jatuh hati dan Seokjin mungkin yakin ia dapat berhenti melakukan bad coping mechanism yang menemani hidupnya sejak masuk kuliah, hanya saja ia tahu akan butuh waktu hingga Yoongi benar-benar melupakan mantan kekasihnya, begitu pula dengan dirinya untuk terbiasa meninggalkan kebiasaan lama.
Tapi Seokjin tidak peduli berapa banyak waktu yang harus mereka habiskan untuk benar-benar berubah, meninggalkan kehidupan lama dan sampai pada titik di mana kata berhasil bukan hanya sekedar angan belaka. Seokjin benar-benar tidak berharap banyak. Selama Yoongi tidak bersedih, selama senyum penuh gusi itu hadir lebih dari sekedar sering—
“Mm. Aku juga senang.”
Ia mengabaikan tatapan penuh tanya Yoongi, mengulum senyum dan kembali memandangi permukaan air setelah mencuri pandang ke arah tangan mereka yang masih bertautan; suatu hari nanti, di saat yang tepat, ia akan berani mengutarakannya terang-terangan.
—as long as you’re happy, I’m happy too.