Speak Now
Track 13 – Last Kiss [KangYe/AU]
[—Your name forever the name on my lips.]
.
.
“Kau mencintaiku. Akui itu.”
Kim Jongwoon terperangah dengan bodohnya. Ia hanya tak menyangka ada manusia dengan tingkat percaya diri di atas rata-rata seperti manusia di depannya. Lagipula siapa pula yang jatuh cinta? Ini namanya fitnah.
—Oh, dan Jongwoon tak bermaksud munafik, tentu saja.
Saudara jauhnya ini memang tampan, cerdas, dan menarik. Banyak orang bertekuk lutut hanya karena senyuman atau seringai menyebalkannya. Tapi Jongwoon membenci senyumannya—karena senyuman saudaranya itu adalah yang pertama kali ia lihat ketika dirinya tercebur ke dalam kolam berenang berkedalaman dua meter di umur lima tahun akibat, yeah, orang itu sendiri.
Mereka tak pernah akur layaknya saudara. Jongwoon bahkan sempat berpikir bahwa ia membenci Kangin—si saudara bersurai sama dengannya; brunette. Kenapa pula warna rambut mereka harus sama?
“Hyung, sepertinya kau mabuk.”
Lima detik kemudian, Jongwoon dapat merasakan bibirnya menempel dengan bibir orang di hadapannya—yang mana membuktikan bahwa Kangin benar-benar mabuk tingkat akut—menyebabkannya mematung akibat keterkejutan yang melanda.
Tidak ada bau alkohol. Jongwoon menendang tulang kering kakaknya hingga ciuman singkat itu terlepas. Jika tidak mabuk, berarti kakaknya itu sudah gila.
“Ya! Apa yang kau lakukan?” protes Kangin seraya menahan rasa sakit di kakinya. Ia melirik Jongwoon yang berdiri di hadapannya—mematung, tak bergerak dengan mata membulat sempurna. Kangin ingat betapa senangnya ia mengganggu saudaranya itu dulu; hanya demi melihat wajah manis yang ketika kesal dua kali lipat lebih menggemaskan.
Jongwoon meraba bibirnya kaku. Ada apa dengan lelaki bermarga sama dengannya ini? Ia merasa kesal dan marah, namun Jongwoon tak dapat memungkiri ada perasaan lain yang ia rasa—sebuah perasaaan yang tak teridentifikasi namanya—entah datang dari mana.
Sebenarnya Kangin tak serius dengan pernyataan bahwa Jongwoon mencintainya; berkebalikan dengan apa yang ia katakan, Kangin sadar bahwa dirinya lah yang telah takluk pada pesona Jongwoon sejak lama. Tanpa ia sadari, tak tahu sejak kapan, dan terus tumbuh hingga sulit untuk menutupinya.
“Apa susahnya jujur, Jongwoon-ah? Hanya ada kita berdua di sini.”
Sekali lagi ia mengucapkan sesuatu yang seharusnya ia tujukan untuk dirinya sendiri. Kangin tahu alasan mengapa ia susah berkata jujur—ia terlanjur meninggalkan terlalu banyak kenangan menyebalkan pada Jongwoon, dan menerima penolakan sangatlah… menyebalkan.
Pemuda lebih pendek darinya itu pasti bingung dan menganggapnya gila. Kangin tahu semua yang ia katakan dan lakukan sangatlah tak masuk akal. Ia mengatakan hal-hal aneh dan mencium seorang lelaki berumur empat belas tahun yang memiliki hubungan saudara dengannya. Bagian mana yang tidak tak masuk akal?
Di sisi lain, Jongwoon mendengus tak habis pikir. Ia yakin Kangin tak mabuk, namun entahlah jika kakaknya itu ternyata mengalami kelainan jiwa. Masih dengan berbagai perasaan aneh yang menyergap dirinya, dalam satu tarikan napas, ia memberanikan diri menatap sepasang mata onyx Kangin, berkata, “Aku tidak mencintaimu. Mana mungkin aku mencintai seseorang sepertimu?”
Ada dentuman aneh dalam dada keduanya; Kangin mutlak dikarenakan penolakan, sedangkan Jongwoon merasa ia tengah membohongi dirinya—menyangkal sesuatu yang tak ia ketahui apa—mati-matian.
Dalam satu gerakan, Kangin menarik Jongwoon hingga jarak di antara mereka menipis dengan cepat. Jongwoon dapat melihat suatu kilatan aneh di mata Kangin, dan dadanya merasa sesak karenanya. Kakaknya itu menatapnya dalam, seolah berusaha menghanyutkan dirinya dalam pesona tak berbatas.
Dan kebohongan yang tak ia ketahui apa terbongkar dalam sekejap. Jongwoon mengerti apa yang ia coba untuk sembunyikan hingga sekarang—alasan mengapa detak jantungnya mulai bekerja melewati batas normal, juga perasaan senang yang tak didasari oleh apapun namanya.
Segalanya dikarenakan harga diri yang tinggi, ketakutan akan penolakan, juga rasa malu menghadapi kenyataan. Entah sejak kapan Jongwoon menahan napasnya, membiarkan wajah Kangin bergerak mendekati wajahnya, menempelkan bibir mereka hingga semua hal yang dapat ia lihat hanyalah Kim Youngwoon seorang.
Ada perasaan tidak rela yang Kangin rasakan jika ia harus melepaskan Jongwoon sekarang. Tak ada pula jaminan Jongwoon akan berada di sisinya jika ia menunda lebih lama. Kangin tersenyum kecil, sadar bahwa hubungan ini tidak akan membuahkan hasil. Ia hanya akan menyakiti Jongwoon di kemudian hari.
“Aku…” Jeda sesaat. Jongwoon tak mampu mengalihkan pandangan, mencoba mengabaikan detak jantung yang semakin menjadi saja. “—Sama denganmu, mana mungkin pula aku mencintaimu, Bocah.”
Lalu Kangin pergi, meninggalkannya seorang diri. Jongwoon tak dapat merasa disakiti lebih dari ini, di saat ia mulai mengakui akan apa yang ia rasa di dalam hati.
FIN
Credit title: Taylor Swift’s Third Album – Speak Now; Last Kiss
Don’t tell me how it ended up like this..