Seumur hidupnya, Seokjin tidak pernah memiliki satu prinsip khusus yang tidak dapat diganggu gugat. Apabila ia dikhianati oleh orang terdekatnya, ia cukup murah hati untuk memberi kesempatan kedua. Apabila hidupnya berubah menjadi neraka, ia akan mencoba untuk memaafkan siapapun yang menjadi penyebabnya. Jika Seokjin memiliki satu prinsip, maka prinsip itu adalah hidup dalam damai dan ketentraman.
Tapi ini—semua yang terjadi beberapa bulan belakangan, benar-benar jauh dari kata damai dan tentram. Tentu “hidup dalam damai dan ketentraman” bukanlah prinisipnya (Seokjin tidak pernah memiliki prinsip utama, ingat?), namun hidup dengan penuh kejutan dan perasaan-perasaan aneh yang tiba-tiba muncul ke permukaan juga bukanlah hal yang diharapkannya.
Ketika ia memutuskan untuk memberitahu Yoongi alasan sebenarnya dari berakhirnya hubungan mereka, Seokjin memutuskan untuk meletakkan hatinya di sana. Ia tidak menyesali keputusannya nyaris setahun lalu, hanya menyayangkan bahwa ternyata ia tidak sekuat itu. Yoongi pantas mendapatkan kebenaran yang tidak terdengar cukup berharga untuk penantian entah berapa bulan dan Seokjin pantas merasa patah hati akibat keputusannya secara sepihak. Semua berjalan adil.
Mungkin butuh banyak waktu hingga Yoongi memaafkannya dan butuh lebih banyak waktu bagi Seokjin untuk benar-benar berjalan maju, kali ini bukan sekedar mengubur perasaannya dan kabur ke dunia penghujung. Tapi semua itu bukanlah masalah karena ia telah menguatkan tekad dan bersumpah untuk berjuang.
Jadi ketika Yoongi bertanya dengan tatapan rapuh yang akan hancur begitu disentuh, Seokjin dapat merasakan tekadnya melebur dan lenyap tak bersisa.
“Kenapa…?”
Suaranya yang tercekat menunjukkan betapa mudah dirinya luluh dan berubah pikiran. Seokjin ingin meneriakkan betapa sulit baginya saat ini untuk berada di sini, berjarak satu meter dari orang yang baru ia sadari masih ia cintai, mendapatkan pertanyaan seolah ia masih memiliki arti.
Min Yoongi mencebik, tampak tenang seraya sibuk dengan pikirannya sendiri; sama sekali tidak terlihat berminat untuk menjawab pertanyaan retoris Seokjin. Aura kesal yang kentara masih terasa, membuat sang Kim semakin bertanya-tanya akibat tak ingin berharap.
“Ayo,” ajak yang lebih muda sejurus kemudian, mengundang tanda tanya besar bagi Seokjin yang mengerjapkan mata. “Jika kau memang harus pergi, aku akan menemanimu.”
Tidak ingin salah menafsirkan pendengarannya, Seokjin memastikan, “Kau akan menemaniku? Menemui Jaehwan?”
Jika Yoongi bergerak tidak nyaman ketika ia menyebut nama Jaehwan, Seokjin akan berpura-pura tidak menyadarinya. “Jangan membuatku mengeja kalimatku, Bodoh,” sungutnya seraya berjalan menuju ruang tengah, meninggalkan Seokjin yang bergeming masih tidak mempercayai pendengarannya.
Ketika ia memfokuskan diri dan sampai di ruang tengah, Yoongi tampaknya telah selesai berpamitan dan mengucapkan salam perpisahan. Ia dapat melihat seluruh pasang mata dalam ruangan menaruh perhatian padanya, tampak bingung dan seolah bertanya, “Apa yang terjadi?” Lewat tatapan mata.
Seandainya mata dapat berbicara, maka Seokjin akan memastikan matanya berkata, “Jangan tanya aku, aku pun tak mengerti.”
Mereka menyusuri koridor dalam diam, lalu di saat telah berada di dalam lift, Seokjin berusaha memastikan, “Kau yakin? Aku bisa mengurus—”
“Aku yakin,” tandas sang Min tidak sabar. “Kau pikir aku akan membiarkannya memiliki kesempatan untuk berdua bersamamu? Setelah kejadian itu? Tidak akan,” ia melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih tinggi, tak ayal membuatnya menghela napas begitu menyadarinya.
“Dengar, aku tahu ini bukan urusanku. Kau bukan lagi urusanku,” Yoongi menolehkan kepala, sedikit mendongak untuk menatap sepasang iris Seokjin yang lebih tinggi darinya. “Tapi biarkan aku melakukan ini. Aku ingin melakukannya.”
–
Sepanjang perjalanan, Seokjin tidak dapat berhenti memutarkan skenario-skenario buruk akan hal yang dapat terjadi nantinya. Terakhir kali Jaehwan yang sedang mabuk bertemu dengan Yoongi, kedua lelaki itu nyaris memukulkan gelas kaca pada kepala satu sama lain jika ia tidak menghalangi mereka.
Jaehwan takkan menyukai ini, batinnya lemas. Ia tidak dapat melakukan apapun untuk menolak permintaan Yoongi, tidak setelah ia sempat melihat betapa rapuh sosok itu ketika memintanya untuk tidak pergi. Tapi Yoongi pasti lebih tidak menyukai ini.
Berdiri di depan klub mewah yang hanya dapat dimasuki oleh orang-orang tertentu, Seokjin membenarkan posisi topinya, lalu melirik Yoongi dengan beanie kebanggaannya yang terlihat konyol namun menggemaskan. Ia mengalihkan pandangan ketika sampai di depan pintu masuk, mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas dan menunjukkannya pada petugas yang menghadang. Formalitas. Petugas itu pasti tahu siapa dirinya dan kepemilikannya akan kartu VIP di tangannya.
Suara musik terdengar keras begitu pintu dibuka lebar, cahaya minim, dan celotehan orang-orang dari seluruh penjuru arah. Seokjin bukanlah seseorang yang gemar mengunjungi klub malam; ia tidak dapat berdansa dan tidak dapat menemukan esensi untuk berada di sana.
Yoongi yang memahami itu memilih untuk berjalan lebih dulu, membukakan jalan untuk Seokjin yang mengikuti dari belakang. Ia berusaha mencari Lee Jaehwan di seluruh sudut ruangan, tidak menemukan sosok yang ia inginkan hingga matanya beralih pada meja bar.
“Di sana,” ucapnya pada Seokjin yang tampak linglung dan tidak mendengar perkataannya. Ia memberikan gestur pada Seokjin untuk mendekat, menguatkan suaranya di telinga sang Kim yang ia sadari memerah. “Jaehwan ada di sana.”
Duduk di kursi tinggi bar dengan kepala di atas meja, Jaehwan tampak begitu kacau dan menyedihkan. Si pemilik surai hitam berjalan mendekat, meraih pundak teman lamanya dan memberi tepukan dengan kekuatan yang seperlunya. Yoongi diam-diam berharap Jaehwan tidak akan sadar dan menyebabkan Seokjin harus menepuk lelaki itu dengan kekuatan sepuluh kali lipat.
Berkebalikan dengan harapannya, Jaehwan menegakkan tubuh dan langsung tersenyum sumringah melihat Seokjin di sisinya. Ia melebarkan kedua tangan, lalu memerangkap Seokjin dalam pelukan teramat erat. “Kau benar-benar datang!”
Mencoba mengalihkan perhatian Jaehwan dengan berdeham keras, Yoongi menyeringai kecil mendapati usahanya sukses besar. Sang Lee melotot tidak percaya, menyipitkan mata seolah memastikan apakah dirinya hanyalah sebuah halusinasi atau tidak. Ia melepaskan pelukannya pada Seokjin, menunjukkan satu jari telunjuknya pada Yoongi terang-terangan.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku datang bersamanya.”
Seokjin mengedikkan bahu ketika Jaehwan memicingkan mata padanya, mencari klarifikasi paling masuk akal untuk tidak memancing emosi siapa pun di antara dua orang yang kini memfokuskan diri padanya. “Aku sedang di apartemen Namjoon dan tidak membawa mobil. Yoongi menawariku bantuan.”
Dari sudut matanya, Seokjin menyadari bahwa Yoongi mendecih tidak menyukai apa yang ia katakan. Namun Yoongi tahu lebih baik dari siapa pun bahwa memberitahu yang sebenarnya hanya akan memancing emosi Jaehwan dan membuat nama mereka menjadi buah bibir di kalangan para artis esok harinya.
Meski tidak sepenuhnya menerima alasan Seokjin, Jaehwan merasa terlalu pening untuk mendebat. “Payah. Kau masih mengikutinya ke manapun meski telah ditinggalkan,” gumamnya cukup keras hingga Yoongi dapat mendengarnya dengan jelas.
Jangan terpancing oleh orang mabuk, yang lebih muda mengingatkan diri sendiri. Ia mendekatkan diri pada Jaehwan yang menatap kosong lantai, lalu berkata, “Masih lebih baik daripada laki-laki yang mabuk seorang diri dan menghubungi mantan kekasihnya meski telah memiliki pasangan.”
Tahu bahwa ini takkan berakhir dengan baik, Seokjin berusaha menengahi. “Oh, ayolah. Sudah cukup,” rasa kesal mulai menghampirinya. “Yoongi, bantu aku memapah Jaehwan ke mobilmu.”
Jaehwan mendelik mendengarnya. “Aku tidak mau dibantu olehnya!” Ia berseru tak terima, mengundang Yoongi untuk mengernyitkan dahi. Seokjin menghela napas untuk ke sekian kali, hendak memberi ceramah namun berakhir dipotong oleh Yoongi.
“Kau pikir aku mau membantumu?” Yoongi tersenyum mengejek. “Aku yakin kau tidak minum sebanyak itu. Hei, Seokjin-hyung, kenapa dulu kau mau berpacaran dengan lelaki bertoleransi alkohol yang jauh di bawahmu seperti ini?”
Astaga, Seokjin menjerit dalam hati. Dua orang ini benar-benar di luar kendalinya. Ia dapat melihat Jaehwan mendadak bangkit dari duduknya, menatap tajam Yoongi yang membalas dengan tatapan tak kalah menyeramkan. Mereka akan saling bunuh dan aku akan menjadi saksi hidup juga tersangka utama.
“Mau memastikan seberapa tangguh dirimu, Min Yoongi?”
“Apakah kau masih sanggup, Jaehwanie?”
Dentuman keras musik sama sekali tidak dapat membantu Seokjin untuk merasa rileks. Ia justru merasa semakin resah dan menemukan titik buntu untuk memisahkan keduanya. Tanpa sadar ia menahan napas ketika Jaehwan bergerak, tersenyum sinis dan memanggil bartender terdekat.
“Dua botol vodka dan satu sloki tambahan.”
Yoongi menyeringai, mengabaikan Seokjin dan duduk berjarak dua kursi dari Jaehwan.
Tidak satu pun skenario dalam otak Seokjin meliputi pertandingan minum alkohol antara dua mantan kekasihnya.
Tetap berdiri satu langkah di balik punggung Jaehwan dan Yoongi yang duduk sambil menuangkan dan mulai meminum minuman mereka, Seokjin dapat menebak hasil dari pertandingan tidak masuk akal ini. Lebih dari satu jam berlalu dan hasil yang telah diprediksi muncul secara tidak mengejutkan.
Toleransi alkohol Jaehwan memang tidak sekuat itu. Seokjin mengetahuinya, tapi ia tidak mengetahui berapa banyak Jaehwan telah menghabiskan minuman sebelum ini. Ia menatap ngeri botol vodka milik Jaehwan yang tersisa setengah dan botol vodka Yoongi yang nyaris tak bersisa.
Setelah meminta sang bartender untuk menyimpankan sisa botol Jaehwan, ia menghampiri Yoongi untuk memastikan kondisi lelaki itu. Jaehwan tampaknya telah tertidur dengan kepala bertumpu pada tangan di atas meja.
“Kau tidak apa-apa?”
Seraya meneguk jus jeruk yang ia pesan sebelumnya, Yoongi menatap Seokjin yang duduk di sisinya. Ia dapat merasakan wajahnya yang hangat, kepala pusing dan pandangan sedikit berbayang. “Ya, tentu saja.”
Kebohongan itu Seokjin terima tanpa banyak bertanya. Yoongi adalah yang terbaik dalam urusan bergelut dengan alkohol di antara semua orang dalam pertemanan mereka, jadi seburuk apapun keadaan Yoongi sekarang, Seokjin yakin sang Min dapat menanganinya dengan mudah.
Mereka berakhir membopong Jaehwan bersama dengan gerutuan tiada henti dari yang diberi pertolongan. “Jangan banyak bergerak. Kau berisik. Berat. Dan bau.”
Kalimat Yoongi tentu menyulut emosi Jaehwan yang langsung melepaskan diri dari dua orang di sisinya. “Aku masih memiliki tenaga untuk adu tinju, kau tahu?”
“Oh. Kurasa mengalahkanmu telak dengan alkohol dan pukulan pasti akan menyenangkanku.”
Keadaan area parkir yang kosong menyebabkan Seokjin bersyukur karena tak perlu menahan rasa malu. Ia berdiri di antara Yoongi dan Jaehwan yang siap menerkam satu sama lain. “Hentikan. Kalian seperti anak kecil.”
Yoongi tampak tak peduli, menarik lengan sweternya hingga siku dengan cepat. “Minggir, Hyung. Kami akan menyelesaikannya dengan cara laki-laki,” ujarnya tanpa dapat dibantah.
Menghela napas, Seokjin memikirkan jadwalnya dalam empat jam ke depan. Dapat dipastikan ia harus menghabiskan waktu istirahatnya untuk mengurus luka dua orang keras kepala di hadapannya. Ia mulai berpikir untuk memanggil taxi dan meninggalkan Yoongi dan Jaehwan diam-diam.
Berakhir melipir beberapa langkah, Seokjin hanya berharap stok pertolongan pertama di apartemennya cukup untuk meringankan luka dan memar keduanya. Jika ternyata tidak, maka sudah diputuskan ia akan membawa mereka ke rumah sakit, meninggalkan dua orang itu di UGD dan lepas tangan.
Kaki Jaehwan melangkah maju, secara refleks mengakibatkan Seokjin menutup mata dan menolak untuk menonton baku hantam gratis di hadapannya. Tidak ada suara apapun lima detik kemudian hingga ia membuka mata dan disambut dengan suara keras dari Jaehwan, “HUEK!”
Hanya berhasil mempersempit satu langkah dari jarak di antara dirinya dan Yoongi, Jaehwan berakhir membungkuk dan memuntahkan isi perutnya ke atas tanah tanpa rasa berdosa.
Yoongi hanya menatap jijik pemandangan di depannya, sedangkan Seokjin hanya berdoa tidak ada lagi hal lebih konyol yang dapat terjadi di malam Kamis yang penuh drama.
–
Berhasil sampai di apartemennya setelah menyetir dengan mendengar seribu makian dan ancaman Yoongi mengenai apa yang akan lelaki Daegu itu lakukan apabila Jaehwan berani kembali mengeluarkan isi perut di dalam mobilnya, Seokjin merasa lelah luar biasa. Syukurlah ia tidak perlu mengobati siapapun dan dapat langsung beristirahat.
Dengan hati yang besar (secara terpaksa) Yoongi membantu Seokjin untuk membawa Jaehwan masuk ke dalam unit apartemennya. Memulangkan Jaehwan ke rumahnya adalah hal mustahil melihat kondisi parah lelaki itu.
Ketika pintu unit apartemen Seokjin terbuka, sang Min merasa sedikit gugup untuk menginjakkan kaki masuk ke dalam. Ini akan menjadi pertama kali, juga mungkin terakhir kalinya ia akan berada di sini. Pikiran itu membuatnya bersemangat dan lemas di saat bersamaan. Seraya beranjak masuk dengan beban tubuh Jaehwan di pundaknya, ia melepaskan sepatu sebelum memasuki ruang tengah di mana ia dapat melihat satu pintu kamar tertutup rapat, juga sebuah dapur dengan peralatan masak cukup lengkap.
Tempat tinggal Seokjin terlihat serapih yang ia bayangkan. Semua benda yang terdapat di sana berada di tempat seharusnya, kecuali beberapa lembar kertas di meja ruang tengah. Tidak banyak interior standar yang diubah begitu pun dengan perabotan tambahan. Yoongi mengedarkan pandangannya hingga mendengar suara Seokjin kemudian.
“Ayo letakkan Jaehwan di kamar tamuku.”
Kamar tamu Seokjin terlihat jarang digunakan meski Yoongi menandai bahwa kamar ini tetap selalu dibersihkan. Ada percikan rasa senang dalam hatinya, menyadari bahwa kecil kemungkinan adanya orang lain menginap di sini. Namun seolah terdapat perang dalam otaknya, satu bisikan mengenai adanya kemungkinan orang lain datang dan menginap di kamar utama bersama Seokjin membuatnya merasa risih.
Mereka keluar dari dalam kamar tamu setelah Seokjin memastikan Jaehwan terlelap dan melepaskan sepatu yang teman seumurannya itu gunakan. Seokjin juga melepaskan beberapa kancing kemeja Jaehwan dan menyelimutinya—tindakan yang tidak Yoongi apresiasi jika ia dapat memberikan komentar.
Meski ingin terlihat tangguh, Yoongi tidak dapat memungkiri bahwa ia merasa begitu pusing dan gamang. Menghabiskan hampir satu botol vodka dalam waktu kurang dari dua jam bukanlah sebuah hal mudah bahkan untuk dirinya. Ia mempersilakan diri duduk di atas sofa, melihat Seokjin berjalan menuju dapur dari sudut matanya.
“Minum ini,” ucap yang lebih tua begitu kembali dari dapur dengan segelas air dingin di tangannya. Yoongi meraih gelas itu tanpa bicara, menegaknya cepat lalu menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata. Tanpa melihat pun ia dapat mengetahui bahwa Seokjin kini tengah menatapnya lelah.
“Kau takkan mengusirku, bukan? Karena bahkan jika kau bermaksud mengusirku, aku tidak akan pergi.”
Seokjin mendengus, menaikkan sebelah alisnya sambil menjawab, “Tidak, aku tidak akan mengusirmu. Kenapa kau berpikir seperti itu?”
Sepasang iris kelamnya memandang lawan bicara yang masih berdiri di dekatnya, menyebabkan Yoongi harus sedikit mendongak untuk mempertemukan pandangan mereka. Ia mendapati wajah Seokjin yang terlihat begitu membutuhkan istirahat, sama sekali tidak berminat mengurusinya lebih lama. “Tidurlah, Hyung. Kau memiliki jadwal hari ini, bukan? Aku akan tidur di sini.”
Tampak tidak setuju dengan gagasan itu, Seokjin menggeleng pelan. “Tidurlah di kamarku. Aku yang akan tidur di sini,” ia berkata sebelum memutuskan kontak mata, memberikan aksen final. Yoongi tidak sempat mengatakan apapun karena Seokjin langsung berjalan meninggalkannya.
Yoongi ingin menolak gagasan itu, takkan mungkin tega membiarkan Seokjin tidur di ruang tamu. Namun rasa penasarannya untuk melihat kamar Seokjin mendadak muncul, mendorongnya untuk bangkit dan mengikuti Seokjin menuju sebuah kamar yang tak dapat dilihat dari pintu masuk. Ia dapat melihat keraguan pada gerak-gerik Seokjin ketika tangan sang hyung berusaha membuka kunci pintu kamar, toh tetap mempersilakan Yoongi untuk masuk mengikutinya.
Seperti yang sering ia bayangkan, kamar Seokjin memiliki satu rak penuh berisikan boneka-boneka kecil dan pajangan karakter Mario. Terdapat pula satu lemari kaca yang berisikan buku dan juga piala, tepat di sisi sebuah keyboard dan meja komputer yang bersebelahan. Tempat tidurnya berukuran king bed dengan seprai putih disertai bed cover bercorak merah muda, dengan sebuah sofa dan televisi berukuran sedang di depannya. Kamar luas Seokjin berisikan cukup banyak barang yang meski tersusun pada tempatnya, tetap membuat ruangan terlihat lebih sempit daripada seharusnya.
Tipikal Seokjin, batin Yoongi dengan seulas senyum tipis. “Tempat tidurmu cukup luas untuk dua orang, Hyung. Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di luar,” tandasnya setelah puas memperhatikan isi kamar yang lebih tua. “Jadi kau memiliki dua pilihan. Biarkan aku tidur di luar atau tidurlah di sini denganku.”
Ide itu terdengar menyeramkan bagi Seokjin, rasa takutnya muncul membayangkan keharusan menghadapi kecanggungan yang takkan dapat mereka hindari dan berujung membuatnya susah untuk tidur. Tapi ia mengenal Yoongi sangat baik untuk mengetahui momen di mana pernyataan Yoongi tidak dapat dibantah meski matahari terbit dari arah barat.
Dengan ragu, ia menyanggupinya—siap menghadapi konsekuensi diomeli penata rias akibat kantung mata hitam di pagi nanti. Seokjin mendekati lemarinya dan memilih pakaian untuk dipinjamkan pada Yoongi malam ini, mengabaikan Yoongi yang kini memfokuskan diri pada beberapa pigura foto di dinding dan di atas meja. Seketika pandangannya mengarah pada satu pigura yang membuatnya penasaran.
Menghampiri meja yang melekat pada dinding kamar mandi, Yoongi mengambil satu pigura yang tidak berdiri tegak—jatuh tertutup menghadap meja. Ia hanya dapat melihat sekilas foto di pigura itu karena Seokjin langsung mengambilnya cepat, memasukkannya ke dalam laci dengan wajah panik dan semerah tomat masak.
Sang Kim sama sekali tak terlihat ingin membahasnya karena ia langsung menyerahkan handuk, sepasang kaos dan celana tidur pada Yoongi yang bergeming kehilangan kata. “Kau bisa mengganti bajumu dengan itu. Sikat gigi ada di laci kedua di sisi kanan wastafel.”
Menuruti tuan rumah, Yoongi membersihkan diri dan mengganti pakaiannya cepat. Ia menyempatkan untuk mandi dengan harapan menyadarkan dirinya dari efek samping alkohol, lalu keluar dari kamar mandi untuk mendapati Seokjin duduk dengan piyama di pinggir tempat tidurnya. Tebakannya adalah Seokjin mengalah untuknya dan membersihkan diri di kamar mandi luar agar dapat cepat beristirahat.
Menghampiri sisi lain tempat tidur, Yoongi membuka bed cover dan merebahkan diri. Ia tidak perlu mengatakan apapun yang hanya akan membuat situasi semakin canggung dan tidak nyaman, mengambil guling dan menghadap ke arah berlawanan. Setelah merasakan Seokjin ikut berbaring dan mencari posisi untuk dijemput oleh alam mimpi, Yoongi bersuara untuk terakhir kalinya di malam itu.
“Terima kasih, Jin-ah,” kata hyung yang kembali muncul setelah hubungannya dengan Seokjin berakhir ia hapuskan tanpa pikir panjang. “Selamat tidur.”
Bisikan lemah Seokjin mengantarkannya pada tidur lelap. “Selamat tidur, Yoongi.”
–
Ketika Yoongi terbangun dari tidurnya, ia membayangkan Seokjin masih terlelap dengan mulut setengah terbuka. Namun setelah mengingat perkataan Seokjin mengenai jadwal di hari itu, Yoongi sama sekali tidak terkejut ketika menolehkan kepala untuk mendapati sisi kasur dengan bantal dan guling yang telah tersusun rapih. Ia menghabiskan beberapa saat untuk berbaring memandangi langit-langit ruangan, mengumpulkan tenaga untuk bangkit dan menyikat gigi di kamar mandi. Pada nakas tempat tidur yang ia lewati, Yoongi mendapati sebuah post it dengan tulisan tangan khas yang begitu ia kenali.
Aku memiliki schedule penting dan harus pergi,
tapi aku akan kembali di siang hari.
Kau bisa menemukan kopi dan camilan di dapur jika kau bangun sebelum aku kembali.
– KS –
Mencibir keraguan yang Seokjin tujukan padanya seolah ia takkan bangun hingga Seokjin kembali, Yoongi kemudian teringat pada pigura yang Seokjin masukkan ke dalam laci. Ia tidak meragukan penglihatannya, tetapi tetap ingin memastikan apa yang dilihatnya tadi malam. Tanpa berpikir dua kali, Yoongi membuka laci meja yang masih ia ingat dengan jelas, mengambil pigura foto dan mengonfirmasi penglihatannya.
Pigura itu memperlihatkan foto dirinya yang kemungkinan besar diambil oleh Seokjin secara diam-diam. Foto di masa akhir sekolah mereka, di sebuah pusat perbelanjaan kota. Yoongi ingat hari itu, sebuah hari di mana mereka berakhir membeli beberapa benda tidak penting dan pulang dengan basah kuyup karena hujan di luar perkiraan cuaca.
Dadanya terasa hangat, rasa senang menghampirinya selama beberapa saat. Sayangnya rasa senang itu langsung lenyap ketika mengingat bahwa Jaehwan pasti masih berada di sini dan besar kemungkinan bahwa ia harus berhadapan dengan lelaki itu dalam beberapa menit.
Setelah mengembalikan pigura ke atas meja, Yoongi beranjak keluar dari kamar Seokjin dan langsung menuju dapur. Ia menegak dua gelas air mineral untuk menghilangkan dahaga, lalu membuka kabinet dapur satu persatu hingga menemukan biji kopi yang dicarinya. Menggunakan mesin kopi Seokjin, Yoongi berhasil membuat secangkir kopi panas untuk memulai hari meski dihantui hangover cukup berat.
Jam di ruang tengah menunjukkan pukul satu lewat lima menit ketika Yoongi membuka pintu balkon, meletakkan kopinya di atas meja dan mendudukkan diri untuk memandangi pemandangan kota Seoul. Ia memainkan handphone dengan maksud membaca berita atau apapun, menyeruput kopi sesekali hingga suara seseorang menginterupsi kegiatannya.
“Kau masih berada di sini ternyata,” Jaehwan dengan wajah khas seseorang yang baru saja bangun tidur berdiri di ambang pintu balkon, memandang Yoongi dengan sepasang mata yang masih terasa berat. “Di mana Seokjin?”
Yoongi hanya melirik sesaat lalu menjawab, “Dia memiliki schedule dan pergi pagi tadi.”
Keheningan di antara mereka sebisa mungkin Yoongi abaikan, tidak ingin mengeluarkan kalimat yang memancing keributan. Perutnya terasa mual dan energinya terkuras; bertengkar dengan Jaehwan hanya akan membuang waktu dan merugikannya.
Berkebalikan dengan harapannya, Jaehwan berakhir mengambil kursi yang dipisahkan sebuah meja kecil, tepat di sebelahnya. Angin yang berhembus menyebabkan helai kedua lelaki itu menari di udara, mencairkan suasana tegang di antara mereka. Yoongi sama sekali tidak ingin memperlihatkan bahwa ia merasa terganggu, terus memainkan handphone-nya meski bingung harus melakukan apa akibat semua berita headline telah ia tuntaskan.
“Yoongi, dengar,” Jaehwan menarik perhatiannya, seketika menghentikan pergerakan jari di layer sentuh handphone yang sebelumnya terus men-scroll sesuatu. “Aku minta maaf, oke? Aku telah bertindak kekanakkan kemarin.”
“Terima kasih sudah membantu Seokjin membawaku ke sini. Aku tidak benar-benar membencimu, tapi… yah, kau tahu maksudku. Kita pernah—bukan, kita mencintai orang yang sama.”
Ada sebagian dari diri Yoongi yang ingin menepis pernyataan itu, namun ia memilih untuk menghela napas dan bertindak dewasa dengan jujur pada diri sendiri. Jaehwan melakukan hal yang benar dengan menghapus keterangan lampau pada kalimatnya. Mereka berdua memang masih mencintai Seokjin hingga detik ini, dan karenanya lah percikan perang di antara dirinya dan Jaehwan bertahan hingga sekarang.
“Aku mengerti,” Yoongi mengunci handphone-nya dan meletakkannya di atas meja. “Aku mengakui bahwa aku juga bertindak kekanakkan, tapi kau benar-benar brengsek sehingga aku tidak bisa menahan diri.”
Jaehwan tertawa mendengarnya, tidak menatap Yoongi dan ikut memandang kota Seoul di depannya. “Kau yang pemarah dan aku yang disebut brengsek? Aku bahkan tidak melakukan apapun selain memeluk Seokjin.”
Mengakui poin Jaehwan, Yoongi memilih untuk tidak menambalinya. Di malam pesta pernikahan Jaehwan waktu itu, ia memang tidak bisa melepaskan pandangannya dari Seokjin, terutama ketika Seokjin dan Jaehwan tengah bersama. Melihat Jaehwan memeluk Seokjin menyebabkan adrenalinnya meningkat dan Yoongi bertindak di luar akalnya dengan menarik Seokjin dan memicu perkelahian.
Padahal jika ia mengingatnya kembali, Seokjin adalah seseorang yang paling bisa menempatkan diri sendiri. Seharusnya ia hanya perlu memerhatikan dan tidak melakukan tindakan apapun karena Seokjin jauh lebih hebat dalam menghadapi situasi genting dengan kepala dingin.
“Aku tahu Seokjin akan selalu memilihmu,” ujar sang Lee sejurus kemudian. “Meski tidak mengetahui alasan hubungan kalian berakhir, aku selalu tahu bahwa kasus hubunganku dan Seokjin berbeda dengan kasus hubungan kalian. Aku tidak memiliki peluang untuk kembali bersamanya, berbeda denganmu,” ia terkekeh pelan. “Mungkin karena itu aku sedikit membencimu.”
Yoongi tidak merasa bahwa apa yang Jaehwan katakan adalah kebenaran karena ia telah melewati masa di mana ia berusaha untuk mendapatkan Seokjin kembali hanya untuk ditolak sepenuhnya. “Kau berasumsi terlalu jauh,” tangannya kembali meraih cangkir kopi untuk menikmatinya. “Tapi aku mungkin mengerti perasaan itu karena aku mengasumsikan hal yang sama tentangmu.”
Berdiri dari duduknya, Jaehwan meregangkan tubuh dan menghela napas. “Kalian benar-benar bodoh,” ia menolehkan kepala pada Yoongi yang mengernyitkan dahi. “Aku tak habis pikir denganmu yang memiliki kesempatan sebesar itu dan tidak melakukan apapun.”
Sebelum sempat mendengar protes dari yang lebih muda, Jaehwan melanjutkan, “Aku benar-benar mencintainya, Yoongi. Tapi tidak ada yang kuinginkan selain kebahagiannya, meski hal itu berartikan aku harus melihatnya tertawa dengan orang lain.”
Meninggalkan Yoongi yang bergeming di tempatnya, Jaehwan masuk ke dalam ruangan seraya berkata, “Kuharap kau berpendapat sama denganku untuk hal itu.”
Tertegun dengan apa yang Jaehwan katakan, Yoongi dengan berat hati mengakui bahwa ia tidak bisa sependapat dengan lelaki bersurai cokelat itu. Ia tidak yakin ia dapat melihat Seokjin berbahagia dengan orang lain selain dirinya—karena itulah ia dapat bertahan sejauh ini, karena ia tahu bahwa setelah menjalin hubungan dengannya, Seokjin tidak pernah menjalin hubungan dengan orang lain. Yoongi benar-benar tidak dapat membayangkan ketika momen itu datang suatu hari nanti.
“Sampaikan salamku pada Seokjin, aku harus pulang,” ia dapat mendengar teriakan Jaehwan dari dalam. Pikirannya yang kusut membuatnya memilih untuk mengabaikan seruan pamit itu dan terhipnotis oleh pikiran negatif yang tak menyenangkan. Yoongi hanya berharap ia dapat memiliki hati sebesar Jaehwan.
–
Seokjin mengganggam erat dua plastik besar di tangannya, dengan susah payah berusaha melepaskan alas kaki dengan cara menginjak bagian belakang sepatu menggunakan kaki lainnya. Setelah memasuki ruang tengah, ia mendapati Yoongi tengah duduk bersandar di atas sofa dengan televisi menyala.
Tampak sibuk dengan handphone hingga tak menyadari kedatangannya, Seokjin terperanjat ketika Yoongi ternyata menaruh perhatian, menyapa tanpa menolehkan kepala, “Kau sudah kembali? Aku baru saja akan menghubungimu.”
Masuk ke dalam dapur untuk meletakkan belanjaan yang ia sempatkan beli dalam perjalanan pulang, Seokjin bertanya, “Menghubungiku untuk?”
“Memberitahumu bahwa aku akan pulang,” Yoongi meletakkan handphone-nya di atas sofa, lalu beranjak menuju dapur masih dengan pakaian yang Seokjin pinjamkan. “Jaehwan sudah pulang, dia menitipkan salam untukmu.”
Meski merasa penasaran akan apa yang terjadi selama ia pergi, apa yang Yoongi dan Jaehwan bicarakan atau lakukan sebelum ia kembali, Seokjin berusaha menahan diri dengan berdeham pelan. Ia melirik Yoongi yang berdiri di belakang konter dapur, tepat di hadapannya dan menaruh perhatian pada perlengkapan masak yang sedang ia keluarkan dari dalam plastik. Mood dan kondisi lelaki itu terlihat baik-baik saja. Minimal ia dapat merasa lega karena mendapat kesimpulan bahwa tidak ada baku hantam yang terjadi.
“Tinggal lah sebentar,” ucapnya pelan, nyaris mencicit dikarenakan gugup luar biasa. Seokjin tidak berani menatap mata Yoongi dan berpura-pura sibuk memerhatikan potongan daging di dalam sebuah plastik transparan. “Aku sudah membeli bahan-bahan untuk haejangguk.”
Sebagian hatinya berteriak untuk mempersiapkan penolakan, namun alih-alih mendapat tanggapan, ia dapat mendengar Yoongi menarik salah satu kursi bar di dapur dan mendudukinya. Tindakan yang tidak tampak seperti penolakan itu membuatnya sedikit-banyak merasa lega.
Meninggalkan dapur selama beberapa sesaat, Seokjin masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan mengganti pakaian yang lebih nyaman. Ia kembali ke dapur dengan sepasang kaos putih dan celana training berwarna hitam, mendapati Yoongi tidak bergeming dan berpangku wajah memerhatikannya. Dengan susah payah mengusir rasa gugup yang mendera, Seokjin mulai menyiapkan haejangguk beserta beberapa lauk lainnya.
“Tidak ingin menawariku bantuan di sini?”
“Tidak.”
Tertawa kecil, sang Kim bersyukur dapat merasa cairnya suasana canggung di antara mereka. Suara peralatan dapur hasil dari kegiatannya menemani keduanya menggantikan kata-kata—semua itu lebih dari cukup, terutama ketika Yoongi akhirnya turun dari kursinya untuk membantu membawakan lauk yang telah telah selesai dimasak ke atas meja.
Mereka menghabiskan waktu untuk makan dalam diam, menikmati hidangan yang Seokjin masak dengan kurang percaya diri. Yoongi tidak berkomentar banyak, yang mana membuatnya berpikir bahwa hasil tangannya dapat dikategorikan cukup baik.
“Jam berapa kau pergi pagi tadi?” Pertanyaan Yoongi membuka percakapan di antara mereka, mengundang Seokjin untuk mencuri pandang ke arah jam dinding di balik punggung yang lebih muda. Sibuk mengunyah makanan di dalam mulutnya, ia mengangkat satu tangan beserta kelima jarinya untuk memberikan jawaban.
Ada rasa bersalah yang terpancar dari sorot mata Yoongi, Seokjin berpura-pura tak menyadarinya. Ia menambahkan, “Tapi pemotretannya berjalan lancar, setidaknya tidak memperburuk rasa lelah di tubuhku.”
Tentu ucapannya tidak membuat Yoongi merasa lebih baik, karena lelaki itu justru bergumam, “Maaf.” Seraya melanjutkan makannya dalam diam.
Ini tidak baik. Suasana nyaris bersahabat ini harus ia pertahankan. Seokjin melirik televisi, menimbang ide dalam otaknya sebelum memutuskan—persetan. “Sebagai gantinya, aku mempersilakanmu mencuci piring,” ia berkata dengan senyuman jenaka. “Dan mungkin temani aku menonton satu-dua film Ghibli.”
Yoongi menaikkan sebelah alisnya bingung, tampak menimbang penawaran itu hingga menyebabkan Seokjin menahan napas. Apakah ia terlalu serakah? Apakah lagi-lagi ia membuat kesalahan?
“Aku tidak keberatan, tapi bukankah lebih baik kau tidur?”
Jawaban Seokjin keluar lebih cepat daripada seharusnya. “Aku bisa tidur setelahnya.”
Menahan pertanyaan kau yakin? di mulutnya, Yoongi mengedikkan bahu dan melanjutkan menghabiskan nasi di mangkuknya. Dibantu Seokjin, ia mengangkat semua mangkuk dan peralatan masak yang kotor ke dalam bak cucian.
Seokjin meninggalkan Yoongi di dapur, mengambil selimut dan dua bantal di dalam kamar dan meletakkannya dengan rapih di atas sofa. Ketika Yoongi telah selesai dengan kegiatannya dan tengah mencuci tangan, ia mengambil satu bucket es krim di dalam kulkas beserta dua sendok, lalu mendudukkan diri dengan nyaman.
Berpura-pura sibuk dengan remote di tangannya, ia menahan diri untuk tidak melirik ketika merasakan sofa yang didudukinya bergerak. Ia dapat merasakan Yoongi berada di sisinya, mungkin hanya berjarak dua jengkal. Berbagi selimut dan memangku salah satu bantal.
Bucket es krim di tangan Seokjin diambil alih tepat ketika soundtrack pembuka film terdengar. Kali ini Seokjin menolehkan kepala, mendapati Yoongi dan sebuah sendok menggantung di mulutnya. Ia tertawa kecil meski dipelototi oleh yang bersangkutan.
Mereka akan baik-baik saja. Seokjin tidak berpikir bahwa hubungan seperti ini sudah cukup karena ia mengaku menginginkan lebih. Tapi Seokjin tidak memiliki hak untuk berharap. Jadi ini, apa yang ia miliki sekarang, Seokjin benar-benar mensyukurinya.
Setengah jam kemudian, kepalanya terjatuh pada lengan Yoongi yang sedikit terkejut—namun mendengus geli mendapati sang Kim terlelap nyenyak.
–
Seokjin terbangun dengan tubuh berbaring menyamping di atas sofa, memeluk bantal dan diselimuti hingga pundak. Ia duduk dan meregangkan tubuh, menguap lebar sebelum mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sisi apartemennya.
Televisinya masih menyala, namun alih-alih animasi Ghibli, Seokjin menemukan variety show yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Yoongi pasti menggantinya begitu ia tertidur di tengah film mereka.
Teringat pada mantan kekasihnya, Seokjin melihat langit gelap di luar jendela dan berpikir Yoongi pasti sudah pulang. Ia hendak kembali menghempaskan tubuhnya ke atas sofa ketika mendengar suara pintu lemari yang ditutup dari dalam kamarnya.
Sejurus kemudian, Min Yoongi menghampirinya dengan kaos kebesaran dan sebuah celana yang ia yakini merupakan miliknya. “Kau merampok lemariku?” tanyanya bermaksud bercanda.
“Seandainya kita memiliki selera fashion dan ukuran pakaian yang sama, mungkin aku akan memikirkannya,” balas yang lebih muda, masih berdiri di belakang sofa yang Seokjin duduki. Yoongi menumpukan kedua tangannya pada kepala sofa, memandang wajah bantal Seokjin yang tak pernah gagal membuatnya gemas.
Mungkin Seokjin masih terlalu mengantuk untuk membuang muka ke arah lain, karenanya ia berakhir membalas tatapan Yoongi secara terang-terangan. Aroma bourbon dan vanilla yang berasal dari sabunnya entah mengapa tercium lebih pekat apabila Yoongi yang menggunakannya. Jantungnya mulai berdebar kurang ajar dan Seokjin benar-benar ingin kembali terlelap saja.
“Hei, Seokjin-ah,” panggilan itu menyebabkan telinga Seokjin (yang selalu terlalu jujur) memerah. “Mau pergi keluar dan mencari camilan di jalanan? Aku lapar.”
Kim Seokjin tidak boleh berharap. Kesalahannya harus ditebus oleh penyesalan jangka panjang. Ia adalah laki-laki yang membuang hubungan tiga tahun layaknya one night stand tak berbekas; terlambat menyesalinya dan terlambat pula meminta maaf.
Kebaikan hati Yoongi harusnya menyakitinya, namun Seokjin malah berandai dan mengkhayal. Seharusnya ia tidak menahan Yoongi untuk makan siang dan menonton film bersama. Seharusnya Yoongi tak lagi berada di sini ketika ia terjaga.
“Atau aku bisa memasakkan ramyeon, kau bisa tidur lagi. Aku akan membangunkanmu nanti.”
Kenapa dia tidak memberikan sinyal tak nyaman? Kenapa dia seolah akan berada di sini sedikit lebih lama?
Membuka mulutnya, Seokjin rasa ia selalu berpikir terlalu jauh dan berakhir gagal menemukan suaranya untuk mengatakan hal penting di waktu yang tepat. Ia benci diskusi melankolis, ia benci mendengar nasihat yang ia tahu lima kali lipat lebih masuk akal daripada rencananya. Tapi ia tahu di saat tertentu, ia membutuhkannya.
“Yoongi,” suaranya terdengar sedikit bergemetar. Debaran di dalam dadanya terlalu cepat hingga kakinya terasa lemas, pandangannya tak fokus dan napasnya tercekat. “Bagaimana jika…”
Lawan bicaranya tampak menunggu dan juga bingung. Seokjin tahu ini bukan ide yang bagus.
“Bagaimana jika aku mengatakan aku masih menyukaimu?”
Ekspresi Yoongi tak dapat ditebak seperti biasa. Sosok itu mengerjapkan mata, berusaha menutupi keterkejutan yang seharusnya dapat Seokjin temukan apabila ia tak segugup sekarang. Ada keraguan nyata menyelimutinya.
Didorong keberanian yang muncul akibat ia terlanjur basah, Seokjin menghela napas. “Aku tahu ini terdengar egois dan hubungan kita baru saja membaik,” tangannya mencengkram kain celana yang ia kenakan di balik selimut. “Aku menutup mata dan hatiku, mengubur perasaanku dan memilih kabur seolah apa yang kita miliki hanyalah hubungan seumur jagung. Aku bersikap jahat tidak hanya padamu, tapi juga pada diriku sendiri. Dan untuk itu aku meminta maaf, sungguh. Tapi aku hanya ingin tahu apakah aku—maksudku, kita bisa… ugh.”
Menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, Seokjin duduk meringkuk memeluk diri sendiri menahan rasa malu dan menanggung kebodohannya. Ia kembali merusak segalanya. Seandainya ia tidak serakah dan mampu bersyukur dengan hubungan mereka sekarang, ia dapat menjalani hidup lebih tenang, mungkin dengan Yoongi sebagai sahabat yang diam-diam ia cinta.
“Hyung,” suara Yoongi tidak membantunya untuk merasa lebih tenang. Beberapa detik kemudian, ia dapat melihat bayangan Yoongi yang kini berdiri di depannya. “Seokjin?”
Berusaha membuang seluruh penyesalannya, Seokjin menghela napas kasar. “Lupakan. Anggap aku tidak pernah mengatakannya. Astaga.”
Selimut yang menutupi kepalanya ditarik secara perlahan dan sekali lagi menyebabkannya menahan napas. Seokjin mengubur kepala di antara kedua dengkulnya, tidak ingin menunjukkan wajahnya yang dapat dipastikan merona hebat.
“Kau ingin aku melupakannya?”
Pertanyaan itu secara refleks memicunya untuk mengangkat kepala, mendapati wajah yang belakangan ini selalu terbayang di tiap hari-harinya. Ia ingin berkata tidak, namun Seokjin sudah tak lagi tahu mana yang harus ia dengarkan: hati atau kepalanya.
“Hyung, kau adalah orang yang mengubah hari-hariku seperti neraka,” ucap Yoongi tenang layaknya memberi pernyataan enteng seputar makanan favorit peliharaannya. Seokjin hanya bisa menundukkan kepala dan kembali digerogoti rasa bersalah.
“Tapi aku memaafkanmu,” suara bariton Yoongi menyusup masuk ke dalam pendengarannya. “Dan kurasa jika itu tentangmu, aku tidak punya banyak pilihan. Aku selalu kalah.”
Salah satu tangannya menyentuh dagu Seokjin, berusaha mengangkat wajah lelaki di depannya dengan perlahan. Pandangan iris mereka kembali bertabrakan ketika Yoongi bertanya, “Apakah kau masih menyukaiku?”
Mereka bukan anak sekolah menengah pertama yang tidak tahu perbedaan rasa suka dan cinta. Mereka juga tidak lagi berada di sekolah tinggi dengan umur nanggung dan gengsi setinggi Lotte World Tower. Seokjin menelan ludah, “Tidak,” lalu mempertaruhkan segalanya di sana. Melalui suaranya dengan tangan Yoongi pada wajahnya. “Aku masih mencintaimu.”
“Mm, bagus,” Yoongi mengangkat sudut bibirnya puas, membungkukkan tubuh untuk menempelkan dahinya pada dahi Seokjin yang spontan memejamkan mata. “Aku sudah menunggu satu tahun untuk kembali mendengarnya.”
–
“Kupikir kau sudah move on,” Hoseok memicingkan mata melihat tangan Seokjin dan Yoongi yang bergenggaman. Kalimat itu Seokjin anggap ditujukan pada Yoongi meski tahu ada sarkasme yang juga ditujukan untuk dirinya.
Ia belum sempat menceritakan apapun pada Hoseok atau teman-temannya yang lain, namun mungkin Hoseok sudah dapat menebak ini akan terjadi sehingga tak tampak terkejut sama sekali. Pemilik marga Jung itu membukakan pintu, lalu bergeser ke samping untuk mempersilakan kedua tamunya masuk.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” Yoongi terdengar penasaran dan Seokjin berusaha mati-matian memberikan kode pada teman curhatnya untuk tidak memberitahu ceritanya mengenai kejadian di kedai kopi—ketika ia bertemu dengan Yoongi yang memesan minuman take away entah untuk siapa.
Hoseok adalah teman yang setia, tentu saja. “Ingat beberapa bulan lalu ketika kau terlambat datang dan lebih sumringah daripada biasanya?”
Usai meletakkan sepatunya dengan rapih di atas rak, Yoongi mengangguk kecil dan tertawa, “Ah, itu karena aku baru menyelesaikan salah satu lagu yang memakan waktu berbulan-bulan,” mereka melangkah memasuki apartemen Namjoon menuju ruang tengah. “Projek kolaborasiku dengan Suran.”
Oh. Semuanya masuk akal sekarang; perubahan sifat, kopi, dan lagu duet dadakan mereka. Hoseok menyeringai mencurigakan. “Hyung, berarti kopi itu—”
Kalimatnya terpotong karena Seokjin langsung menggunakan tangannya untuk membungkam mulut berisik temannya. Yoongi sudah masuk ke ruang tengah dan menyapa teman-teman mereka lebih dulu, menyisakan Seokjin meraung bersyukur tertahan.
“Terima kasih, Hoseok-ah,” tandas Hoseok masih dengan ekspresi yang menurut Seokjin amat menyebalkan. Ia mengangkat alisnya seolah bertanya, “Untuk apa?”
“Untuk memberikan nasihat dan dukungan terbaik sepanjang masa,” yang lebih muda menimpali sebelum meninggalkannya terperangah. Seokjin tergelak lalu mengikuti masuk ke ruang tengah, mendapat sambutan luar biasa karena Hoseok berteriak memalukan.
“Lihat siapa yang kembali bersama? Tidak ada lagi malam canggung di antara kita!”
Mendelikkan matanya pada Hoseok, Seokjin dapat mendengar tawa dan ucapan selamat yang bersusulan. Ia mendudukkan diri di atas sofa, tepat di sebelah Yoongi yang memerhatikannya dengan senyuman paling hangat yang selalu membuatnya merasa berbunga.
Ketika suasana lebih tenang, obrolan ringan berputar dari topik satu ke topik lainnya, Seokjin dapat merasakan Yoongi meraih tangannya. Tidak menaruhnya sebagai pusat perhatian, tetap fokus pada Taehyung yang berceloteh jenaka, namun menemukan tangannya dan memberikan genggaman erat.
Ia membalas genggaman di tangannya, menyandarkan kepala pada pundak Yoongi dan mengabaikan cibiran Hoseok di seberangnya.
Seokjin mungkin tak pernah merasa berada di tempat yang lebih tepat.